Keuntungan yang jelas terasa dari kendaraan listrik adalah ongkos operasional per kilometer. Namun untuk mencapai keuntungan itu, ada investasi awal mahal yang harus dikeluarkan oleh calon pemilik mobil listrik.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, MARGARETHA PUTERI ROSALINA, ALBERTUS KRISNA
·4 menit baca
Fajar (52) berkeliling dari satu stan ke stan lain, dalam pameran “Indonesia Electric Motor Show” di Jakarta Convention Center, Jakarta. Hingga akhirnya, ia berhenti di stan pabrikan mobil listrik asal Jepang.
Fajar lama menghabiskan waktu di sana, berdiskusi dengan staf pemasarannya. Dia menggali banyak informasi mengenai ongkos pengisian daya mobil listrik di rumah, hingga mencoba menaiki dan memeriksa interior mobil.
Ternyata dia sedang mempertimbangkan mengganti mobilnya, sebuah minivan kelas atas keluaran tahun 2015 dengan mobil listrik terbaru dari merek yang sama. “Apalagi sekarang BBM sudah naik,” jawab Fajar, warga Depok, Jawa Barat, saat ditemui Kompas di sela acara pameran, Kamis (29/9/2022) siang.
Menurut kalkulasinya, penghematan ongkos energi untuk mobilitas rutinnya ke Bandung sebulan sekali bisa terpangkas hingga lebih dari 80 persen. Dia memperkirakan perjalanan pulang-pergi Bandung butuh biaya bensin hingga Rp 400.000-500.000. Tapi jika menggunakan mobil listrik, sekali isi penuh hanya butuh biaya Rp 50.000 - 60.000.
Namun, dia masih ragu berpindah ke mobil listrik. Teknologi yang belum familiar membuatnya was-was perihal ongkos onderdil dan usia baterai. “Kami belum tahu, (mobil listrik) itu sering ada masalah sama bagian apanya? Baterai juga bikin khawatir. Ongkosnya bisa separuh dari mobil atau motornya,” tambah Fajar.
Dia memperkirakan perjalanan pulang-pergi Bandung butuh biaya bensin hingga Rp 400.000-500.000. Tapi jika menggunakan mobil listrik, sekali isi penuh hanya butuh biaya Rp 50.000 - 60.000
Kekhawatiran yang dirasakan oleh Fajar memang valid. Apakah penghematan ongkos BBM yang ditawarkan mobil listrik benar-benar sudah dapat menggantikan kenyamanan mobil dengan mesin pengapian konvensional?
Kompas menganalisis harga dan biaya operasional dari 69 mobil konvensional dan listrik. Sejumlah mobil ini terdiri dari kelas mobil kecil LCGC (low cost green car), mobil kota/hatchback, sport utility vehicle (SUV), dan minibus multi-purpose vehicle (MPV). Kategori ini dipilih karena mewakili jenis mobil listrik yang sudah ada di Indonesia.
Ongkos energi
Kendaraan listrik yang masuk dalam analisis adalah mobil mikro Wuling Air EV. Lalu pada kelas SUV terdapat Hyundai Ioniq 5 dan Kona, mobil kota Nissan Leaf, dan mobil kelas MPV dari DFSK, Gelora. Seluruh mobil yang dianalisis adalah yang memiliki harga di bawah Rp 1 miliar.
Keuntungan yang jelas terasa dari kendaraan listrik adalah ongkos operasional per kilometer. Dalam analisis terlihat bahwa ongkos mobil BBM secara rata-rata lintas kelas kendaraan dapat mencapai Rp 69.748 per 100 km. Di sisi lain, mobil listrik hanya sekitar sepertiganya (34,3 persen) pada angka Rp 23.934 per 100 km.
Wuling Air EV misalnya, ongkos operasionalnya hanya mencapai Rp 14.701 per 100 km. Di sisi lain, mobil LCGC BBM dapat mencapai Rp 53.272 per 100 km.
Di sisi lain, biaya perawatan untuk mobil listrik juga tergolong lebih rendah. “Nyaris tidak ada (ongkos) perawatan yang khusus untuk kendaraan listrik. Karena bisa dibilang, mobil (listrik) ini enggak bermesin. Kalau mobil BBM kan mesinnya butuh oli,” kata Makmur, Chief Operating Officer PT Hyundai Motors Indonesia.
Meski demikian, Kompas tetap mengasumsikan biaya perawatan mobil listrik memakan 70 persen dari biaya perawatan rutin kendaraan konvensional. Ini turut memperhitungkan perbaikan dan perawatan onderdil di luar mesin yang juga tetap dimiliki oleh mobil listrik.
Keuntungan lain dari mobil listrik adalah besaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang lebih murah. Pajak ini ditentukan dari besaran Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) yang tarif pajaknya diatur pemerintah provinsi. Untuk kalkulasi ini, digunakan tarif pajak dari Pemprov DKI Jakarta, yakni 2 persen dari besaran dasar pengenaan PKB.
Pajak untuk mobil listrik rata-rata mencapai Rp 1,6 juta per tahun. Ini hanya 23,8 persen dari mobil BBM yang dapat mencapai Rp 6,9 juta. Jika dirinci, mobil listrik kelas SUV rata-rata berpajak Rp 2,1 juta per tahun yang lebih murah ketimbang versi BBM-nya yakni Rp 7,4 juta.
Di sisi lain, biaya perawatan untuk mobil listrik juga tergolong lebih rendah. Nyaris tidak ada ongkos perawatan yang khusus untuk kendaraan listrik
Sementara itu di sisi nonfiskal, ada sejumlah kenyamanan yang bisa dinikmati pengguna mobil listrik. Di wilayah DKI Jakarta, misalnya, pengguna mobil listrik akan terbebas dari aturan ganjil-genap di sejumlah jalan utama.
Kerugian
Namun untuk mencapai sejumlah keuntungan itu, ada investasi awal yang harus dikeluarkan oleh calon pemilik mobil listrik. Salah satu tantangan terbesar adalah harga mobil listrik lebih mahal ketimbang mobil konvensional.
Dari analisis Kompas, mobil listrik lebih mahal 47 persen ketimbang mobil konvensional. Harga rata-rata untuk mobil BBM adalah Rp 419,9 juta, sedangkan mobil listrik mencapai Rp 617,6 juta.
Selisih sebesar Rp 197 juta jika digunakan untuk membeli BBM Pertalite Pertamina dengan harga Rp 10.000 per liter, volume BBM yang dibeli adalah 19.761 liter.
Volume sebanyak ini dapat digunakan untuk berkendara sejauh 303.768 km atau 15 tahun 2 bulan, dengan asumsi setiap tahun melakukan perjalanan 20.000 km dan efisiensi mesin rata-rata 15,37 km per 1 liter.
Tantangan lain yang harus dihadapi calon pembeli kendaraan listrik adalah jangkauan mobil yang relatif lebih rendah ketika penyimpanan energinya dalam kondisi penuh (tangki BBM penuh dan baterai penuh).
Secara rata-rata, daya jangkau mobil BBM ketika tangki penuh adalah 722,9 km. Mobil listrik hanya sekitar setengahnya (45 persen) 328,2 km.
Jika digunakan di dalam kota saja, mungkin jangkauan mobil listrik tidak akan jadi masalah. Namun, perjalanan luar kota jarak jauh menggarisbawahi peran krusial stasiun pengisian kendaraan listrik umum.