Mengatasi Peluang Mencontek Mahasiswa yang Kian Besar
Kemajuan teknologi digital membawa dua sisi dalam menegakkan Integritas akademik, terutama di kalangan mahasiswa. Kekhawatiran tentang cara baru mencontek di era digital menjadi hal yang mendesak diantisipasi.
Kecurangan akademik masih kerap terjadi di dunia pendidikan. Kecurangan akademik yang dilakukan peserta didik, khususnya mahasiswa di perguruan tinggi, dirasa memprihatinkan karena mereka akan segera masuk ke dunia kerja dan realitas hidup yang membutuhkan pengutamaan integritas.
Di era digital, terutama dengan hadirnya aplikasi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), Danny Oppenheimer yang merupakan profesor psikologi dan ilmu pengambilan keputusan di Universitas Carnegie Mellon dalam tulisannya di laman Times Higher Education, Selasa (17/1/2023), mengisahkan, hadirnya aplikasi ChatGPT yang dapat membantu pembuatan esai, misalnya, membuat panik sejumlah dosen karena meragukan integritas akademik dari kalangan mahasiswa. Para dosen mendapati para mahasiwa mendapat skor sempurna yang dicurigai karena bantuan pemakaian aplikasi seperti ChatGPT.
”Inilah akhir dari penugasan dengan esai dan ujian jarak jauh. Kita tidak akan dapat menghentikan mahasiswa mencontek,” kata seorang dosen dengan panik kepada Danny.
Isu integritas akademik oleh profesor, administrator, sampai pembuat kebijakan terkait ini seperti ”dibangunkan” kembali dengan hadirnya ChatGPT. Dalam pandangan Danny, kekhawatiran berbagai pihak ini mengabaikan fakta kunci bahwa kita tidak pernah dapat memastikan integritas.
Memang di era sekarang semakin mudah bagi mahasiswa untuk bisa bertanya pada internet, salah satunya ChatGPT, dalam penulisan esai. ”Namun, tanpa aplikasi tersebut, mahasiswa pun dapat memakai jasa penulis bayangan atau ghostwriter untuk penulisan esai,” katanya.
Menurut Danny, tentu saja, mungkin lebih mudah dan lebih murah untuk menggunakan ChatGPT daripada cara lain untuk menghindari integritas akademik. Akan tetapi, kenyataannya mahasiswa yang bertekad untuk mencontek akan menemukan cara untuk melakukannya.
”Tidak ada yang benar-benar berubah. Integritas akademik sulit untuk diawasi dan selalu demikian,” ucapnya.
Masih dari laman Times Higher Education, penulis Paul Basken pada akhir tahun 2020 mengangkat fenomena universitas yang melaporkan lonjakan kecurangan di masa pandemi Covid-19 yang beralih ke kuliah daring. Peluang mahasiswa untuk diam-diam menjawab pertanyaan tes dengan bantuan contekan daring berlipat ganda, diduga dipicu stres karena peralihan cara belajar yang tiba-tiba dari tatap muka ke daring penuh.
Di Universitas Teknologi Queensland, Australia, pada September 2020 dilaporkan kecurangan ujian meningkat empat kali lipat. Dari survei kepada 1.608 mahasiswa di Jerman tahun 2021, hasilnya mahasiswa lebih mungkin dua kali lipat curang pada ujian daring berdasarkan peralihan cepat dalam asesmen digital pada musim panas. Sekitar 61,4 persen mahasiswa menggunakan bantuan yang tidak diizinkan dan atau terlibat pertukaran langsung dengan mahasiswa lain selama ujian daring sepanjang musim panas 2020.
Baca juga : Benahi Kultur Akademik
Ternyata perilaku mencontek juga biasa dilakukan saat ujian di tempat. Sebanyak 31,7 persen mahasiswa mengakui perilaku yang sama saat ujian di ruangan kuliah.
Kecurangan akademik di kalangan mahasiswa semakin mudah terdektesi karena banyak universitas menggunakan pengawasan elektronik. Solusi perangkat lunak untuk mendeteksi kecurangan semakin lazim digunakan di perguruan tinggi.
Saksi tidak melaporkan
Di Indonesia, dosen di Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Anna Armeini Rangkuti, melakukan penelitian dengan judul ”Mekanisme Pelemahan Silence Mahasiswa Saksi Kecurangan Akademik melalui Peran Mediasi Seriousness of Academic Cheating dalam Perspektif Pengambilan Keputusan Etis” untuk disertasi program doktoral di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI).
Menurut Anna, meskipun kecurangan akademik di semua jenjang pendidikan cukup mengkhawatirkan, kecurangan di perguruan tinggi jenjang sarjana lebih mengkhawatirkan mengingat lulusannya akan segera masuk dunia kerja. Mahasiswa yang melakukan kecurangan akademik saat mengikuti pendidikan tinggi cenderung melakukan kecurangan juga saat di dunia kerja, misalnya dengan melakukan korupsi dan kolusi yang berdampak negatif bagi institusi, masyarakat, dan negara.
Anna berfokus pada perilaku seseorang yang memilih diam melihat adanya kecurangan akademik dan tidak melapor kepada dosen atau pihak yang berwenang. Padahal, pelaporan oleh mahasiswa yang menyaksikannya dapat mencegah dan mengurangi terjadinya kecurangan.
Peluang mahasiswa untuk diam-diam menjawab pertanyaan tes dengan bantuan contekan daring berlipat ganda, diduga dipicu stres karena peralihan cara belajar yang tiba-tiba dari tatap muka ke daring penuh.
”Hal ini perlu dikaji karena banyaknya mahasiswa yang menyaksikan kecurangan tersebut, namun tidak dilaporkan. Kedua adalah sensitivitas etis saksi kecurangan akademik yang mengabaikan dan menganggap peristiwa kecurangan adalah hal yang biasa akan terkikis secara bertahap. Hal tersebut pada akhirnya membuat mereka menganggap kecurangan sebagai sesuatu yang dapat diterima meskipun kecurangan itu semakin parah dari waktu ke waktu,” tutur Anna dalam sidang promosi doktor di Fakultas Psikologi UI, Depok, Selasa (10/1/2022).
Penelitian Anna berhasil mengidentifikasi empat motif utama diamnya mahasiswa saksi kecurangan akademik. Empat motif tersebut meliputi acquiescent (karena merasa tidak berdaya mengubah situasi), prososial (karena memiliki motif altruistik untuk membantu pelaku kecurangan atau untuk menjaga nama baik institusi), oportunistik (karena motif kepentingan pribadi dan tidak ingin direpotkan dengan prosedur pelaporan kecurangan), dan defensif (karena merasa takut akan konsekuensi yang dihadapi jika melaporkan kecurangan).
Dari riset tersebut, ternyata motifprososialdan defensif merupakan motif yang lebih dominan dibandingkan motif acquiescent dan oportunistik. Motif silence prososial dapat dimaknai dari sisi empati mahasiswa yang menyaksikan kecurangan, yaitu empati kepada pelaku kecurangan yang kemungkinan akan mendapatkan kesulitan jika kecurangannya dilaporkan.
Baca juga : Bola Panas ”Prostitusi Akademik”
Selain itu, motif silence prososial juga dapat dilihat dari sisi nilai budaya masyarakat kolektif yang berlaku di Indonesia. Kehidupan di dalam budaya kolektif lebih mengutamakan keharmonisan dan solidaritas. Bahkan salah satu indikasi kesejahteraan psikologis individu di tengah masyarakat kolektif adalah dengan sikap dan perilaku yang mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini termasuk menolong orang lain agar tidak mendapat kesulitan dalam beragam sisi kehidupan.
”Motif silence defensif yang juga ditemukan sebagai motif yang dominan sangat terkait dengan hubungan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari. Motif silence defensif mahasiswa yang menyaksikan kecurangan akademik ditunjukkan dengan rasa takut disingkirkan dari pergaulan dan dimusuhi oleh mahasiswa lain akibat melaporkan kecurangan yang terjadi,” kata Anna.
Dari hasil kajian ini, diharapkan peraturan yang terkait dengan kecurangan akademik perlu mencantumkan tanggung jawab peran mahasiswa saksi kecurangan secara eksplisit. Selain itu, perlu tersedia sarana pelaporan yang memadai, aman, dan menjaga kerahasiaan identitas pelapor.
Diperlukan juga standardisasi peraturan yang terkait dengan kecurangan akademik di kelas-kelas perkuliahan dan juga antarfakultas. Standardisasi ini agar academic cheating awareness, seriousness of academic cheating, dan peer reporting judgment semakin menguat di benak mahasiswa serta memperbesar peluang terjadinya pelaporan kecurangan.
”Mengingat pentingnya peran persepsi keseriusan kecurangan akademik untuk melemahkan silence mahasiswa yang menyaksikan terjadinya kecurangan, maka pihak dosen pengajar dan institusi pendidikan disarankan untuk melakukan sosialisasi tentang beragam dampak serius kecurangan akademik bagi kehidupan individu, institusi, bahkan negara. Kecurangan akademik merupakan persoalan serius yang idealnya ditangani juga dengan serius oleh seluruh sivitas akademika,” ujar Anna.
Pencegahan
Meskipun teknologi pendeteksi kecurangan akademik semakin canggih, upaya untuk curang tetap ada. Pada tahun lalu, saat seleksi nasional tertulis masuk perguruan tinggi negeri di Indonesia, misalnya, upaya peserta ujian untuk tembus di perguruan tinggi negeri idaman dengan cara tidak jujur tetap ada. Caranya makin canggih dengan menggunakan alat komunikasi digital kecil untuk berkomunikasi dengan pihak luar yang membantu ujian. Namun, upaya ini tetap bisa digagalkan.
Menurut Danny, jika ingin mencegah kecurangan, cara terbaik untuk melakukannya adalah menghilangkan motivasi untuk berbuat curang. Hal ini dapat terjadi melalui penciptaan norma-norma integritas akademik.
Dalam sebuah studi klasik oleh Donald McCabe dan rekan-rekan, penentu kontekstual yang paling penting dari siswa yang mencontek adalah persepsi apakah siswa lain juga mencontek.
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa kecurangan kurang lazim ketika universitas dengan jelas mengomunikasikan kepada mahasiswa bahwa integritas akademik dihargai dan diberi prioritas tinggi di kampus dan ketika mahasiswa diberi peran penting dalam mengadili dan menegakkan kode kehormatan. Mahasiswa yang menikmati mata pelajaran dan menghormati dosen juga cenderung tidak curang.
Akhirnya, sejauh pembelajaran dan kredensial dapat dipisahkan (sehingga mencontek tidak lagi memberikan manfaat), siswa tidak akan memiliki insentif untuk mencontek karena tidak akan ada manfaatnya.
Dalam mengatasi fenomena kecurangan akademik, para ahli mengemukakan perlunya para dosen mempertimbangkan ulang apa yang paling dibutuhkan untuk mengajar di dunia modern yang saling terhubung dan bermandikan informasi. Dosen juga perlu mempertimbangkan bagaimana penilaian kepada mahasiswa dapat mengukur keterampilan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Baca juga : Setelah Berdansa Bersama Robot
Direktur Sistem Kehormatan dan Integritas Kansas State University Camilla Roberts mengatakan, pengurangan ujian yang ”berisiko tinggi” dan lebih banyak memberikan kuis serta tugas reguler kepada mahasiswa dapat menekan kecurangan.
Sarah Eaton, profesor pendidikan di Calgary dan penyelenggara program di International Center for Academic Integrity, mengatakan, pelanggaran akademik bukanlah masalah mikro, bahkan bukan masalah makro. ”Ini adalah masalah besar dan beriak di seluruh dunia sekarang,” kata Sarah.
Sarah berbagi metode penilaian lisan di Zoom. ”Saya dapat mengetahui dalam 5 hingga 10 menit apa yang mereka (mahasiswa) ketahui dan apa yang tidak mereka ketahui. Saya tidak perlu memberi mereka ujian pilihan ganda, di mana mereka akan pergi ke Google, dan mungkin tidak mempelajari materinya,” ujarnya.