Kendaraan Listrik, Antara Kemauan dan Ketidakmampuan
Tidak mudah bertransisi dari kendaraan berbahan bakar fosil ke listrik. Selain harga jual masih mahal, infrastruktur stasiun pengisian dayanya pun masih jarang, terutama di daerah-daerah non perkotaan.
Oleh
LUKI AULIA
·6 menit baca
AFP/GETTY IMAGES/JUSTIN SULLIVAN
Stasiun Tesla Supercharger kosong pada 15 Februari 2023 di Corte Madera, California, AS. Perusahaan mobil listrik Tesla bermitra dengan pemerintah federal AS untuk memperluas infrastruktur pengisian kendaraan listrik di Amerika Serikat. Tesla mengumumkan rencana untuk membuka sekitar 7.500 Supercharger Tesla di negara itu untuk semua merek kendaraan listrik pada akhir tahun 2024.
Farhan Abdul Rahim, ahli teknologi di Malaysia, pada tahun 2020 menjadi salah satu dari segelintir pembeli pertama mobil listrik merek Tesla di Malaysia. Urusan membeli mobil mudah saja baginya. Yang sulit itu di urusan membuktikan kemampuan dan ketangguhan mobil listrik untuk keliling Semenanjung Melayu, sejauh 1.700 kilometer dalam tiga hari.
Perjalanan Farhan yang dilakukan pada Juni tahun lalu untuk membuktikan apakah kendaraan listrik bisa beroperasi di luar kota dan di daerah-daerah pedesaan. Farhan yang juga manager di perusahaan minyak negara, Petronas itu menyadari perjalanan tersebut tidak mudah, terutama karena terkait minimnya infrastruktur stasiun pengisian listriknya.
“Ini pertama kalinya saya melakukan perjalanan ini dengan mobil listrik,” kata Farhan (46) yang menghabiskan waktu hingga beberapa pekan untuk merencanakan opsi pengisian daya mobil listrik apa yang ada sebelum memulai perjalanan.
Farhan pertama kali mulai tertarik dengan mobil listrik atau EV pada tahun 2017 setelah menghadiri konferensi. Di konferensi itu ada stan promosi mobil listrik milik Tesla. Ia kemudian memutuskan untuk satu unit mobil listrik Tesla pada 2020 dan segera merencanakan perjalanan. Niatnya mau menghilangkan mitos dan membantu komunitas EV karena banyak yang berpendapat perjalanan ke wilayah bagian timur Malaysia tidak bisa dijelajahi dengan memakai EV. Minimnya infrastruktur pengisian daya ini yang dianggap sebagai penghambat.
AFP/GETTY IMAGES/JUSTIN SULLIVAN
Dari foto udara ini terlihat mobil-mobil Tesla sedang mengisi ulang baterai di stasiun Supercharger Tesla pada 15 Februari 2023 di San Francisco, California, AS.
Transisi
Lepas dari kondisi itu, produksi dan penjualan kendaraan listrik melonjak secara global. Sektor ini dipandang sebagai kunci penting dalam upaya menahan perubahan iklim dengan pemangkasan emisi, mengurangi impor minyak dan subsidi bahan bakar, serta mendukung investasi dalam sumber energi terbarukan. Menurut Rahul Gupta, mitra asosiasi di McKinsey & Company di Singapura, semakin banyak pengguna kendaraan yang sadar iklim. Mereka sengaja memilih menggunakan EV dan kendaraan hybrid karena peduli pada isu lingkungan.
Mereka merupakan bagian dari 18 persen pembeli global kendaraan listrik roda empat tahun lalu. Tetapi penyerapan itu sebagian besar di Amerika Serikat, Eropa, dan China. Pasar Eropa dan China masing-masing berkisar antara 20 persen dan 25 persen dari total penjualan EV global. Di Asia Selatan, EV menyumbang kurang dari 2 persen penjualan pada 2022.
Kelangkaan infrastruktur pengisian di luar pusat kota, kurangnya insentif pajak dan subsidi untuk pembuat mobil dan pembeli, dan lambatnya kemajuan pengembangan EV yang terjangkau di Asia Tenggara menghambat pertumbuhan sektor ini. Melihat tantangan itu, Pemerintah Malaysia tampak tertarik untuk mengambil inisiatif, diantaranya menawarkan insentif untuk industri mobil dan baterai, keringanan pajak untuk pembeli, dan menetapkan target ambisius yaitu menjadi pusat manufaktur EV.
Barang mewah
Berbeda dengan pasar di AS, Eropa, dan China, pertumbuhan kendaraan listrik di kawasan Asia Tenggara kemungkinan besar akan lebih banyak terjadi pada kendaraan roda dua dan tiga. Kendaraan roda dua dan tiga - mulai dari sepeda motor sampai tuktuk - jumlahnya mencapai 80 persen di Asia Tenggara.
Manager Praktik Transportasi untuk Asia Timur dan Pasifik di Bank Dunia, Benedict Eijbergen menjelaskan transisi EV di Asteng akan sangat berbeda dengan AS, Eropa, dan China dimana pertumbuhan EV lebih banyak didorong oleh elektrifikasi mobil. Penyerapan EV roda dua lebih tinggi di Asteng ketimbang mobil listrik, yakni sekitar 8 persen dari semua penjualan kendaraan di pasa Vietnam pada 2020.
KOMPAS/LUKI AULIA
Salah satu mobil listrik dengan kecerdasan buatan yang akan mulai diproduksi massal tahun depan. Harganya kemungkinan dipatok sekitar Rp 500 juta.
Namun, Gupta dari McKinsey & Company mengatakan biaya yang lebih tinggi untuk membeli EV dibandingkan dengan kendaraan mesin pembakaran internal (ICE) mencegah banyak pengemudi untuk beralih. Untuk mengatasinya, pemerintah harus memperkenalkan subsidi pada saat pembelian demi membantu pembeli dan memberikan insentif atau keringanan pajak bagi pembuat mobil untuk mengurangi biaya produksi.
Tahun lalu, Thailand menyetujui paket insentif termasuk pemotongan pajak dan subsidi untuk mempromosikan EV, sementara pada awal bulan ini Indonesia juga akan memangkas pajak pertambahan nilai untuk penjualan mobil listrik menjadi 1 persen dari 11 persen.
Infrastruktur pengisian daya yang lebih banyak dan ketersediaan serta pilihan EV yang lebih besar juga akan membantu meningkatkan minat pada EV. Apalagi jika pemerintah mulai menetapkan batasan waktu untuk mulai melarang penggunaan kendaraan bensin dan diesel.
Direktur Program Asia Tenggara di Pusat Kajian Strategis dan Internasional yang berbasis di AS, Gregory Poling, menilai banyak negara di Asteng yang memiliki rencana net-zero yang ambisius, termasuk dukungan pembelian kendaraan listrik, potongan harga, dan infrastruktur pengisian daya, implementasinya masih minim. "EV masih menjadi barang mewah untuk sebagian besar daerah di Asia Tenggara dan dunia," kata Poling.
Padahal penggunaan EV yang lebih banyak di negara-negara Asteng akan membantu memenuhi tujuan iklim internasional dan membantu menarik perusahaan yang ingin berinvestasi di negara-negara yang memperjuangkan dekarbonisasi global. Pada tahun-tahun mendatang, kata Poling, negara-negara Asia Tenggara akan mencoba memposisikan diri sebagai pusat manufaktur EV regional.
Cadangan nikel yang cukup besar di Indonesia dan Filipina dapat berperan dalam pembuatan baterai yang dibutuhkan. Namun, membatasi perubahan iklim tidak mungkin menjadi faktor pendorong pertumbuhan EV di sebagian besar wilayah. “Mayoritas negara di kawasan ini masih meyakini mereka bukan penyebab perubahan iklim. Barat yang dianggap sebagai pembuat masalah. Karena pemikiran itu maka mereka berpikir mengapa harus menghambat pertumbuhan ekonomi hanya untuk beralih ke pembangkit listrik dan EV ramah lingkungan,” kata Poling.
KOMPAS/STEFANUS OSA
Baterai mobil listrik yang disematkan di sejumlah model mobil Toyota. KOMPAS/Stefanus Osa
Analis otomotif di firma riset Counterpoint, Abhilash Gupta, mencatat produksi baterai EV tidak mungkin netral karbon dan peningkatan penambangan serta manufaktur bisa membawa risiko lingkungan dan manusia. "Negara-negara di Asia Tenggara terburu-buru untuk menarik lebih banyak perusahaan multinasional dan karena itulah tidak cukup berfokus pada praktik berkelanjutan dalam siklus pertambangan dan produksi," ujarnya.
Indonesia dalam tiga tahun terakhir telah menandatangani setidaknya selusin kesepakatan, senilai lebih dari 15 miliar dollar AS untuk baterai dan produksi EV di dalam negeri, sementara Presiden RI Joko Widodo telah berusaha meyakinkan CEO Tesla Elon Musk untuk berinvestasi.
Kisah nyata
Kembali pada kisah Farhan. Bagi eksekutif yang bekerja di Menara Kembar Petronas yang ikonik di Kuala Lumpur itu, untuk mengisi baterai bukan perkara sulit. Ia tinggal turun ke parkir bawah tanah dan mengisi daya ke mobilnya karena ada setidaknya 50 titik pengisian daya di sana. Ini kompleks stasiun pengisian daya EV terbesar di Malaysia.
Tetapi tidak akan semudah itu bagi masyarakat umum karena banyak apartemen atau tempat tinggal yang masih menolak memasang titik pengisian daya atau bahkan mengizinkan pemilik rumah melakukannya dengan biaya sendiri. Banyak dealer mobil juga tidak cukup terlatih untuk mempromosikan EV atau menawarkan saran bagi calon pembeli EV. Meski demikian, Farhan yakin insentif pajak yang lebih besar dari pemerintah membantu mempermudah proses transisi. Malaysia memiliki pembebasan bea masuk dan cukai untuk kendaraan listrik dan pemerintah diperkirakan akan mengumumkan lebih banyak insentif keuangan dalam anggaran 2023 minggu ini.
Farhan yang merupakan anggota Klub Pemilik Kendaraan Listrik Malaysia, mengatakan sekarang ada sekitar 2.400 EV yang terdaftar di Malaysia. Jumlah ini naik sekitar 240 EV dibandingkan awal 2021. Ia mendesak pemerintah untuk menetapkan target EV yang agresif dan membentuk badan khusus untuk memimpin pelaksanaan target itu karena prosesnya pasti tidak akan mudah. “Ini persoalan yang sensitif di sini karena Malaysia adalah produsen minyak bumi. Tetapi yang jelas saya tidak akan membeli bensin lagi. Mulai sekarang saya hanya akan memakai kendaraan listrik,” ujarnya. (Thomson Reuters Foundation)