Antisipasi Inflasi Lebih Tinggi akibat Kenaikan Harga BBM
Dengan adanya kenaikan harga tiga jenis BBM, proyeksi inflasi pada akhir tahun diperkirakan bisa berada di kisaran 6,27 persen. Harga jual sejumlah produk barang dan jasa di pasaran akan ikut meningkat.
Oleh
agnes theodora, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Petugas mengubah informasi harga pasca-kenaikan harga BBM di salah satu SPBU di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (3/9/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga bahan bakar minyak diperkirakan akan memicu naiknya inflasi. Di tengah mahalnya beban biaya produksi belakangan ini, pelaku usaha akan menaikkan harga jual barang dan jasa. Ekspansi usaha juga terancam semakin tertahan karena pelaku usaha menekan margin keuntungan untuk menjaga harga tidak naik terlalu tinggi di tingkat konsumen.
Secara umum, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM bersifat universal untuk semua sektor dan skala usaha. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani, Minggu (4/9/2022), mengatakan, hampir semua pelaku usaha akan terkena dampak dari sisi penurunan daya beli masyarakat.
Kenaikan harga BBM yang terjadi bersamaan dengan naiknya harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya itu akan melambatkan konsumsi masyarakat, yang pada akhirnya ikut menekan permintaan dan penjualan di berbagai sektor. ”Meski pemerintah sudah mencoba meredam efek negatifnya dengan berbagai subsidi pendapatan ke masyarakat,” katanya.
Keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi diumumkan pemerintah pada Sabtu (3/9/2022) setelah wacana itu berkembang selama beberapa pekan terakhir. Harga pertalite naik dari sebelumnya Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter dan harga solar bersubsidi naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Pemerintah juga menaikkan harga pertamax dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero mengatakan, kenaikan harga jual barang dan jasa di pasaran tak terhindarkan karena pelaku usaha perlu menyesuaikan kenaikan biaya produksi yang didorong oleh kenaikan harga BBM. Khususnya, pada usaha berskala mikro kecil dan menengah (UMKM/IKM) yang selama ini menggunakan BBM bersubsidi.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Antrean warga setelah diberlakukannya harga BBM yang baru di salah satu SPBU di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (3/9/2022).
Pelaku usaha saat ini mulai menghitung dampak kenaikan harga BBM. Beban biaya operasional atau produksi yang meningkat itu akan ditransmisikan dalam bentuk harga jual barang dan jasa yang lebih tinggi bergantung pada seberapa besar komponen penggunaan BBM dalam proses produksi atau operasional usaha terkait.
”Kalau cost transportasinya tinggi, harga jual tentu bisa naik lebih tinggi. Yang pasti, pelaku usaha harus tetap tenang dan dengan transparan menjelaskan kenapa harus ada kenaikan harga,” kata Edy.
Meski demikian, ia menjamin, pelaku usaha akan menjaga agar kenaikan harga barang dan jasa itu tidak berlebihan hingga melampaui kemampuan masyarakat dan berbalik merugikan dunia usaha. Salah satu caranya adalah melalui menekan margin keuntungan.
Kenaikan harga jual barang dan jasa di pasaran tak terhindarkan karena pelaku usaha perlu menyesuaikan kenaikan biaya produksi yang didorong oleh kenaikan harga BBM.
”Yang penting, harga dinaikkan cukup untuk menutupi cost operasional. Jangan dulu berharap mau menambah profit margin. Pelaku usaha harus luwes, fokus bertahan dulu, karena kalau daya beli masyarakat lagi turun, mau bagaimana lagi,” ujarnya.
Menurut ekonom Bank Mandiri Faisal Rahman, kenaikan pertalite sebesar 30,72 persen dan pertamax 16,00 persen secara total akan menyumbangkan inflasi 1,35 persen. Adapun harga solar yang naik 32,04 persen akan berkontribusi sebesar 0,17 persen pada tingkat inflasi.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Banner peringatan untuk tidak menjual BBM tanpa izin pada hari kenaikan harga BBM di salah satu SPBU di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (3/9/2022).
Faisal menjelaskan, perhitungan ini sudah memasukkan aspek dampak secara langsung (first round impact) dan dampak lanjutan (second round impact) seperti naiknya harga jasa transportasi, distribusi, hingga kenaikan sebagian harga barang dan jasa lainnya.
”Dengan demikian, proyeksi inflasi hingga akhir tahun berada di kisaran 6,27 persen atau lebih tinggi dari proyeksi awal kami sebesar 4,60 persen,” ujar Faisal.
Potensi inflasi ini sebetulnya sudah terendus sejak akhir Juni 2022 sebelum harga BBM dinaikkan. Mengutip data Indeks Harga Produsen (IHP) terbaru, yakni pada triwulan II-2022, tercatat inflasi IHP atau di tataran produsen sebesar 11,77 persen.
Dengan demikian, proyeksi inflasi hingga akhir tahun berada di kisaran 6,27 persen atau lebih tinggi dari proyeksi awal kami sebesar 4,60 persen.
IHP digunakan untuk menggambarkan tingkat perubahan biaya atau ongkos produksi di kalangan produsen. Sementara itu, pada triwulan II- 2022, Indeks Harga Konsumen (IHK) mencatat inflasi 4,35 persen. Adapun IHK digunakan untuk menggambarkan tingkat perubahan harga yang diterima konsumen.
Saat itu selisih IHP dan IHK sudah mencapai 7,35 persen. Artinya, saat itu, produsen masih menekan kenaikan harga atau belum mentransmisikan kenaikan ongkos biaya produksi itu kepada harga jual ke konsumen sebesar 7,35 persen.
Dengan kondisi kenaikan harga BBM, lanjut Faisal, dunia usaha sudah tidak punya lagi cukup ruang untuk menahan kenaikan ongkos produksi ini sehingga mau tak mau akan terjadi kenaikan harga barang jasa sehingga mengerek inflasi.
Variatif
Shinta mengatakan, beberapa sektor tertentu akan terkena imbas lebih kuat karena porsi penggunaan BBM dalam komponen biaya operasionalnya terhitung besar. Shinta mengatakan, ada beberapa sektor yang operasional hariannya sangat bergantung pada BBM, seperti sektor jasa logistik, transportasi, jasa pariwisata/perjalanan, dan sektor perdagangan.
Sektor lain yang akan terkena dampak paling tinggi adalah sektor perikanan tangkap, perikanan, dan industri manufaktur yang umumnya punya ketergantungan cukup tinggi terhadap penggunaan BBM dalam komponen biaya usahanya. Demikian pula sektor UMKM yang kerap memakai BBM bersubsidi.
”Semua tergantung pada sektor dan skala usaha masing-masing karena komponen beban biaya yang dipengaruhi oleh naiknya harga BBM ini berbeda-beda di setiap sektor,” ujarnya.
Menurut data Kementerian Perindustrian, rata-rata pengeluaran komponen BBM di industri manufaktur berskala besar dan sedang (IBS) adalah 1,3 persen terhadap total biaya produksi industri atau sebesar Rp 58,7 triliun. Usaha dan industri berskala kecil dan menengah diperkirakan bakal lebih terdampak oleh kenaikan harga BBM.
Di sisi lain, ada pula beberapa sektor industri yang diperkirakan tidak akan terlalu terdampak oleh kenaikan harga BBM ini, seperti industri otomotif.
Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengatakan, penggunaan energi lewat BBM di industri otomotif banyak dipakai untuk keperluan pengecatan badan mobil. Namun, industri tidak selalu bergantung pada bahan bakar seperti solar.
”Biasanya bisa di-adjust, mana yang harganya lagi lebih bagus, bisa pakai gas, bisa solar, bisa listrik. Bisa ada fleksibilitas meski harga solar naik. Jadi, kalau dilihat seharusnya tidak terlalu berdampak, tetapi kita harus amati dulu dinamika ke depan seperti apa,” kata Kukuh.
Di sisi lain, ia menilai, penjualan kendaraan bermotor seharusnya tidak terlalu terganggu oleh kenaikan harga BBM bersubsidi karena kendaraan bermotor yang diproduksi di atas tahun 2018 sudah menggunakan standar Euro4. ”Artinya, bahan bakar yang dipakai di kendaraan terbaru itu rata-rata sudah pertamax, bukan pertalite,” ujarnya.