Estimasi penerima bantuan subsidi upah adalah 14,6 juta orang, lebih sedikit dari target awal 16 juta orang. Data upah yang didaftarkan perusahaan di BP Jamsostek perlu dicek ulang agar bantuan benar-benar tepat sasaran.
Oleh
agnes theodora, dimas waraditya
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memperluas cakupan penerima bantuan subsidi upah, tidak hanya untuk pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta per bulan, tetapi juga pekerja yang digaji senilai upah minimum. Meski demikian, data upah pekerja yang didaftarkan perusahaan di BP Jamsostek perlu diperiksa ulang agar sesuai kenyataan dan tepat sasaran.
Menurut data peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) yang disisir oleh Kementerian Ketenagakerjaan, estimasi penerima program bantuan subsidi upah (BSU) adalah 14.639.675 orang dari target awal penerima sebanyak 16 juta orang.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjelaskan, bantuan itu diberikan kepada peserta aktif program BP Jamsostek sampai Juli 2022. Pekerja yang berhak mendapat BSU tidak hanya mereka yang memiliki gaji bulanan di bawah Rp 3,5 juta, tetapi juga pekerja dengan gaji upah minimum di wilayah yang standar upah minimumnya di atas Rp 3,5 juta per bulan.
Sebagai contoh, pekerja dengan gaji upah minimum di DKI Jakarta, yakni Rp 4,65 juta per bulan, tetap berhak mendapat BSU meski gajinya berada di atas Rp 3,5 juta per bulan. ”Mereka juga berhak karena batasnya adalah upah minimum provinsi atau kabupaten/kota,” kata Ida di Rapat Koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Jakarta, Senin (5/9/2022).
Sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Berupa Subsidi Gaji/Upah Bagi Pekerja/Buruh, setiap pekerja akan mendapat bantuan uang tunai Rp 600.000 yang diberikan sekaligus melalui bank penyalur dan PT Pos Indonesia (Persero).
Ida mengatakan, jumlah penerima BSU berkurang dibandingkan target awal yang ditetapkan karena pemerintah harus menyisir ulang data yang ada, mencoret peserta yang sudah menerima program bantuan sosial lain dari pemerintah, serta peserta yang berstatus aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri. Mereka tidak memenuhi syarat sebagai penerima BSU.
Data penerima pun berkurang dari awalnya 16.247.509 orang menjadi 14.639.675 orang. ”Setelah datanya kami padankan, kebutuhan anggaran juga menjadi berkurang menjadi Rp 8,8 triliun (dari alokasi awal Rp 9,6 triliun),” kata Ida.
Sebelumnya, pemerintah menganggarkan bantuan sosial senilai Rp 24,17 triliun yang akan dicairkan pada empat bulan terakhir ini untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap daya beli masyarakat. Selain BSU, pemerintah juga menyiapkan bantuan langsung tunai (BLT) dan mewajibkan pemerintah daerah untuk mengalokasikan 2 persen dari dana transfer umum (DTU) untuk perlindungan sosial.
Estimasi penerima program bantuan subsidi upah (BSU) adalah 14.639.675 orang dari target awal penerima sebanyak 16 juta orang.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, anggaran bansos itu berasal dari pengalihan anggaran subsidi dan kompensasi BBM agar lebih tepat sasaran. ”Kalau harga BBM naik tanpa ada bantalan, pasti kemiskinan meningkat. Diharapkan dengan bansos tambahan ini, pendapatan dan daya beli masyarakat kelompok miskin dan rentan tetap terjaga,” ujarnya.
Kementerian Keuangan mengalkulasi, implementasi BSU bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 0,06 persen dan mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 0,04 persen. Sementara implementasi BLT dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi sebesar 0,07 persen sekaligus mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 1,03 persen.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menilai, pemerintah perlu memeriksa ulang data upah pekerja yang didaftarkan perusahaan di BP Jamsostek. Sebab, perusahaan sering kali tidak tertib mendaftarkan upah pekerjanya.
Ada fenomena perusahaan data sebagian (PDS) yang sering terjadi di mana perusahaan melaporkan upah pekerja yang lebih rendah dari sebenarnya agar bisa mengurangi besaran iuran yang harus dibayar setiap bulan.
Jika data upah tidak diperiksa ulang, bantuan subsidi yang disalurkan pemerintah berpotensi tidak tepat sasaran. Timboel sendiri pernah berpengalaman mendapat transfer BSU pada tahun 2021 karena upahnya yang terdaftar di BP Jamsostek masih upah minimum, padahal upah yang ia terima setiap bulan sudah lebih dari itu. Saat itu, ia menolak bantuan tersebut.
Menurut dia, data upah peserta yang akan mendapat BSU harus disinkronkan lagi dengan data Direktorat Jenderal Pajak. ”Kalau ternyata gaji riilnya sudah di atas itu, harus dicoret. Kuotanya bisa diberikan ke orang lain yang bisa mendaftar lewat pendataan terbuka. Jangan sampai BSU ini lari ke pekerja yang sebenarnya mampu,” katanya.
Pemerintah perlu memeriksa ulang data upah pekerja yang didaftarkan perusahaan di BP Jamsostek. Sebab, perusahaan sering kali tidak tertib mendaftarkan upah pekerjanya.
Ia mengusulkan pemerintah membuat pendataan terbuka dan tidak hanya mengacu pada data BP Jamsostek saja untuk menentukan penerima BSU. Data bersih penerima saat ini masih menyisakan alokasi kuota 1,6 juta orang. Sementara banyak pekerja yang tidak bisa menerima BSU hanya karena perusahaannya abai mendaftarkan mereka di BP Jamsostek.
Masih banyak pula pekerja informal, seperti pengemudi ojek daring, pekerja di mal dan pusat perbelanjaan, yang tidak didaftarkan pemberi kerjanya di BP Jamsostek. ”Untuk mengisi ruang alokasi yang tersisa itu, mesti dilakukan pendataan terbuka. Jangan sampai sisa anggaran ini menjadi silpa. Maksimalkan anggaran Rp 19,6 triliun yang sudah dialokasikan,” ujar Timboel.
Sementara itu, Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia Ajib Hamdani menilai kebijakan BSU dan BLT yang disiapkan pemerintah hanya dapat menopang dan mempertahankan daya beli masyarakat dalam jangka pendek.
Hal krusial yang perlu dilakukan pemerintah untuk memitigasi risiko ekonomi adalah menjaga inflasi tetap terkendali. ”Pemerintah sudah relatif bisa menjaga potensi masalah jangka pendek atas tertekannya daya beli masyarakat, tetapi masih ditunggu kebijakan strategis jangka panjang untuk bisa mengendalikan inflasi yang bakal meroket karena kenaikan harga BBM,” ujarnya.
”Inflasi secara langsung akan mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat. Capaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menjadi tidak bermakna ketika inflasi tidak terkontrol,” kata Ajib.