Setelah Berdansa Bersama Robot
Manusia harus siap berdampingan dan bercengkerama dengan mesin cerdas serta mungkin berperasaan di masa depan. Pendidikan harus memberikan pengalaman bagi pelajar untuk berpikir dan belajar bersama mesin.
Di pengujung abad ke-20, Frank Levy, Richard Murnane, dan David Autor menyelidiki kecenderungan kebutuhan atau permintaan keterampilan oleh dunia kerja Amerika Serikat dari tahun 1960-an sampai 1990-an.
Laporan studi itu bisa dikatakan sebagai tulisan abad ke-20 yang paling berpengaruh pada kebijakan pendidikan global hari ini. Dalam laporan itu, mereka memprediksi keterampilan complex communication (berkomunikasi kompleks) dan expert thinking (berpikir pakar) akan semakin dibutuhkan.
Berkomunikasi kompleks diartikan sebagai keterampilan berinteraksi dengan orang lain untuk memperoleh informasi, menjelaskan, dan meyakinkan. Adapun berpikir pakar diartikan sebagai menyelesaikan masalah baru yang belum pernah diketahui aturan atau cara mengerjakannya. Dua keterampilan utama tersebut yang, antara lain, kemudian menjadi dasar perancangan instrumen tes PISA dari OECD.
Baca juga :Menyiapkan Generasi Muda untuk Masa Depan
Kolaborasi dengan mesin
Kemudian, pada 2013, Levy dan Murnane melebarkan studinya yang mencakup dekade pertama abad ke-21, dan hasil studi itu ditulis dalam ”Dancing with Robots” atau Berdansa Bersama Robot. Seperti dugaannya semula, mereka mendapati bahwa pekerjaan yang menghilang kebanyakan jenis pekerjaan bergaji menengah, yang tak lain adalah pekerjaan yang bergantung pada ragam berpikir rutin dan berulang serta berdasar aturan yang pasti.
Sejalan dengan itu, Henry Siu dan Nir Jaimovich (2012) melaporkan bahwa setelah mengalami dua resesi ekonomi dan pemulihannya, pada periode sejak 2001, pertumbuhan lapangan kerja terbanyak terjadi pada jenis pekerjaan tak rutin.
Apakah fenomena di Indonesia akan sama dengan di AS itu? Kemungkinan tidak. Sebuah studi diperlukan untuk meneliti hal ini. Meski demikian, arah masa depan dunia kerja secara umum di mana saja akan serupa, hanya kecepatannya mungkin berbeda.
Menariknya, Levy dkk juga menemukan bahwa jenis pekerjaan yang mengawinkan kecakapan manusia dengan mesin justru bertumbuh pesat. Ini pesan utamanya, dan pesan ini pula yang dengan baik sekali ditangkap oleh judul Berdansa Bersama Robot di atas.
Berdansa melibatkan bukan saja gabungan kegiatan badan dan akal, melainkan juga olah hati. Artinya, manusia harus siap berdampingan dan bercengkerama dengan mesin cerdas serta mungkin berperasaan di masa depan. Ragam kolaborasi manusia-mesin seperti ini pula yang dapat diperkirakan akan paling banyak bermunculan di masa depan.
Konsekuensinya, pendidikan ke depan perlu mengantisipasi dan mempersiapkan lahirnya berbagai kecakapan manusia-mesin. Untuk itu, pertama, pelajar perlu terbiasa berkolaborasi dengan mesin. Pendidikan harus secara sistematis sekaligus sengaja memberikan pengalaman bagi pelajar untuk berpikir dan belajar bersama mesin. Khususnya, pengertian berkomunikasi kompleks harus diperluas, tidak hanya berkomunikasi dengan sesama manusia, tetapi perlu ditambah berkomunikasi dengan mesin.
Pendidikan harus secara sistematis sekaligus sengaja memberikan pengalaman bagi pelajar untuk berpikir dan belajar bersama mesin.
Kedua, guru perlu menjajaki berbagai peluang belajar baru yang lebih baik berlandaskan kolaborasi manusia-mesin itu. Sementara itu, penekanan pada kemampuan menyerap pengetahuan dan membeo keterampilan guru sudah basi.
Sebaliknya, kemampuan menyusun argumen serta menjabarkan sebagai rangkaian instruksi guna memecahkan suatu masalah—sehingga dapat didelegasikan ke mesin atau tim pekerja di tempat jauh—sama penting atau bahkan lebih penting ketimbang solusinya sendiri.
Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa sekarang suatu pekerjaan dapat dipindahkan ke tempat lain dengan mudah. Berbagai pekerjaan hari ini tak tergantung banyak pada geografi lagi.
Dengan kian meluasnya praktik kolaborasi manusia dengan mesin, harus diakui pula munculnya berbagai masalah baru. Misalnya, dengan kian efektifnya fungsi program komputer penerjemah dan pemeriksa tata bahasa yang menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), hari ini banyak pelajar yang menulis makalah dalam bahasa Indonesia yang tak begitu baik pula, lalu diterjemahkan ke bahasa Inggris dan kemudian diperiksa sekaligus diperbaiki struktur serta tata bahasanya oleh AI.
Bahkan, sebagian pendidik sudah menganjurkan cara ini ke bimbingannya. Situasi seperti ini memang memaksa pendidik dan institusi pendidikan menafakurkan tujuan utama pendidikan.
Dalam pembelajaran matematika, AI akan memaksa guru menciptakan banyak pertanyaan baru. Pertanyaan basi, seperti berapa rerata dari sekumpulan banyak bilangan, sudah lama bisa dikerjakan komputer, tetapi bagaimana dengan soal: ””Diberikan empat buah bilangan. Bilangan terkecil dan terbesar, berturut-turut, 8 dan 21. Apakah mungkin reratanya 19? Berikan alasannya.”
Saat penulis mengajukannya ke Large Language Models/LLM (model bahasa luas), ia menjawab, ”Tak mungkin reratanya 19. … jika bilangan terkecil 8 dan terbesar 21, maka dua bilangan lainnya ada di rentang itu pula. Jumlah empat bilangan akan bernilai antara 32 dan 84, dan dengan dibagi 4 akan memberi rerata antara 8 dan 21, yang tak sama dengan 19.” Pertama, argumen dia tak benar karena tak mungkin jumlahnya 32, demikian pula tak mungkin 84, karena dua bilangan sudah ditentukan. Kedua, kesimpulan dia bahwa 19 tak mungkin juga tak sinkron dengan pernyataan dia sebelumnya bahwa reratanya harus di antara 8 dan 21.
Baca juga : Kecerdasan Buatan
Kemudian, penulis membalas, ”Kamu yakin?” Dia menjawab, ”Ya, saya minta maaf atas kebingungan yang saya buat. Mendapatkan rerata 19 itu mungkin, jika dua bilangan lainnya 18 dan 20, … reratanya akan bernilai 19.”
Lalu, penulis menunjukkan kesalahannya: ”Tetapi reratanya akan menjadi 16,75, bukan 19.” Dia lalu meminta maaf lagi, ”Saya minta maaf, kamu benar. … Saya minta maaf atas semua kebingungan yang disebabkan pernyataan saya sebelumnya.” Kemudian, penulis bertanya, ”Jadi, apa jawabnya?” Dia kemudian menjawab seperti jawaban pertama, ”Jawabnya tak mungkin reratanya 19….” dan diakhiri dengan alasan tak tepat seperti yang pertama tadi.
Sebenarnya, jawab masalah ini memang ”tak mungkin”, tetapi alasan yang dia berikan tidak sahih. Sesungguhnya, rerata paling kecil tercapai jika dua bilangan yang lain sama-sama bernilai 8, dan rerata terbesar saat dua bilangan yang lain bernilai 21. Artinya, rerata terkecil saat datanya {8, 8, 8, 21} dan terbesar saat datanya {8, 21, 21, 21}. Jadi, rerata yang paling kecil 11,25 dan paling besar 17,75. Maka, rerata 19 tak mungkin, karena lebih besar dari 17,75.
Justru saat pelajar menggunakan AI seperti itu dan berhasil membangkitkan rangkaian perdebatan seperti di atas, mereka berpeluang belajar bernalar dan berdebat.
Dari ilustrasi ini, semoga para orangtua yang masih punya putri/putra di sekolah dan para guru matematika menjadi tak khawatir lagi jika anak atau muridnya menggunakan AI. Justru saat pelajar menggunakan AI seperti itu dan berhasil membangkitkan rangkaian perdebatan seperti di atas, mereka berpeluang belajar bernalar dan berdebat. Mungkin saja kini mereka melirik karier sebagai pengacara atau diplomat karena merasakan nikmatnya berdebat berdasar nalar.
Demikian pula dalam pelajaran bahasa, AI harus dimanfaatkan untuk merapikan dan mengasah akal sekaligus keterampilan penggunanya, bukan justru menjadikannya tumpul. Maka, sangat keliru jika penggunaan AI dalam pendidikan belum apa-apa sudah dikaitkan dengan plagiarisme atau kecurangan dan kemudian dilarang. Dampak baik atau buruk tergantung pada kejelian orangtua dan guru.
Dengan demikian, setelah berdansa bersama robot, manusia sekarang sudah menemukan kawan berdebat serta berlatih bernalar, dan beberapa bulan lagi kawan ini akan lebih cerdas. Kesempatan berdebat seperti ini akan memperbesar peluang pelajar di mana saja untuk mengasah kemampuan bernalarnya. Betapa mencerahkan dan menyegarkannya praktik pendidikan baru ini.
Dengan melihat potensi kolaborasi manusia-mesin di zaman ini, pendidikan perlu menulis ulang masa depannya. Institusi pendidikan dan perancang kurikulum harus dengan sistematis menyisipkan pengasahan kecakapan berkolaborasi dengan mesin ke dalam kurikulum dan desain pembelajarannya.
Kecakapan dasar
Lalu, bagaimana dengan generasi pekerja yang sekarang sudah menjalani kariernya? Tentunya mereka juga perlu memperkaya dirinya dengan mempelajari berbagai kecakapan baru. Ini mungkin hanya jika pekerja memiliki kecakapan membangun kecakapan baru yang diistilahkan Murnane dan Levy sebagai keterampilan yang membiakkan keterampilan. Artinya, seseorang bisa menguasai kecakapan baru hanya jika dia memang memiliki kecakapan dasar yang kokoh.
Para montir, teknisi, perawat, atau pekerja lain yang ditugaskan menangani peralatan baru perlu membaca manual yang menggabungkan teks dan berbagai diagram. Oleh karena itu, kemahiran membaca dan bermatematika tetap merupakan prasyarat utama kemajuan karier pekerja. Masalahnya, modal kecakapan dasar ini umumnya diasah sejak usia belia, bahkan banyak yang dipelajari di rumah atau lingkungannya.
Maka, anak yang tumbuh di keluarga serta lingkungan berpendidikan dan berkecukupan (rumah bertradisi membaca dan memiliki banyak bacaan) akan lebih diuntungkan.
Maka, anak yang tumbuh di keluarga serta lingkungan berpendidikan dan berkecukupan (rumah bertradisi membaca dan memiliki banyak bacaan) akan lebih diuntungkan. Mereka lebih berpeluang mengasah kecakapan membacanya ketimbang temannya dari keluarga kurang berpendidikan dan berada.
Jadinya, ketimpangan ekonomi akan membiakkan ketimpangan kecakapan yang lebih tajam dan, ke depan, membiakkan ketimpangan pendapatan yang semakin parah lagi.
Lingkaran setan ini harus diputus dengan kebijakan afirmasi. Pemerintahan mendatang harus berhasil merumuskan sebuah kebijakan pendidikan nasional yang berpihak pada anak-anak yang tinggal di daerah termarjinalkan, terpencil, tak terhubung, serta kurang berkembang secara ekonomi.
Bahwa setiap anak di mana saja berhak mempelajari kecakapan dasar bermutu tinggi harus jadi prinsip paling dasar pembangunan nasional. Indikatornya jelas, mutu pendidikan yang dijalani seorang anak tak boleh ditentukan oleh kode pos tempat tinggalnya.
Iwan Pranoto, Pengajar Matematika di ITB