Harga BBM Melonjak, Pengemudi di Kendari Naikkan Tarif Angkutan
Sehari setelah harga bahan bakar minyak diumumkan naik oleh pemerintah, tarif angkutan di Kendari ikut merangkak tinggi. Pemerintah didesak untuk memikirkan ulang harga BBM karena berdampak luas ke masyarakat.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Sehari setelah harga bahan bakar minyak diumumkan naik oleh Presiden Joko Widodo, tarif angkutan di Kendari, Sulawesi Tenggara langsung ikut merangkak tinggi. Kenaikan tarif sebesar Rp 2.000 atau 20 persen dilakukan pengemudi angkot, ojek pangkalan, dan angkutan lainnya. Pemerintah didesak memikirkan ulang harga bahan bakar karena berdampak luas terhadap masyarakat kecil.
Pada Minggu (4/9/2022), sejumlah pengemudi angkutan kota di Kendari telah menaikkan tarif seiring kenaikan BBM bersubsidi. Tarif dalam kota yang berkisar Rp 5.000 telah dinaikkan menjadi Rp 7.000. Kenaikan tarif berkisar 20 persen untuk sekali jalan.
Risman (25), pengemudi trayek Puuwatu-Anduonohu, menyampaikan, ia telah menaikkan tarif Rp 2.000 setelah kenaikan harga BBM sehari sebelumnya. Kenaikan tarif ini dilakukan karena menyesuaikan harga bahan bakar jenis pertalite yang saat ini Rp 10.000 per liter dari harga Rp 7.650.
”Dengar teman-teman kasih naik (tarif), kita pasti kasih naik juga. Karena tidak mungkin bisa tutupi pengeluaran kalau harga tidak naik,” kata Risman.
Ini akan menjadi spiral effect, dari transportasi, ke distribusi, harga barang, dan kenaikan harga lainnya.
Sebelum harga naik, ia menyampaikan, membutuhkan biaya bahan bakar minimal Rp 100.000. Jika penumpang ramai, penghasilan bisa Rp 300.000. Ia harus menyetor Rp 100.000 ke pemilik mobil setiap harinya.
“Sudah untung kalau bisa bawa pulang Rp 100.000. Sekarang untuk pertalite saja bisa Rp 150.000 per hari. Kalau penumpang kurang, malah rugi jadinya. Dari pagi jalan baru dapat Rp 60.000,” katanya.
Hendro (35), pengemudi angkot lainnya, menyampaikan, sejumlah rekannya terpaksa tidak mencari penumpang hari ini karena kesulitan membeli bahan bakar. Lonjakan harga pertalite yang mencapai 30 persen membutuhkan modal tidak sedikit untuk menjalankan angkot.
Di sisi lain, kenaikan tarif angkutan membuat penumpang juga mengeluh. Sebab, tarif yang biasanya hanya Rp 5.000 telah naik menjadi Rp 7.000 per orang. Namun, ia berusaha menjelaskan kepada setiap penumpang jika kenaikan tarif ini terpaksa dilakukan untuk memenuhi operasional.
”Kalau tarif tidak naik, bukannya untung, tapi malah kita rugi. Sudah capek seharian cari penumpang, tidak bawa uang pulang untuk keluarga. Mungkin besok rekan-rekan akan aksi mogok protes terkait kenaikan tarif ini,” kata ayah satu anak ini.
Tidak hanya angkot, pengemudi ojek pangkalan juga telah menaikkan tarif sekitar Rp 2.000 hingga Rp 3.000. Irwan (32), salah seorang tukang ojek pangkalan, mengatakan, dalam sehari ia biasanya mengeluarkan biaya bahan bakar Rp 20.000. Seiring kenaikan harga bahan bakar, ia mengeluarkan Rp 30.000 untuk membeli BBM jenis pertalite.
Oleh karena itu, Irwan berharap, pemerintah memikirkan ulang kenaikan harga bahan bakar ini. Sebab, tingginya harga bahan bakar berdampak luas, khususnya untuk masyarakat kecil seperti dirinya.
Pemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi, yakni pertalite dan solar. Harga pertalite naik dari sebelumnya Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Harga per liter solar bersubsidi naik dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800. Selain itu, pemerintah juga mengumumkan kenaikan harga pertamax nonsubsidi naik dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
”Pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia. Saya sebetulnya ingin harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan subsidi dari APBN,” kata Presiden Joko Widodo saat bersama menteri terkait menggelar konferensi pers perihal pengalihan subsidi bahan bakar minyak di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (3/9/2022).
Akan tetapi, lanjut Presiden, anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat, yakni dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun dan diperkirakan terus meningkat. Di sisi lain, ditemukan fakta bahwa 70 persen lebih subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu, yaitu pemilik mobil pribadi (Kompas, Sabtu 3/9/2022).
Kepala Laboratorium Ekonomi Universitas Halu Oleo Syamsir Nur berpendapat, kenaikan harga bahan bakar tentunya akan diikuti kenaikan tarif transportasi. Hal tersebut lalu akan disusul dengan kenaikan harga di sektor lainnya yang akan memicu dampak ke banyak hal.
“Ini akan menjadi spiral effect, dari transportasi, ke distribusi, harga barang, dan kenaikan harga lainnya. Secara makro tentu akan menyebabkan inflasi di daerah. Apalagi seperti Sultra yang sejumlah kebutuhan utamanya didatangkan dari luar,” ucapnya.
Selain inflasi, ia melanjutkan, kenaikan harga BBM juga akan berdampak pada jutaan masyarakat rentan miskin. Mereka akan mengalami kenaikan pengeluaran, tetapi dengan pemasukan yang tidak bertambah. Akibatnya, mereka akan jatuh ke kelompok masyarakat miskin.
Tidak hanya itu, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan juga akan meningkat. Sebab, peningkatan pengeluaran akan terjadi tidak hanya untuk makanan, tetapi juga ke sektor lain.
”Dalam jangka pendek, pemerintah harusnya mengefektifkan tol laut agar harga barang di daerah tidak melonjak tinggi. Selain itu, infrastruktur transportasi juga segera dibenahi agar ada layanan publik yang murah dan terjamin untuk semua warga. Jangka menengah, daerah harus memikirkan barang yang menjadi kebutuhan utama agar diproduksi di Sultra sehingga menekan biaya distribusi,” ujarnya.