Lebih Boros dengan Mobil Listrik
Harga mobil listrik yang relatif lebih mahal menghapus keunggulan biaya operasional harian yang sebetulnya jauh lebih rendah ketimbang mobil BBM konvensional. Kompas menganalisis untung rugi beralih ke kendaraan listrik.
JAKARTA, KOMPAS — Analisis Kompas terhadap 69 jenis mobil, baik bermesin bakar, listrik dan hibrida dengan harga di bawah Rp 1 miliar, menunjukkan, biaya kepemilikan mobil listrik selama 5 tahun, ternyata masih lebih tinggi dibanding mobil bermesin bakar atau yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM)
Harga mobil listrik yang relatif lebih mahal menghapus keunggulan biaya operasional harian yang sebetulnya jauh lebih rendah ketimbang mobil BBM konvensional.
Biaya operasional mobil listrik yang terdiri dari perawatan, energi, serta pajak, secara rata-rata membutuhkan Rp 23,3 juta selama periode penggunaan lima tahun atau 100.000 kilometer. Ini lebih rendah sekitar 76 persen ketimbang biaya operasional mobil BBM konvensional yang mencapai Rp 97,3 juta selama lima tahun.
Dengan demikian, penggunaan mobil listrik dapat menghemat ongkos energi sebesar Rp 74 juta selama lima tahun. Namun keunggulan itu akan terhapus dengan biaya investasi awal mobil listrik rata-rata yang masih Rp 198 juta lebih mahal. Mobil listrik memiliki harga rata-rata Rp 617,6 juta, sementara rata-rata harga mobil BBM Rp 420 juta.
Biaya kepemilikan total atau total cost of ownership (TCO) mobil listrik selama 5 tahun adalah Rp 640,9 juta. Sementara TCO mobil BBM 517,3 juta. Artinya TCO mobil listrik masih 24 persen lebih mahal ketimbang mobil BBM.
Infografik Perbandingan Biaya Kepemilikan Kendaraan Listrik dan Konvensional
Dengan mengombinasikan data pengeluaran rumah tangga seluruh Indonesia di hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik yang terbaru dengan simulasi kredit mobil listrik di harga rata-rata Rp 617 juta, diketahui hanya ada 371.806 rumah tangga Indonesia yang mampu membeli mobil tersebut. Ini hanya 17 persen dari target 2 juta mobil listrik di tahun 2030.
Di sisi lain, sepeda motor listrik diyakini telah mencapai tingkat keekonomisan yang menyaingi sepeda motor BBM. Biaya kepemilikan sepeda motor listrik sekitar Rp 32 juta. Ini sudah lebih rendah ketimbang TCO sepeda motor BBM yang dapat mencapai Rp 39 juta.
Penghematan
Analisis juga menunjukkan bahwa transisi ke kendaraan listrik dapat menghemat pengeluaran rumah tangga Indonesia. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2021, median konsumsi BBM per bulan rumah tangga yang memiliki sepeda motor adalah Rp 164.000, sedangkan rumah tangga yang memiliki sepeda motor dan mobil Rp 574.000 per bulan.
Biaya operasional mobil listrik yang terdiri dari perawatan, energi, serta pajak, secara rata-rata membutuhkan Rp 23,3 juta selama periode penggunaan lima tahun atau 100.000 kilometer. Ini lebih rendah sekitar 76 persen ketimbang biaya operasional mobil BBM konvensional yang mencapai Rp 97,3 juta selama lima tahun
Jika rumah tangga ini mengganti kendaraan BBM-nya menjadi kendaraan listrik, maka pengeluaran listrik mereka diperkirakan hanya meningkat Rp 34.817 dan Rp 166.342 per bulan. Artinya, ada penghematan sebesar Rp 129.183 per bulan untuk rumah tangga bersepeda motor listrik, dan Rp 407.658 untuk rumah tangga yang memiliki sepeda motor listrik dan mobil listrik.
Total penghematan yang didapatkan oleh 60,4 juta rumah tangga yang memiliki kendaraan BBM, bisa mencapai Rp 146,9 triliun.
Baca juga: Menghitung Kembali Biaya Mobil Listrik
Energi kotor
Sementara itu, pasokan listrik di Indonesia yang masih didominasi pembangkit bertenaga energi fosil gagal memanfaatkan penuh potensi penurunan emisi karbon yang dijanjikan kendaraan listrik. Berdasarkan Statistik PLN 2021, batu bara masih menyumbang 62 persen komposisi sumber energi Indonesia.
Kendaraan listrik yang ramah lingkungan, tetap menghasilkan emisi karbon setiap mengisi ulang baterai. Kendaraan listrik tidak memiliki gas buang, namun emisi muncul dari pembangkit listrik.
Jika diasumsikan hanya sekitar 51 persen kendaraan yang bergerak aktif setiap harinya, maka ada 62,1 juta dari 121,2 juta unit sepeda motor dan 8,6 juta unit dari 16,9 juta unit mobil yang menghasilkan emisi setiap harinya.
Apabila sumber listrik Indonesia 100 persen dari sumber energi yang tergolong hijau, maka transisi ke kendaraan listrik memunculkan potensi penurunan emisi hingga 69 juta ton tiap tahunnya. Namun, karena sumber energi Indonesia yang masih bergantung pada batubara, maka penurunan emisi yang didapatkan hanya sekitar 49,8 juta ton.
Baca juga: Dilema Lingkungan Kendaaan Listrik
Ini belum menghitung pelepasan emisi karbon dalam skala besar akibat pembukaan hutan dalam rangka penambangan mineral untuk baterai kendaraan listrik.
Insentif kurang
Pemerintah saat ini sedang berambisi kuat menggenjot transisi elektrifikasi kendaraan pribadi BBM. Diawali dengan dikeluarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Pemerintah menargetkan transisi sebanyak 2 juta mobil listrik dan 13 juta sepeda motor listrik pada tahun 2030.
Terakhir juga terbit Inpres Nomor 7 Tahun 2022 yang mengamanatkan penggunaan kendaraan listrik untuk kendaraan dinas operasional pemerintah pusat dan daerah.
Pasokan listrik di Indonesia yang masih didominasi pembangkit bertenaga energi fosil gagal memanfaatkan penuh potensi penurunan emisi karbon yang dijanjikan kendaraan listrik. Berdasarkan Statistik PLN 2021, batu bara masih menyumbang 62 persen komposisi sumber energi Indonesia
Kesuksesan kebijakan transisi bergantung pada kemauan masyarakat. Dengan kata lain, biaya pemenuhan ambisi ini masih ditanggung masyarakat dengan merogoh kocek lebih untuk membeli kendaraan listrik yang harganya lebih mahal ketimbang kendaraan BBM.
Padahal, salah satu keuntungan besar dari transisi ini justru diraup pemerintah akibat berkurangnya beban pemerintah di aspek subsidi BBM.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut harga keekonomian Pertalite adalah Rp 14.450 di awal September 2022. Jika harga jual Rp 10.000 maka subsidi yang diberikan adalah Rp 4.450 per liter untuk Pertalite. Jika transisi dilakukan oleh seluruh pengguna kendaraan bermotor, maka beban subsidi yang dapat berkurang adalah sekitar Rp 71,7 triliun.
Saat ini insentif yang telah diberikan oleh pemerintah pusat adalah penghapusan pajak barang mewah (PPnBM). Dari pemerintah daerah, misalnya DKI Jakarta, ada kebijakan bebas biaya balik nama. Melalui PLN, juga ada insentif dalam bentuk potongan tarif listrik sebesar 30 persen untuk penggunaan pukul 22.00–05.00 bagi pelanggan yang sudah mendaftarkan diri sebagai pemilik kendaraan listrik.
Pengajar Ketahanan Energi Universitas Pertahanan Imam Supriyadi menilai, ada ruang fiskal yang lebih leluasa bagi pemerintah untuk memberikan insentif tambahan kepada masyarakat agar kendaraan listrik bisa lebih menarik.
Asisten Deputi Industri Maritim dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Firdausi Manti mengakui saat ini harga kendaraan listrik, khususnya mobil, masih terlampau tinggi. Sulit untuk memicu transisi masif di masyarakat.
Hal ini, menurutnya diakibatkan oleh varian mobil listrik yang masuk ke Indonesia masih sedikit dan tergolong mobil kelas menengah atas. Oleh karena itu, di samping mencari pemain baru untuk berinvestasi di Indonesia, saat ini pemerintah sedang menggodok sejumlah opsi insentif fiskal untuk meningkatkan daya tarik mobil listrik. Beberapa pilihan yang dipertimbangkan antara lain penghapusan pajak tertentu dan pemberian potongan harga.
“Tetapi kan diskon ini terbatas, misalnya Rp 60-70 juta tetapi harga mobilnya sampai Rp 800-900 juta ini pengaruhnya apa? Jadi kalau variannya sudah banyak, harganya mungkin bisa ditekan menjadi Rp 300-400 juta ini lalu dapat potongan Rp 50-60 juta ini lumayan,” kata Firdausi.
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi mengakui bahwa kendaraan listrik adalah keniscayaan yang semakin nyata di Indonesia. Dia memahami saat ini industri otomotif Indonesia baru menyediakan kendaraan listrik di rentang Rp 200-300 juta, Rp 400-600 juta, hingga di atas Rp 600 juta. Menurutnya, merek dan varian akan terus berkembang dan disesuaikan dengan arah kebijakan pemerintah.
“Tantangan industri otomotif Indonesia kedepan adalah untuk terus meningkatkan jenis dan jumlah kendaraan listrik hasil produksi nasional, dan terus mengembangkan industri otomotif Indonesia secara global,” ujar Nangoi.
Minat konsumen Indonesia terhadap kendaraan listrik pun meningkat. Pada ajang pameran otomotif GIIAS Agustus 2022, telah terjual 1.274 mobil listrik. Bahkan, penjualan selama sebelas hari penyelenggaraan GIIAS 2022 melampaui total penjualan kendaraan bermotor listrik sepanjang 2021.
Perekayasa Badan Riset dan Inovasi Nasional Setyo Margo Utomo menilai, ketersediaan energi bersih dan harga memang menjadi dua persoalan kebijakan transisi ke kendaraan listrik.
“Kita harus mampu mencukupi dan harus dari energi bersih sehingga kendaraan listrik tidak sekadar memindahkan polusi gas rumah kaca dari jalan raya ke wilayah pembangkit. Kedua, harga kendaraan listrik ini masih sangat mahal, tentunya ini akan membebani masyarakat,” kata Setyo saat memandu seminar di ajang Indonesa Electric Motor Show di Jakarta, pertengahan pekan lalu.
Baca juga : Untung Rugi Punya Kendaraan Listrik