Kejutan AI Mendidik Generasi Baru
Kecerdasan buatan kini menjadi perbincangan yang akan membuat dunia pendidikan kembali mengalami disrupsi. Kehadiran chatbot berbasis AI yang dapat berpikir seperti manusia menimbukan pro-kontra untuk adaptasi.

Foto yang diambil pada 23 Januari 2023 si Toulouse, Perancis,, menunjukkan tampilan layar logo OpenAI danChatGPT., software percakapan dengan artificial intelligence yang dikembangkan OpenAI.
Penggunaan teknologi digital dalam pendidikan mulai masif saat pandemi Covid-19 merebak di dunia. Berbagai platform dan aplikasi digital pendidikan bermunculan untuk memastikan efektivitas pendidikan jarak jauh. Belajar model campuran maupun hanya dalam jaringan pun berkembang.
Di penghujung tahun 2022, saat teknologi digital mulai biasa digunakan untuk mendukung manajemen layanan pendidikan dan proses pembelajaran, dunia pendidikan kembali mendapatkan kejutan. Disrupsi pendidikan kembali muncul dengan hadirnya kecerdasan buatan pembangkit teks atau artificial intelligence text generators (AITGs).
Sejak November 2022 hingga saat ini, chatbots ChatGPT berbasis AI yang dibuat OpenAI, terus jadi perbincangan, termasuk di kalangan dunia pendidikan. Bahkan, kini semakin berkembang seperti yang juga yang popular Bing dari Microsoft atau LaMDA dari Google.
Aplikasi ChatGPT ini dapat menghasilkan teks hanya dengan mengajukan pertanyaan. Namun, ini bukan sekadar chatbot, tapi dapat menghasilkan artikel, ringkasan, esai, atau kode dalam hitungan detik. Kehadirannya dinilai menguntungkan untuk mengerjakan tugas-tugas atau ujian sekolah/kuliah, namun menimbulkan isu tentang penilaian.
Kalangan pendidikan pun bereaksi. Dari uji coba yang dilakukan profesor di Wharton Business School di Universtas Pennsylvania, Amerika Serikat, Christian Terwiesch, seperti dilaporkan Financial Times pada 21 Januari 2023, Bot ChatGPT3 mampu lulus dengan nilai antara B dan B- pada ujian dalam program inti MBA-nya.
Bot ChatGPT, mengungguli sebagian besar mahasiswa yang ikut kuliah tersebut. Meskipun hasilnya mengagumkan, masih ditemukan kekurangan, terutama untuk penghitungan masih buruk.
Pro dan kontra penggunaan kecerdasan buatan yang akan terus berkembang dan canggih terus terjadi. Ada kekhawatiran di kalangan pendidikan bahwa nantinya karya yang dihasilkan bukan lagi pemikiran dari peserta didik. Pendidikan menghadapi tantangan untuk tidak bergantung pada mesin.
Baca juga : Setelah Berdansa Bersama Robot
Dari laporan Washington Post, di Januari 2023, di New York dan Los Angeles, Amerika Serikat, ada larangan sekolah untuk menggunakan ChatGPT sehingga tidak bisa diakses dari gawai di lingkungan sekolah. Sebab, AI seperti ChatGPT sekarang dapat menulis esai yang masuk akal, bahkan jika itu didasarkan pada ketidakbenaran.
Alat baru berbasis AI ini membuka peluang merevolusi cara manusia mengakses informasi dan menulis, dengan cara sama seperti yang dimiliki pemeriksa tata bahasa dan ejaan.
Kecerdasan buatan yang bisa digunakan peserta didik untuk menulis esai dengan mudah, misalnya, dikhawatirkan menghilangkan proses penulisan yang penting untuk perkembangan siswa sebagai pemikir. Karena tak menyalin teks yang ada, tak ada cara mudah memastikan apakah manusia atau bot yang menulis jawabannya.

Di awal tahun 2023 pun, aplikasi yang mampu mendeteksi apakah teks dibuat oleh mesin atau ditulis oleh seseorang pun lahir. Mahasiswa ilmu komputer dan jurnalistik di Universitas Princenton, Amerika Serikat, Edward Tian, menghadirkan GPTZero.
Lebih dari 6.000 guru dari Universitas Harvard, Universitas Yale, Universitas Rhode Island, dan institusi lain telah mendaftar untuk menyebarkan GPTZero, program yang menjanjikan untuk secara instan mengidentifikasi teks yang dihasilkan AI.
Pendekatan Tian mengukur beberapa sifat, seperti kebingungan, pada dasarnya keacakan, teks dan ledakannya, guna mengukur apakah tulisan itu kompleks dan beragam, sebagaimana tulisan manusia.
“Setiap manusia menginginkan kebenaran. Akan menyedihkan jika bertahun-tahun dari sekarang, kebanyakan orang mengandalkan AI dan tulisan menjadi jauh lebih seragam. Padahal, ada sesuatu yang secara implisit indah dalam prosa manusia “yang tidak akan pernah bisa dikooptasi oleh komputer,” kata Tian.
Di Indonesia
Pengembangan AI memengaruhi cara memperoleh informasi yang makin terbuka dan mudah. Aspirasi terkait pemanfaatan teknologi digital di ruang kelas maupun kuliah seperti penggunaan gawai dalam proses pembelajaran sebelum pandemi Covid-19. Kehati-hatian terhadap tawaran kemudahan teknologi tetap dipertimbangkan.
Setiap manusia menginginkan kebenaran. Akan menyedihkan jika bertahun-tahun dari sekarang, kebanyakan orang mengandalkan AI dan tulisan menjadi jauh lebih seragam.
Rafi, mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, mengaku belum pernah mencoba ChatGPT. Perbincangan dosen dan mahasiswa terkait chatbot berbasis AI untuk memudahkan perkuliahan belum mengemuka. Dari cerita temannya di Fakultas Komputer, ada dosen yang meminta mahasiswa mengerjakan tugas dengan ChatGPT.
“Di fakultas aku masih ada dosen yang kasih tugas esai dengan tulisan tangan sama docs. Kata dosennya kalau mahasiswa menulis dan membaca, pasti akan lebih mudah memahami. Bahkan kuliah sudah offline (luring),” kata Rafi.
Rafi mencoba memaklumi alasan para dosen yang berpikir chatbot AI memudahkan mahasiswa menyalin jawaban. Padahal, ia perlu beradaptasi dengan teknologi, termasuk AI. “Tentunya mahasiswa mau yang mempermudah karena tugas kuliah banyak. Maunya kampus beradaptasi, terlalu konvensional juga susah,” tuturnya.

Microsoft Corporate Vice President of Modern Life, Search, and Devices, Yusuf Mehdi, memaparkan integrasi ChatGPT pada Bing di Microsoft di Redmond, Washington, (7/2/ 2023). Mesin pencarian Microsoft Bing akan mengintegrasikan dengan kapabiltas penuh dari bahasa berbasis artificial intelligence, (Photo by Jason Redmond / AFP)
Secara terpisah, Chaterine, mahasiswa Universitas Indonesia, mengaku di kelasnya pernah ada satu dosen yang membahas ChatGPT. “Kayak lebih menyarankan ChatGPT buat jadi tambahan informasi saja, bukan buat acuan pokok jika mengerjakan esai atau ujian,” ujarnya.
Baca juga : Mengatasi Peluang Mencontek Mahasiswa yang Kian Besar
Dalam pandangan Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto, penggunaan teknologi digital, termasuk chatbot berbasis AI, sama dengan praktik selama ini seperti mengizinkan penggunaan kalkulator dan komputer dalam pembelajaran. Apalagi saat gawai sudah 24 jam di tangan dan lowongan kerja menuntut pelamarnya paham mengoperasikan teknologi digital.
“Seperti halnya ahli biologi memakai mikroskop atau astronom memakai teleskop. Mengapa mahasiswa jika untuk menulis tidak bisa memakai chatbot seperti ChatGPT? Tentu jika mahasiswa diam saja dan mengandalkan AI hasilnya, misalnya 80, ya tuntutan terhadap hasil berpikir mahasiswa harus lebih tinggi,” ujar Iwan.
Manusia-mesin
Sebagai dosen, Iwan mengizinkan mahasiswa menggunakan kecerdasan buatan karena dirinya juga memanfaatkan chatbot AI untuk membantunya bekerja. Ketika hendak memeriksa tulisan mahasiswa, bisa lebih mudah dan menghemat waktu.
“Saya tanya tolong periksa koheren, strukturnya, hingga logika, mekanisme. Demikian juga ketika meminta masukan yang diberikan ke mahasiswa, mulai dari apa yang harus disampaikan, jadi terbantu,” paparnya.
Namun, dosen harus memahami tujuan mengizinkan penggunaan teknologi itu. Sebagai contoh, teknologi untuk membantu mahasiswa bagus dalam penulisan dan berlogika, hingga penggunaan bahasa Inggris.
“Kalau hanya menyerahkan ke mesin dan menerima mentah-mentah ya gawat. Kalau orang tidak pintar atau cerdas, tidak tahu ada yang aneh. Di sinilah tantangan dosen mengubah cara mengajar, memberikan tugas harus berbeda, karena sudah ada kecerdsan buatan yang mendampingi siswa,” ujarnya.
Iwan menjajal ChatGPT dan Bing. Bahkan di Bing bisa memilih keterlibatan mesin dengan pilihan kreatif (seperti ChatGPT), sedang, atau strict (disiplin atau amat kaku). “Sekarang punya teman berdiskusi meski dengan mesin, lalu berdiskusi dengan mahasiswa bimbingan. Memang harus kolaborasi manusia-mesin,” kata Iwan.
Hal senada disampaikan Guru Besar Teknologi Informasi dan Komunikasi Universitas Pradipta Richardus Eko Indrajit yang juga Ketua Smart Learning and Character Center Persatuan Guru Republik Inonesia.
“Filosofinya sederhana mengikuti UNESCO. Teknologi dalam pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang belum terpenuhi. Teknologi apa pun sejauh meningkatkan kinerja pembelajaran perlu dimanfaatkan,” ujar Eko.
Adanya kecerdasan buatan semakin membuat bahan belajar atau informasi bebas, cepat, dan benar. Untuk itu, fungsi guru/dosen harus berubah tidak lagi menjadi sumber belajar. Kecerdasan buatan seperti ChatGPT berdasarkan data/fakta, bahkan nanti bisa sampai membuat buku sendiri.
“Sama saja seperti orang bertanya kepada pakar/ahli. Kalau dengan konvensional kan, sulit, lama, terbatas, bahkan mahal atau berbayar. Kalau dengan AI seperti ChatGPT bisa lebih inklusif. Artinya, kehadirannya memenuhi kebutuhan akses pada sumber belajar atau ahli secara terbuka,” papar Eko.

Rektor Universitas Brawijaya Widodo, usai meresmikan Artificial Intelligence (AI) Center, Rabu (15/02/2023).
Eko menekankan kepada para guru untuk berpikiran terbuka pada kehadiran teknologi digital, termasuk AI. Kehadiran AI tidaklah menggantikan peran pendidik. Bahkan, membantu untuk tidak menghabiskan waktu mencari data atau menganalisis.
“Pembelajaran pun harus ditingkatkan ke arah creation atau penciptaan. Sebab, informasi apapun juga yang disediakan di AI, tetap saja tidak ada artinya jika tidak dieksekusi atau dilakukan oleh manusia,” ujarnya.
Makna pendidikan untuk manusia berpikir pun perlu dirumuskan ulang. Dengan kehadiran kecerdasan buatan yang menyediakan informasi atau jawaban mirip dengan pemikiran manusia, kini yang penting bukan jawabannya. “Nilailah seseorang melalui pertanyaannya, bukan dari jawabannya,” kata Eko.
Di sinilah, para pendidik di sekolah maupun perguruan tinggi harus mampu mendesain pertanyaan yang tidak mudah dijawab kecerdasan buatan. Para pendidik pun harus menaikkan level kecerdasan pertanyaan yang bukan menghafal data atau fakta, namun yang mengajak berpikir hingga mampu melakukan.
“Jangan sampai kita diperbudak oleh teknologi karena kehadiran teknologi tidak bisa dicegah. Untuk itu, tetaplah berpikiran terbuka terhadap perubahan dan milikilah pikiran bertumbuh atau growth mindset,” ungkap Eko.
Kesiapan mengembangkan AI di Indonesia salah satunya lewat pembentukan Dikti AI Center tahun 2022. Menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nizam pemerintah mendukung penyediaan fasilitas server komputasi berkemampuan tinggi.
Fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan secara terbuka oleh semua insan pendidikan tinggi (Dikti) di Indonesia yang merupakan fasilitas sangat mumpuni untuk pengembangan AI.
Fasilitas Super komputer Dikti AI Centre bertujuan menciptakan talenta AI nasional lewat pelatihan bekerja sama dengan industri terkait Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Fasilitas ini juga digunakan perguruan tinggi dan mitra untuk menghasilkan inovasi bidang AI yang menjawab kebutuhan industri dan lembaga pemerintah.
Subkoordinator Data Pendidikan Tinggi, Diktiristek, Franova Herdiyanto mengutarakan Dikti AI Center menjadi bagian sarana prasarana milik sejumlah perguruan tinggi high performance computing seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Gunadarma. Kapasitas komputasi 75 petaflops.
Baca juga : Pusat Data Kecerdasan Buatan Diluncurkan
Pada tahun 2022, penelitian dosen dari berbagai perguruan tinggi bidang kesehatan, bahasa, dan cuaca memanfatakan Dikti AI Center. Pada tahun 2023, guna mendukung layanan pendidikan tinggi, riset berbasis AI disiapkan guna memprediksi tingkat kelulusan dan putus kuliah (drop out) mahasiswa, hingga rekomendasi talenta.
“Fasilitas yang dimiliki Dikti AI Center ini sama seperti basis ChatGPT. Jadi nanti dimanfaatkan untuk bisa memprediksi dan memberikan rekomendasi terkait pendidikan tinggi, yang di bebrapa kasus penggunaannya juga membutuhkan data data pokok pendidikan dasar-menengah,” kata Franova.
Pemanfaatannya disiapkan bagaimana rekomendasi AI mengenai pendirian program studi, yang ketika diajukan dan diniai reviewer butuh waktu, namun dengan AI menjadi lebih cepat. Demikian pula untuk mendukung sistem penilaian angka kredit dosen..
Kehadiran AI mendorong kesadaran akademisi bahwa mendidik generasi muda harus beralih dari transfer pengetahuan satu arah ke pengembangan aktif kompetensi, pengalaman, kemampuan sosial, dan kelincahan teknologi. Akses ke informasi mendemokratisasi perolehan pengetahuan, dan ChatGPT mensintesis penggunaan berbagai sumber, meski bukan tanpa potensi bias.
Situasi ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan. Namun, daripada menganggap ChatGPT sebagai ancaman, pendidik dan institusinya didorong harus menganalisis kelebihannya dan menggunakannya demi peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.