Kecerdasan Buatan Berkembang Pesat, Buruh Khawatir Bakal Menganggur
Kalangan buruh mengkhawatirkan penerapan kecerdasan buatan dapat menghilangkan pekerjaan mereka. Pada saat yang sama, berbagai masalah dasar, seperti upah, cuti, dan pelanggaran hak, masih perlu dihadapi para pekerja.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence /AI) yang kian pesat mulai mengancam kelompok pekerja atau buruh. Kalangan buruh khawatir bakal menganggur karena pekerjaannya tergantikan oleh AI. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas pekerja semakin berperan krusial.
Merujuk laporan lembaga riset dan teknologi McKinsey pada 2019, sebanyak 23 juta pekerjaan di Indonesia dapat tergantikan akibat otomasi hingga 2030. Walakin, keberadaan AI diprediksi mampu menciptakan 27 juta-46 juta lapangan kerja. Sebanyak 10 juta di antaranya merupakan jenis pekerjaan baru yang belum pernah ada.
Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah berpendapat, perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak dapat dihindari. Namun, di Indonesia, hal tersebut masih dikuasai kelompok tertentu yang jarang berpihak pada kelompok buruh.
”Mesin-mesin semakin canggih, yang pada saat bersamaan mengurangi jumlah pekerja. Orang-orang kehilangan pekerjaan, di-PHK (pemutusan hubungan kerja), yang menciptakan pengangguran. Hal ini memicu masalah sosial berantai,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (12/5/2023).
Ledakan pengurangan pekerja besar-besaran, kata Ilhamsyah, tinggal menunggu waktu. Sebagai contoh, pekerja sektor keuangan mulai tergantikan oleh sistem penghitungan otomatis dan buruh mulai diganti dengan mesin-mesin.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat pengangguran terbuka Indonesia per Februari 2023 sebesar 5,45 persen atau setara dengan 7,99 juta orang menganggur. Adapun jumlah total angkatan kerja Indonesia pada periode yang sama mencapai 146,62 juta orang.
Baik individu maupun serikat pekerja masih abai terhadap isu AI yang mengintai. Mereka terjebak dalam permasalahan utama, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, upah, dan cuti. Padahal, perjuangan mereka dapat ’sia-sia’ apabila pekerja tersebut digantikan oleh mesin.
Menurut Ilhamsyah, AI seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, seperti pemanfaatan mesin—dengan nilai produksi yang sama—mampu mengurangi jam kerja seseorang. Dengan demikian, pekerja akan lebih banyak waktu untuk mengembangkan kemampuan ataupun hal produktif lainnya.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menuturkan, dampak pengurangan pekerja ini mulai marak terjadi. Ini terlihat dari sejumlah anggota serikatnya yang di-PHK akibat tergantikan oleh mesin.
”Memang masih sedikit (yang tergantikan AI). Namun, periode mendatang dapat terjadi pengurangan jumlah pekerja berskala besar. Sementara itu, fokus pekerja masih teralihkan dengan masalah lain,” kata Elly.
Baik individu maupun serikat pekerja, lanjutnya, masih abai terhadap isu AI yang mengintai. Mereka terjebak dalam permasalahan utama, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, upah, dan cuti. Padahal, perjuangan mereka dapat ”sia-sia” apabila pekerja tersebut digantikan oleh mesin.
Oleh karena itu, menurut Elly, pemerintah dan pihak terkait perlu melahirkan kebijakan yang tepat untuk menanggapi perkembangan teknologi. Masa depan dunia kerja bergantung pada kemampuan semua pihak dalam menyikapi transisi penerapan AI. Terlebih, kehadiran AI memaksa para pekerja untuk meningkatkan kemampuannya lebih jauh agar dapat bersaing.
Peningkatan kapasitas
Pengamat teknologi informasi Pratama Persadha menyebutkan, kehadiran AI yang menggantikan peran pekerja berpotensi meningkatkan kebutuhan pendidikan di masa depan. Setiap individu kini perlu mengembangkan keterampilan yang spesifik dan relevan dengan pekerjaan yang tidak dapat digantikan oleh AI.
Sektor yang dapat diotomasi cenderung digantikan oleh AI. Karena itu, pekerjaan yang membutuhkan kapasitas lebih tinggi, keterampilan khusus, dan pemikiran kompleks menjadi lebih penting. Dalam skenario ini, pekerja di sektor kreatif (seniman, pemahat), melibatkan interaksi manusia (psikolog, pemasaran), dan memerlukan pemikiran kritis (dokter, pemimpin perusahaan) masih dibutuhkan.
”Di sisi lain, pendidikan digital dan keterampilan untuk berkolaborasi dengan AI juga semakin penting. Pemahaman ini berupa cara menggunakan, berkomunikasi, interpretasi, dan analisis data yang dihasilkan AI. Sebab, hal itu dapat memudahkan pekerjaan di berbagai sektor,” kata Persadha yang juga Ketua Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), lembaga riset keamanan siber.
Mengutip laporan McKinsey yang bertajuk ”The state of AI in 2022–and a half decade in review”, jumlah rata-rata kemampuan AI yang digunakan organisasi terus meningkat dari 1,9 pada 2018 menjadi 3,8 tahun 2022. Kemampuan tersebut di antaranya otomasi proses, visi komputerisasi, pembacaan teks secara natural, dan memproses data dengan kapasitas otak manusia.