Putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja bisa jadi momentum untuk mengoreksi berbagai kelemahan di dalam ”omnibus law” itu. Pembenahan bisa berdampak pada kualitas pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Massa buruh dari berbagai elemen menggelar unjuk rasa saat menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (25/11/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Cipta Kerja memiliki sejumlah kelemahan yang bisa berdampak pada kualitas pertumbuhan ekonomi secara jangka panjang. Revisi UU Cipta Kerja perlu dilihat sebagai momentum berbenah untuk menjaga iklim berusaha sekaligus mendorong pemulihan ekonomi yang berkualitas.
Dalam amar putusannya, Kamis (25/11/2021), Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan perbaikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja paling lama dua tahun sejak putusan MK itu keluar. Jika dalam tenggang waktu itu tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Dalam bagian pertimbangan hukum, majelis hakim MK menyatakan bahwa pemerintah dan DPR memiliki kesempatan untuk mengkaji kembali beberapa substansi yang menjadi keberatan sejumlah kelompok masyarakat.
Menyikapi putusan ini, muncul berbagai tafsir. Kalangan pengusaha menilai, substansi UU Cipta Kerja tidak perlu diperbaiki demi menjaga iklim investasi dan kepastian berusaha. Menurut pengusaha, yang direvisi cukup UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan sebagai payung hukum omnibus law.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal menilai, putusan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja sebenarnya dapat menjadi momentum untuk mengoreksi berbagai kelemahan dalam UU Cipta Kerja, yang pada tahun 2020 dikebut dalam waktu relatif singkat, dengan proses formil yang problematik.
Menurut dia, untuk jangka panjang, revisi UU Cipta Kerja yang dibahas secara berhati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek justru bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Ekonomi yang tidak semata-mata mengandalkan nilai investasi yang besar, tetapi juga melindungi hak-hak masyarakat serta menjaga kelestarian lingkungan.
”UU ini kemarin dibahas terlalu terburu-buru, dan itu akan menjadi bumerang suatu hari terhadap iklim investasi kita. Seharusnya memang ada perbaikan secara substantif, makanya MK pun memberikan waktu dua tahun untuk melakukan revisi,” kata Faisal saat dihubungi, Jumat (26/11/2021).
Ia mengatakan, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pemerintah dan DPR tidak cukup hanya mengakomodasi kepentingan pengusaha. Kendati demikian, perbaikan UU tidak perlu dimulai lagi dari nol, melainkan cukup memetakan pasal-pasal yang berpotensi bermasalah.
Beberapa substansi problematik itu, ujarnya, terkait dengan hak pekerja, persoalan pertanahan, otoritas pemerintah pusat dan daerah, serta substansi yang bisa berdampak buruk pada lingkungan. Menurut dia, UU Cipta Kerja dapat dibenahi agar lebih sejalan dengan prinsip ekonomi global yang semakin mengedepankan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik atau ESG (environment, social, and good governance).
Ia meyakini, revisi UU Cipta Kerja juga tidak akan terlalu mengganggu iklim berusaha. Sebab, MK sudah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku selama tenggang waktu dua tahun masa revisi.
”Memang, kalau kita melihat dari ekspektasi pengusaha, tentu tidak ingin ada perubahan substansi UU. Tetapi, kita harus melihat dampaknya secara jangka panjang jika UU ini tidak diperbaiki,” ujar Faisal.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia berunjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (28/10/2021). Sejumlah elemen buruh dan mahasiswa berunjuk rasa bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda dan satu tahun pengesahan UU Cipta Kerja.
Kepastian berusaha
Adapun Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengkhawatirkan, jika UU Cipta Kerja direvisi, hal itu dapat memunculkan ketidakpastian iklim usaha. Oleh karena itu, menurut dia, yang direvisi cukup Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jika revisi hanya menyangkut UU No 12/2011, kondisi berusaha diyakini tidak akan terganggu. ”Putusan MK itu, kan, tidak mempermasalahkan materinya. Yang dipermasalahkan adalah formil pembentukan undang-undangnya. Jadi, materi tidak ada perubahan, yang diubah adalah aspek legal formil dalam membentuk UU Cipta Kerja,” kata Hariyadi dalam konferensi pers daring.
Sementara Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta W Kamdani mengatakan, dampak putusan MK terhadap iklim berusaha akan sangat bergantung pada detail rekomendasi MK untuk mengubah UU Cipta Kerja.
Jika MK meminta ada perubahan terhadap esensi pokok UU Cipta Kerja yang dinilai penting terhadap daya saing iklim usaha, seperti klausul ketenagakerjaan, daftar positif investasi, izin lahan, mekanisme perizinan berbasis risiko (risk based approach/RBA), kemudahan UMKM, hal itu akan menciptakan ketidakpastian berusaha.
Kompas
Didie SW
”Akan ada risiko minat investasi akan turun kalau begitu. Namun, dari penjelasan pemerintah, yang kami tangkap ini lebih berkaitan dengan hukum proses omnibus law itu sendiri, sehingga kami harapkan tidak sampai mengganggu esensi UU,” kata Shinta.
Kalaupun pemerintah dan DPR memutuskan untuk membenahi UU tersebut, ia berharap dapat dilakukan sesegera mungkin agar bisa cepat memberi kepastian pada investor. ”Dengan demikian, kita bisa mengupayakan peningkatan arus investasi meskipun UU Cipta Kerja dalam proses revisi,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja.
”Pemerintah akan segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang dimaksud melalui penyiapan perbaikan undang-undang dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya arah-arahan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya dalam konferensi pers virtual setelah putusan MK dibacakan.