Membangun Ekosistem Mobil Listrik
Revolusi kendaraan listrik global adalah berkah bagi Indonesia yang kaya SDA nikel, cobalt, tembaga dan mangan. Indonesia mampu menjadi penopang ekosistem mobil listrik dengan membangun pabrik baterai kelas dunia.
Pada April 2022, Presiden Joko Widodo telah menandatangani peraturan presiden untuk pengembangan kendaraan (mobil) listrik dan pasar mobil listrik di Tanah Air.
Presiden juga mendorong pemerintah daerah/kota memberikan insentif agar kendaraan listrik memiliki harga kompetitif ketika bersaing dengan kendaraan fosil. Presiden telah memerintahkan dinas pemerintahan mulai menggunakan mobil listrik untuk mendukung kebijakan ini.
Itu artinya, secara formal Indonesia masuk ke era kendaraan listrik. Ini penting untuk mengurangi tingkat polusi tinggi di kota-kota besar dan emisi karbon yang sekarang menjadi isu global.
Meski demikian, kebijakan ini bukan tanpa penolakan. Banyak yang beranggapan kendaraan listrik harganya sangat mahal dan tak bisa dijangkau kalangan menengah ke bawah. Dengan itu, kendaraan fosil masih menjadi rujukan kelas menengah ke bawah. Pro-kontra dalam sebuah kebijakan wajar-wajar saja.
Indonesia justru menjadi negara yang diuntungkan dari perubahan paradigma ke mobil listrik. Bahan material dasar baterai mobil listrik dari nikel, dan Indonesia penghasil nikel terbesar dunia. Berdasarkan data Booklet Nickle (2021), Indonesia memiliki 72 juta ton cadangan nikel dari 139 juta ton nikel dunia atau berkontribusi 52 persen terhadap nikel dunia, jauh di atas Australia (15 persen), Brasil (8 persen) dan Rusia (5 persen).
Itu artinya, Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku nikel dunia dan memiliki posisi tawar dalam pengembangan kendaraan listrik global. Indonesia juga mampu mengontrol harga nikel global. Harga nikel itu juga relatif stabil. Jika banyak produsen otomotif masuk ke kendaraan listrik dan banyak negara mulai menerapkan kebijakan kendaraan listrik, lamban laun harga mobil listrik menjadi ekonomis dan menggeser kendaraan berbasis fosil.
Baca juga : Upaya Meningkatkan Animo Kendaraan Listrik yang Masih Rendah
Kebijakan kendaraan listrik sangat penting untuk menggeser kendaraan berbasis fosil ini. Indonesia adalah salah satu pasar otomotif terbesar di Asia. Selama bertahun-tahun, mayoritas kendaraan Indonesia menggunakan energi fosil (BBM). Padahal, sejak 2004, cadangan minyak kita terus menurun dari 1 juta barel per hari (bph) menjadi 750.000 bph tahun 2022. Kemampuan produksi BBM di kilang milik Pertamina (Persero) juga hanya mencapai 800.000 bph.
Dengan jumlah penduduk 260 juta jiwa dan mekarnya industri nasional, konsumsi domestik mencapai 1,4 juta bph dan bisa terus meningkat ke depan seiring pertumbuhan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Tak mengherankan jika sejak periode pertama pemerintahan Jokowi tahun 2014, neraca perdagangan migas terus defisit akibat impor minyak terlalu besar. Atas dasar itu, publik perlu menyambut positif langkah pemerintah mendorong pengembangan mobil listrik.
Ekosistem mobil listrik
Revolusi menuju kendaraan listrik memiliki efek pengganda (multiplier effect) sangat besar bagi industri tambang di Tanah Air. Selain dapat mengantisipasi defisit akibat impor minyak dan gas, kebijakan ini dapat mendorong nilai tambah Sumber Daya Alam (SDA), terutama tembaga, mangan, dan nikel.
Tiga jenis mineral ini jadi bahan dasar (raw materials) pengembangan baterai untuk eksosistem mobil listrik. Kebijakan hilirasi mineral memang mewajibkan semua perusahaan tambang membangun pabrik smelter di Tanah Air.
Banyak pihak pesimistis karena produk olahan smelter tembaga, bauksit ataupun nikel tak bisa diserap industri dalam negeri. Namun, dengan berkembangnya kebijakan mobil listrik, hasil olahan smelter tembaga dan nikel di Tanah Air akan terserap dengan mudah.
Glencore, salah satu produsen metal terbesar dunia menyatakan, kebijakan kendaraan listrik akan menambah permintaan (demand ) tembaga 18 persen tahun 2030. Sementara permintaan nikel global akan tumbuh 55 persen di 2030.
Dalam ekosistem kendaraan listrik, tembaga digunakan untuk pembangunan jaringan listrik, jaringan storage (penyimpanan/reservoar) dan charging (Infrastrukur pengisian). Menurut Glencore, permintaan tembaga untuk charging saja, misalnya akan tumbuh dari 23.000 ton di 2020 menjadi 392.000 ton 2030.
Banyak pihak pesimistis karena produk olahan smelter tembaga, bauksit ataupun nikel tak bisa diserap industri dalam negeri.
Ini tentu berita baik bagi produsen tembaga, seperti PT Freeport Indonesia yang telah membangun pabrik smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur, dengan kapasitas di atas 1 juta ton per tahun.
Dengan pengembangan ekosistem mobil listrik, hasil olahan tembaga mudah terserap. Sementara, permintaan nikel untuk jaringan penyimpanan (grid storage) akan tumbuh dari 20.000 ton pada 2020, menjadi 150.000 ton tahun 2030. Secara umum, permintaan nikel untuk kendaraan listrik tumbuh dari 66.000 ton tahun 2020, menjadi 985.000 pada periode tahun 2030.
Meskipun demikian, tak semua jenis nikel bisa menjadi material dasar baterai untuk mobil listrik. Nikel kelas 2 tak cocok untuk baterai mobil listrik. Nikel kelas 2 cocok untuk feronikel sebagai bahan dasar industri stainless steel.
Hanya nikel kelas 1 (pure nickel) atau nickel sulfate yang cocok untuk baterai mobil listrik. Nickel sulfate ini sedang dibangun smelter-nya oleh PT Vale Indonesia Tbk di Bahodopi (Sulawesi Tengah) dan Pomala (Sulawesi Tenggara) dengan kapasitas masing-masing 73.000 metrik ton (MT) dan 120.000 MT dan investasi 6 miliar dollar AS. Belum banyak perusahaan tambang nikel yang membangun smelter untuk nickel sulfate ini.
Sejak penutupan keran ekspor nikel tahun 2020, produsen-produsen nikel memiliki komitmen dalam pengembangan smelter nikel. Namun, mayoritas produsen nikel hanya membangun pabrik feronikel untuk pabrik stainless steel. ANTM, misalnya telah membangun smelter feronikel di Pomala sebesar 27.000 MT dan smelter feronikel berkapasitas 13.000 MT di Halmahera Timur.
Vale juga telah telah membangun pabrik nickel in mate di Sorowako, Sulawesi Selatan, dengan kapasitas 72.000 MT per tahun. Masih banyak perusahaan China yang membangun pabrik smelter feronikel, yang menyebar mulai dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara sampai Halmahera. Pembangunan pabrik nikel kelas 2 ini turut berkontribusi pada penurunan harga nikel. McKinsey (2017) melaporkan, ekspansi produsen-produsen nikel membangun pabrik nikel kelas 2 berkontribusi menurunkan harga nikel dari 29.000 dollar AS per ton di 2011 ke 8.000 dollar AS per ton tahun 2016. Penurunan harga nikel ini berpengaruh pada tingkat keekonomian harga kendaraan listrik.
Untuk tujuan inilah, Indonesia Corporation (IBC) dibentuk Kementerian BUMN. IBC adalah perusahaan patungan (joint venture) antara Pertamina (Persero), PLN (Persero), MIND ID dan ANTM. ANTM yang memiliki banyak konsensi nikel di hulu diharapkan menjadi pemasok nikel kelas 1 ke smelter untuk pengembangan nickel sulfate milik IBC. MIND ID dan ANTM juga memiliki pengalaman pembangunan smelter.
ANTM dan MIND ID diharapkan dapat menambah kapasitas produksi untuk pengolahan nickel sulfate agar proses pengembangan ekosistem baterai mobil listrik berjalan lancar.
Baca juga : Mengikis Keraguan Kendaraan Listrik
Sementara PLN dan Pertamina dapat bergerak di hilir. PLN bisa menyediakan jaringan listrik, jaringan storage. Pasokan listrik ke smelter milik IBC diharapkan menggunakan energi ramah lingkungan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) agar mendukung program transisi energi. Sementara, Pertamina bukan hanya menyediakan charge untuk pengisian baterai, tetapi juga SPBU untuk kendaraan listrik.
Pembangunan ekosistem kendaraan listrik ini cukup mahal. Sangatlah tepat ketika IBC bermitra dengan CATL (China) dan LG Chem (Korea Selatan) yang memiliki kemampuan teknologi dan kemampuan marketing dari produk baterai kendaraan listrik untuk diekspor.
IBC membutuhkan dana 15 miliar dollar AS untuk memproduksi baterai dengan kapasitas 140 Giga Watt Hour (Gwh). Kapasitas itu mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar 60 Gwh pada 2035, dengan rincian kebutuhan kendaraan listrik roda empat mencapai hampir 400.000 unit per tahun dan kendaraan roda dua tiga juta unit.
Pertanyaan selanjutnya, apakah baterai untuk mobil listrik yang dibangun IBC nanti akan terserap pasar dan bagaimana prospek IBC? Jawabannya, tentu akan terserap seiring ekspansi produsen kendaraan listrik global.
China Association Of Automobile Manufactures (CAAM:2019) menyatakan, sejak 2019, kendaraan listrik di China meningkat menjadi 1,7 juta unit, dari 1,6 juta unit tahun 2018. Sementara penjualan mobil berbasis fosil mulai mengalami penurunan. Pada 2019, penjualan mobil berbasis fosil turun 13 persen atau 4,82 juta unit per tahun, sementara penjualan kendaraan listrik naik 118 persen menjadi 254.000 unit per tahun.
McKinsey (2022) memproyeksikan, produksi mobil listrik global tumbuh dari 20 juta unit tahun 2017 menjadi 31 juta unit tahun 2025. Seiring pertumbuhan penjualan kendaraan listrik global, raksasa-raksasa mobil listrik di China dan beberapa produsen mobil listrik global lainnya mendapat untung besar.
Salah satu produsen mobil listrik terbesar China, BYD Company Ltd (BYD) misalnya, mampu menjual 73.172 unit kendaraan listrik tahun 2019. Menariknya, penjualan mobil listrik milik BYD ini full battery dengan pertumbuhan 786 persen menjadi 45.487 unit. BYD mampu menjual mobil listrik full battery tahun 2019 sebanyak 105.094 baterai untuk kendaraan listrik atau naik 229 persen dibandingkan periode tahun 2018.
Bukan hanya perusahaan mobil listrik China yang mampu meraup untung. Produsen mobil listrik terbesar dunia berbasis di AS, Tesla, juga meraup untung.
Tahun 2022, Tesla melaporkan, penjualannya tumbuh tiga kali lipat. Pangsa pasar terbesarnya adalah Eropa. Penjualan mobil listrik ke Eropa mencapai 115.950 unit per tahun. Pabrik mobil listrik Tesla di Shanghai juga mampu menjual mobil listrik 150.000 unit per tahun. Tesla memiliki target ambisius, menjual mobil listrik ke seluruh dunia 500.000 unit per tahun. Tahun 2022 saja, Tesla menargetkan penjualan 400.000 kendaraan listrik.
Dari ekspansi produsen-produsen mobil listrik dan permintaan mobil listrik global di atas, tak mengherankan jika kapitalisasi pasar produsen-produsen mobil listrik sekarang tumbuh cepat. Tesla, misalnya, kapitalisasinya sudah mencapai 42,14 miliar dollar AS, di atas Ford Motor (38 miliar dollar AS), tetapi masih di bawah General Motors (56,7 miliar dollar AS). Dua raksasa ini juga mengincar pasar domestik Indonesia.
Dari ekspansi produsen-produsen mobil listrik dan permintaan mobil listrik global di atas, tak mengherankan jika kapitalisasi pasar produsen-produsen mobil listrik sekarang tumbuh cepat.
Laporan terbaru mengungkapkan, BYD dan Tesla telah memperkenalkan mobil listrik ke pasar Indonesia dengan Blue Bird, salah satu operator taksi terbesar. Sementara Hyundai telah menjanjikan kepada pemerintah untuk memproduksi kendaraan listrik di Indonesia dengan target pasar domestik dan mancanegara.
Dengan pertumbuhan pasar yang begitu cepat, jelas dengan sendirinya, baterai yang diproduksi IBC mampu diserap bukan hanya di pasar domestik, tetapi juga pasar global. Bukan tak mungkin IBC yang menjadi pemasok baterai untuk mobil listrik akan menjadi raja Asia dan merajai dunia. Yang paling penting adalah IBC wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, transparan dan profesional mengolah bisnis.
Kolaborasi BUMN
Revolusi kendaraan listrik global adalah berkah bagi Indonesia yang kaya SDA, seperti nikel, cobalt, tembaga dan mangan. Indonesia tak perlu masuk menjadi pemain dalam industri mobil listrik atau meminta IBC untuk memproduksi mobil listrik. Indonesia diharapkan mampu menjadi penopang ekosistem mobil listrik dengan cara membangun pabrik baterai kendaraan listrik kelas dunia. Dengan itu, IBC memiliki posisi tawar kuat bagi produsen-produsen kendaraan global.
Kuncinya adalah kolaborasi sesama perusahaan-perusahaan BUMN di dalam IBC. Hasil tambang anak usaha MIND ID, seperti ANTM, PT Timah (cobalt/timah) dan MIND ID (aluminium) memiliki peran signifikan dalam pembangunan industri baterai.
PLN sebagai perusahaan penyedia listrik negara harus mampu memasok listrik ke pabrik milik IBC dengan harga ekonomis dan ramah lingkungan. Pertamina di hilir harus siap menyediakan berbagai fasilitas penunjang, seperti SPBU yang memudahkan konsumen menggunakan kendaraan listrik.
Pembangunan ekosistem kendaraan listrik yang dipelopori perusahaan tambang BUMN ini menjadi kunci kesuksesan Indonesia menjadi penopang industri kendaraan listrik domestik dan global. Sudah cukup Indonesia menjadi pemakai (konsumen) produk, mari berlangkah menjadi negara yang mampu memproduksi ekosistem kendaraan baterai global.
Ferdy Hasiman Peneliti Alpha Reserch Database, Indonesia