Sudah lewat satu tahun sejak Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Sampai hari ini, revisi tak kunjung dimulai, membawa kekaburan hukum dan ketidakpastian ekonomi.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Spanduk penolakan kaum buruh terhadap RUU Ombibus Law Cipta Lapangan Kerja menghiasi Jalan Irian, Jatiwangi, Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat, Senin (25/5/2020).
Nasib revisi Undang-Undang Cipta Kerja yang menggantung menambah ketidakpastian ekonomi di ambang resesi dunia. Sengketa hubungan industrial menumpuk, kesejahteraan buruh semakin turun, dan iklim berusaha dibayangi ketidakpastian.
Sudah lewat satu tahun sejak Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Dalam putusannya, MK meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi UU sapu jagat (omnibus law) itu paling lama dua tahun, sebelum November 2023.
Sampai hari ini, belum tampak revisi UU Cipta Kerja akan segera dimulai. Pada 19 Oktober 2022, Presiden Joko Widodo sempat mengumpulkan para menteri di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam rapat tertutup sekitar satu jam itu, Presiden meminta jajarannya segera menyelesaikan konsep final revisi UU Cipta Kerja. Namun, revisi tidak kunjung dimulai.
Ketidakjelasan status revisi UU Cipta Kerja membawa kekaburan hukum dan ketidakpastian ekonomi. Di sektor ketenagakerjaan, misalnya, perselisihan industrial semakin marak. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), jumlah perselisihan industrial lewat jalur mediasi selama Januari-September 2022 meningkat empat kali lipat dari tahun sebelumnya.
Selama periode tersebut, ada 2.178 kasus perselisihan yang diselesaikan secara mediasi, naik signifikan dari tahun sebelumnya dengan hanya 516 kasus. Itu belum termasuk jumlah total kasus perselisihan industrial yang ditangani lewat jalur lain, seperti bipartit, konsiliasi, arbitrasi, atau pengadilan hubungan industrial.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Ribuan mahasiswa dan buruh berkumpul di Halaman Kantor DPRD Sumatera Selatan Di Palembang, Kamis (8/10/2020). Mereka menuntut DPRD Sumsel menyampaikan aspirasi mereka menolak RUU Cipta Kerja. Mereka menilai RUU ini akan merugikan buruh.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, hal itu terjadi karena perusahaan berkukuh menerapkan UU Cipta Kerja yang masih inkonstitusional bersyarat. Sementara pekerja tetap berpegang pada Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Peraturan Perusahaan (PP) lama yang mengacu pada UU 13/2002 tentang Ketenagakerjaan.
Kemenaker sempat menyatakan, kehadiran UU Cipta Kerja tidak serta-merta mengubah peraturan internal perusahaan yang lama, kecuali telah disepakati pekerja dan perusahaan. Namun, pernyataan itu hanya bersifat lisan dan tidak disosialisasikan secara masif.
“Perusahaan dan pekerja punya tafsir sendiri-sendiri. Seharusnya pemerintah bisa menengahi dan menegaskan mana aturan yang berlaku selagi UU direvisi, tapi pemerintah lepas tangan, semua diserahkan ke bipartit, akhirnya kasus menumpuk,” katanya, Selasa (22/11/2022).
Ketidakjelasan status revisi UU Cipta Kerja membawa kekaburan hukum dan ketidakpastian ekonomi.
Menurut dia, semakin cepat UU Cipta Kerja direvisi, semakin baik untuk mereduksi sengketa industrial. Apalagi, kasus perselisihan yang menumpuk bisa menghambat aktivitas usaha dan kerja, mengganggu produktivitas, dan mencederai pertumbuhan ekonomi.
Revisi juga perlu disegerakan karena banyak ketentuan yang terbukti menekan kesejahteraan buruh, kerah biru maupun putih. Antara lain, kenaikan upah minimum pekerja yang semakin tipis, PHK yang semakin mudah dengan pesangon lebih rendah, serta praktik kerja fleksibel yang semakin marak akibat longgarnya aturan mempekerjakan pekerja alih daya dan kontrak.
Pemerintah tidak bisa memandang hal ini sebelah mata. Sebab, di negara yang ekonominya bergantung pada konsumsi masyarakat, jika pekerja tidak sejahtera, ekonomi bisa goyah. “Apalagi, ekonomi dunia lagi melambat seperti ini, daya beli dan kesejahteraan pekerja seharusnya dijaga sekuat mungkin,” ujarnya.
Ketidakpastian berusaha
Revisi yang menggantung itu juga merugikan dunia usaha. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani, pengusaha pada dasarnya butuh kepastian hukum dan politik. Akibat arah revisi yang belum jelas, UU Cipta Kerja yang seharusnya memberi kemudahan berusaha kini malah menambah ketidakpastian.
Putusan MK mengamanatkan tidak boleh ada peraturan turunan dan kebijakan baru selama UU Cipta Kerja belum direvisi. Padahal, menurut Hariyadi, ada banyak peraturan yang perlu diperjelas dan diperbaiki untuk memperbaiki iklim berusaha. Misalnya, sistem dan aturan perizinan usaha lewat Online Single Submission (OSS) Berbasis Risiko.
Di sisi lain, pemerintah juga dicap inkonsisten karena tetap memunculkan kebijakan baru di tengah larangan MK. Ia mencontohkan, polemik kebijakan upah minimum pekerja yang kini melahirkan aturan baru pengupahan yang berbeda dari UU Cipta Kerja, yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022.
Ia menilai kehadiran permenaker itu menambah ketidakpastian bagi dunia usaha. Sebab, kenaikan upah minimum tahun 2023 bisa lebih tinggi dari ekspektasi pengusaha, menambah biaya operasional perusahaan di saat permintaan ekspor menurun dan ongkos produksi melejit.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja pembangunan jalur MRT sedang memesan makanan saat isitrahat siang di kawasan Glodok, Jakarta, Minggu (20/11/2022). Pemerintah mengubah formula penghitungan upah minimum tahun 2023 melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Besaran kenaikan upah minimum yang dihasilkan dari penghitungan dengan formula sesuai peraturan itu maksimal 10 persen.
“Eksesnya mulai aneh-aneh. Makanya, revisi ini jangan berlarut-larut. Jangan lupa, tahun depan sudah tahun politik, sehingga waktu efektif untuk membahas revisi UU ini mungkin hanya 6-7 bulan saja,” kata Hariyadi.
Revisi substantif
Menurut Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono, pemerintah masih terus mematangkan konsep revisi UU Cipta Kerja sebelum dibahas bersama DPR. “Kalau disebut revisinya lama, sebenarnya tidak juga. Siang malam kami rapat, tetapi, prosesnya memang kompleks karena harus melibatkan banyak kementerian/lembaga,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi kondisi ekonomi yang tak mudah ke depan, ada beberapa hal yang akan disesuaikan lewat revisi UU Cipta Kerja. Artinya, arah revisi akan menyentuh aspek substansi, bukan sekadar untuk membenahi prosedur formil pembuatan UU saja.
Untuk mengantisipasi kondisi ekonomi yang tak mudah ke depan, ada beberapa hal yang akan disesuaikan lewat revisi UU Cipta Kerja.
“Kami melihat ada kesempatan untuk menyesuaikan lagi beberapa materi yang mungkin mendesak, untuk menghadapi ketidakpastian global yang tinggi sekali tahun depan,” katanya.
Saat ini, ada dua pandangan yang berkembang. Pengusaha meminta substansi tidak direvisi karena ada banyak kemudahan yang mereka terima lewat UU Cipta Kerja. Sebaliknya, pekerja, pegiat lingkungan, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil, meminta UU dirombak karena banyak pasal yang merugikan kesejahteraan buruh, lingkungan, dan masyarakat secara umum.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Calon investor berkonsultasi tentang perijinan investasi di Kantor Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta, Senin (26/9/2022). Indonesia menargetkan investasi tahun ini sebesar Rp 1.200 triliun.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, pemerintah tidak perlu ragu merevisi UU Cipta Kerja secara komprehensif dan substantif. Sebab, Indonesia memiliki daya tarik investasi yang tidak terpengaruh kehadiran UU Cipta Kerja, yakni ukuran pasar yang besar serta sumber daya alam yang melimpah.
“Itu keunggulan yang jauh lebih tinggi. UU direvisi atau tidak, investasi akan masuk,” ujarnya.
Krisis ekonomi global saat ini mengingatkan bahwa daya tahan ekonomi Indonesia terletak pada gerak konsumsi masyarakatnya. Oleh karena itu, menurut Tauhid, filosofi UU Cipta Kerja harus diubah. Titik tengah revisi bisa diambil untuk mendorong kemudahan berusaha tanpa harus menekan kesejahteraan pekerja.
“Pekerja adalah aset dunia usaha dan aset ekonomi kita. Kalau kesejahteraan pekerja tidak dijaga, itu lambat laun akan berkembang menjadi ketidakpastian bagi perekonomian,” tuturnya.