Menilik bauran energi Indonesia yang masih didominasi bahan bakar fosil serta ancaman pembukaan kawasan hutan guna tambang nikel, memicu munculnya satu pertanyaan, apakah mobil listrik benar-benar hijau?
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, M PUTERI ROSALINA, ALBERTUS KRISNA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transisi masif menuju penggunaan kendaraan listrik menjanjikan penurunan emisi gas rumah kaca, khususnya karbondioksida atau CO2 secara signifikan. Namun, menilik bauran energi Indonesia yang masih didominasi bahan bakar fosil serta ancaman pembukaan kawasan hutan guna tambang nikel, salah satu mineral utama penyusun baterai mobil listrik, memicu munculnya satu pertanyaan, apakah kendaraan listrik di Indonesia benar-benar hijau?
Kompas menghitung emisi karbon yang dihasilkan oleh 138,1 juta unit sepeda motor dan mobil pada 2021 untuk mengetahui potensi pengurangan karbon yang akan didapat jika bertransisi ke kendaraan listrik. Melalui aplikasi kalkulator emisi karbon dari firma konsultan iklim Inggris, Carbon Footprint, didapatkan, rata-rata emisi karbon dari 60 jenis mobil selama setahun, atau sekitar 20.000 km, mencapai 4,7 ton CO2. Lalu, untuk 10 jenis sepeda motor, emisinya mencapai 0,45 ton CO2 per tahun atau 10.000 km.
Angka rata-rata ini digunakan untuk menghitung emisi karbon dari 121,2 juta unit sepeda motor dan 16,9 juta unit mobil. Dengan asumsi kendaraan yang bergerak setiap harinya adalah sekitar 51,24 persen dari total kendaraan terdaftar pada 2021, maka potensi ideal emisi karbon yang hilang apabila semuanya diubah menjadi kendaraan listrik dapat mencapai 69,2 juta ton CO2.
Angka 51,24 persen ini diambil dari proporsi mobilitas warga yang menggunakan kendaraan pribadi maupun dinas untuk berkomuter, sesuai dengan data BPS tahun 2020.
Meski demikian, penggunaan kendaraan listrik di Indonesia diduga tidak akan mencapai titik ideal tersebut. Hal ini karena sumber listrik Indonesia, merujuk pada Statistika PLN, sebanyak 62 persennya masih mengandalkan batubara. Adapun komposisi energi baru terbarukan (EBT) pada 2021 di bauran energi nasional baru mencapai 12,6 persen.
Infografik Dampak Lingkungan Kendaraan Listrik
Dengan memperhitungkan faktor emisi pembangkit listrik berbasis batubara yakni 1,14 kg CO2 per kWh listrik yang dihasilkan, kendaraan listrik di Indonesia secara tidak langsung mengemisikan 19,3 juta ton CO2 per tahun. Artinya dari potensi penurunan 69 juta ton CO2, program transisi ke kendaraan listrik di Indonesia hanya akan mampu memenuhi 49,8 juta ton CO2 atau 72 persen dari potensi maksimalnya.
Terkait sumber energi Indonesia yang belum sepenuhnya hijau, Koordinator Kelaikan Teknik dan Keselamatan Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Didit Waskito, dalam seminar Kamis (29/9/2022) pekan lalu, mengatakan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) telah memprioritaskan peningkatan proporsi EBT sekaligus membatasi penambahan pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara.
Menilik bauran energi Indonesia yang masih didominasi bahan bakar fosil serta ancaman pembukaan kawasan hutan guna tambang nikel, salah satu mineral utama penyusun baterai mobil listrik, memicu munculnya satu pertanyaan, apakah kendaraan listrik di Indonesia benar-benar hijau?
Kepala Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nugroho Adi Sasongko berpendapat, apabila sumber listrik Indonesia masih terus mengandalkan batubara, kendaraan listrik tidak akan memiliki efek penurunan emisi yang terasa. "Ya jadi hanya memindahkan yang awalnya ada di kota. Lalu, sumber emisi kini jadi ada di pembangkit," kata Nugroho.
Meski demikian, ada keunggulan unik yang dapat diberikan kendaraan listrik yakni kualitas udara perkotaan yang bersih dari gas buang kendaraan. Penelitian di Swedia dan Arizona, Amerika Serikat menunjukkan, penggunaan kendaraan listrik signifikan mengurangi emisi polutan pencemar udara.
Penelitian di Swedia selama 2010-2019, ada korelasi negatif antara jumlah kendaraan listrik dengan emisi Nitrogen Oksida (NOx). Hasil dari paper "An Empirical Study of the Effect Electric Cars Have on Air Pollution in Sweden (2021)" tersebut, emisi NOx rata-rata menurun 0,03 persen saat mobil listrik meningkat 1 persen.
Di samping potensi penurunan emisi gas rumah kaca yang tidak maksimal, sejumlah pihak juga khawatir munculnya dampak negatif akibat ekosistem pendukung industri kendaraan listrik, khususnya penambangan mineral nikel yang dibutuhkan baterai
Sebelumnya, penelitian "Air Quality and Economic Benefits of Electric Vehicles in Arizona (2013)" menyebutkan dampak positif kendaraan listrik pada kualitas udara di Wilayah Maricoba, Arizona, AS. Tercatat dalam paper tersebut, emisi polutan kendaraan listrik jenis Battery Electrical Vehicle (BEV) dan Plug in Hybrid Electrical Vehicle (PHEV10&PHEV 40) berkurang signifikan sekitar 30 hingga 90 persen.
Dampak tidak langsung
Di samping potensi penurunan emisi gas rumah kaca yang tidak maksimal, sejumlah pihak juga khawatir munculnya dampak negatif akibat ekosistem pendukung industri kendaraan listrik, khususnya penambangan mineral nikel yang dibutuhkan baterai.
Nugroho mengatakan, masih ada proses di hulu yang belum dibahas yakni penebangan hutan untuk penambangan nikel. "Kendaraan listrik di satu sisi mengurangi ancaman terhadap lingkungan, tapi muncul dampak lainnya, misalnya dari tailing pertambangan," kata Nugroho.
Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Fanny Tri Jambore menyebut, potensi penurunan emisi gas rumah kaca yang dijanjikan oleh transisi menuju kendaraan listrik bisa terhapus tambahan emisi karbon dari pembukaan lahan hutan untuk eksplorasi dan eksploitasi nikel. “Dalam hitungan kami, ada 83 juta ton emisi karbon dihasilkan hanya dari perubahan kawasan hutan menjadi pertambangan,” kata dia.