Perdagangan Global Tumbuh Berkat Kenaikan Harga ketimbang Volume
UNCTAD menyebutkan nilai perdagangan global meningkat kendati pertumbuhannya melambat. Di sisi lain, di tengah penurunan permintaan dan harga CPO global, RI makin menggencarkan ekspor CPO guna mendongkrak harga TBS.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Tumpukan peti kemas di terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (31/5/2013).
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan perdagangan global saat ini dinilai lebih mencerminkan kenaikan harga barang ketimbang volume barang. Hal ini menunjukkan kenaikan harga komoditas ekspor tidak hanya dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas itu sendiri, tetapi juga oleh kenaikan biaya logistik dan produksi.
Lembaga Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) dalam laporan ”Rising Prices Inflate International Trade” menyebutkan, nilai perdagangan global meningkat kendati pertumbuhannya melambat. Nilai perdagangan global pada triwulan I-2022 sangat tinggi, yakni mencapai 7,7 triliun dollar AS.
Jika dibandingkan dengan triwulan I-2021 dan triwulan IV-2021, nilai perdagangan tersebut meningkat masing-masing 1 triliun dollar AS dan 250 juta dollar AS. Dari total 7,7 triliun dollar AS itu, nilai perdagangan barang mencapai 6,1 triliun dollar AS, sementara perdagangan jasa 1,6 juta dollar AS. Nilai perdagangan barang tumbuh 25 persen secara tahunan, sedangkan jasa tumbuh 22 persen secara tahunan.
Hal itu tidak lepas dari kenaikan harga sebagian besar barang atau komoditas selama setahun terakhir, terutama pangan, energi, dan besi-baja. Kenaikan nilai komoditas itu berkisar 36 persen hingga 59 persen dari 2019 atau periode sebelum pandemi Covid-19. Sebaliknya, volume perdagangan barang hanya meningkat 6 persen dan cenderung tumbuh statis.
SUMBER: UNCTAD
UNCTAD menyebutkan pertumbuhan perdagangan global lebih ditopang oleh kenaikan harga komoditas ketimbang volume barang.
UNCTAD kembali mengingatkan kenaikan harga barang itu akan berimbas ke konsumen. Miliaran orang bakal menghadapi krisis biaya hidup terbesar dalam satu generasi karena kenaikan harga pangan dan energi di tengah inflasi yang cepat dan meningkatnya utang. Hal ini membuat konsumen yang paling rentan berada dalam situasi yang makin tertekan.
Di sektor pangan, misalnya, kenaikan 10 persen harga pangan akan memicu penurunan 5 persen pendapatan keluarga termiskin. Penurunan pendapatan itu kira-kira setara dengan jumlah yang biasanya dikeluarkan keluarga tersebut untuk biaya kesehatan.
Kenaikan 10 persen harga pangan akan memicu penurunan 5 persen pendapatan keluarga termiskin.
”Pemerintah setiap negara harus berusaha melanjutkan misi jangka panjang untuk melindungi konsumen. Ini merupakan relevansi dari misi atau kewajiban setiap negara terkini,” kata Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan dalam Pertemuan Antar-pemerintah tentang Perlindungan Konsumen pada 18-19 Juli 2022 di Geneva, Swiss, melalui siaran pers.
Pada akhir semester I-2022, harga sejumlah komoditas pangan telah turun meskipun masih relatif tinggi dibandingkan 2021. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat, Indeks Harga Pangan pada Juni 2022 mencapai 154,2. Indeks tersebut turun 2,3 persen secara bulanan kendati masih tinggi sebesar 23,1 persen secara tahunan.
Penurunan indeks yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut itu mencerminkan penurunan harga internasional minyak nabati, sereal, dan gula di tengah kenaikan harga susu dan daging. Indeks harga minyak nabati, misalnya, pada Juni 2022 turun 7,6 persen menjadi 211,8 akibat penurunan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO), biji bunga matahari, dan kedelai.
Harga CPO turun lantaran ada peningkatan produksi musiman di negara-negara produsen utama. Hal ini bertepatan dengan prospek peningkatan pasokan ekspor dari Indonesia pasca-pencabutan larangan ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya.
Dilema kebijakan CPO
Per Jumat (22/7/2022), harga CPO di Bursa Derivatif Malaysia mencapai 3.702 per ton ringgit Malaysia, sedikit membaik dari 14 Juli 2022 yang jatuh di level 3.496 per ton ringgit Malaysia. Harga tersebut turun 21,96 persen secara bulanan dan turun 13,32 persen secara tahunan.
Trading Economics menyebutkan, penurunan harga itu terjadi lantaran permintaan melemah di tengah peningkatan produksi dan suplai CPO global dari Malaysia dan Indonesia. Penurunan harga CPO itu juga terjadi akibat sentimen negatif pasar yang mengkhawatirkan terjadinya resesi global.
Setelah ”ketiban durian runtuh” akibat larangan ekspor CPO Indonesia, ekspor CPO Malaysia kembali turun 2-9,6 persen pada 1-20 Juli 2022. Hal ini berbarengan dengan peningkatan produksi CPO negara tersebut yang pada Juli 2022 naik 21,4 persen menjadi 2 juta ton.
Selain itu, stok CPO di Indonesia cukup besar dan Indonesia telah menghapus pungutan ekspor CPO hingga 31 Agustus 2022. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Palm Oil Agribusiness Strategic Policy (PASPI), stok akhir minyak sawit pada Januari-Mei 2021 mencapai 3,07 juta ton. Sementara pada Januari-Mei 2022 jumlahnya melonjak menjadi 7,23 juta ton (Kompas, 22/7/2022).
Penurunan harga CPO global itu berpengaruh terhadap harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani di Indonesia. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menunjukkan, harga rata-rata TBS sawit di tingkat petani swadaya per 20 Juli 2022 sebesar Rp 1.350 per kilogram (kg) dan di tingkat petani plasma Rp 1.495 per kg. Dalam sehari, kenaikan harganya di tingkat petani swadaya hanya Rp 7 per kg dan di tingkat petani plasma Rp 5 per kg.
Di tengah penurunan permintaan dan harga CPO global, Indonesia akan semakin menggencarkan ekspor CPO untuk mendongkrak harga TBS sawit. Saat ini, pemerintah tengah mempertimbangkan untuk memperlonggar kebijakan kewajiban memasok kebutuhan pasar dalam negeri (DMO) CPO dan sejumlah produk turunannya.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengaku tengah mempertimbangkan merelaksasi DMO, baik menyangkut kuota maupun harga patokan, untuk memperbaiki harga TBS di tingkat petani. Namun, ia juga meminta pelaku usaha tetap berkomitmen memasok minyak goreng dan bahan baku minyak goreng di dalam negeri.
”Apabila para pelaku usaha berkomitmen tetap memenuhi stok CPO domestik sebanyak 3 juta-4 juta ton per bulan, kami akan mempertimbangkan untuk merelaksasi kebijakan DMO. Relaksasi DMO itu dapat mempercepat ekspor dan pengosongan tangki-tangki CPO di pabrik-pabrik kelapa sawit. TBS petani bisa terserap dan harganya bisa membaik di atas Rp 2.000 per kg,” kata Zulkifli di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat, melalui siaran pers.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Indonesia Mansuetus Darto mengingatkan, ekspor CPO yang berlebihan bisa berdampak pada penurunan harga CPO karena stok CPO global melimpah. Di sisi lain, permintaan CPO dari sejumlah negara tengah turun dan sejumlah negara sudah mengikat kontrak dengan Malaysia kala Indonesia melarang ekspor.
”Jika ingin mendongkrak harga TBS petani, ekspor memang perlu didorong. Namun, hal itu perlu diikuti dengan mencermati kondisi dan menjamin serapan pasar global,” ujar Darto.