Tanpa upaya ekstra menyerap tumpukan stok minyak sawit, harga jual tandan buah segar sawit di tingkat petani diyakini bakal terus tertekan. Selain ekspor, permintaan dalam negeri perlu digenjot.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·6 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Para petani kelapa sawit dari sejumlah daerah yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menggelar aksi di depan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (17/5/2022). Mereka memprotes kebijakan pemerintah terkait larangan ekspor minyak sawit mentah sehingga menyebabkan anjloknya harga tandan buah segar (TBS). Pembenahan tata kelola sistem perkebunan sawit diperlukan agar petani tidak selalu menjadi korban terdampak gangguan hilirisasi produk sawit. Apkasindo memperkirakan kerugian petani sawit akibat anjloknya harga TBS sejak pemberlakuan larangan ekspor pada 28 April lalu diperkirakan mencapai Rp 11,4 triliun.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pengosongan tangki pabrik pengolah kelapa sawit dinilai makin krusial guna mendongkrak harga tandan buah segar sawit di tingkat petani. Tumpukan stok minyak sawit di tengah panen yang diproyeksikan meningkat pada Agustus 2022 bakal menghambat penyerapan tandan buah segar petani.
Ekonom dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy (PASPI) Tungkot Sipayung dalam diskusi Kompas Talks bertajuk ”Kondisi Perdagangan Kelapa Sawit Nusantara”, Kamis (21/7/2022), mengatakan, harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani terjun bebas setelah ada pelarangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya pada akhir April 2022.
Setelah aturan itu dicabut dan digantikan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO) disertai batasan harga (DPO) pada akhir Mei 2022, harga TBS justru makin anjlok. Menurut dia, solusi mendesak saat ini ialah merelaksasi ekspor CPO secara maksimal guna menyerap tumpukan stok.
Pemerintah memang telah menghapus pungutan ekspor sawit. Namun, upaya percepatan ekspor lain mesti dilakukan. ”DMO juga harus dievaluasi. Jangan justru memperlambat ekspor lagi. Paling tidak, dalam dua bulan ke depan, DMO seharusnya direlaksasi dan DPO tidak diterapkan karena tidak relevan lagi,” kata Tungkot.
Akan tetapi, upaya mendorong ekspor itu bukan berarti seluruh produksi digelontorkan ke pasar internasional. Sebab, hal itu akan membuat harga CPO internasional makin jatuh mengingat posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Oleh karena itu, penyerapan dalam negeri juga mesti dipercepat, antara lain melalui program pengembangan energi.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah PASPI, stok akhir minyak sawit pada Januari-Mei 2021 mencapai 3,07 juta ton. Sementara pada Januari-Mei 2022 jumlahnya melonjak menjadi 7,23 juta ton. Menurut Tungkot, volume itu sangat besar sehingga upaya menyerapnya perlu kerja ekstra.
Sebelumnya, pemerintah menerapkan kebijakan DMO dan DPO guna mengendalikan pasokan minyak sawit dalam negeri. Langkah itu ditempuh seiring melambungnya harga CPO internasional. Lewat DMO dan DPO, pemerintah berharap pasokan bahan baku untuk kebutuhan dalam negeri tetap terpenuhi sehingga gejolak harga minyak goreng tertangani.
Kendati tarif pungutan ekspor sawit telah dihapus sejak 15 Juli 2022, pemerintah dinilai perlu mengevaluasi kebijakan DMO dan DPO. Selain tidak relevan dengan situasi harga di pasar saat ini, ketentuan DMO dan DPO dianggap turut menekan harga TBS sawit di tingkat petani.
Berdasarkan data yang dihimpun Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), harga rata-rata TBS sawit pada 20 Juli 2022 dari kebun petani swadaya mencapai Rp 1.350 per kilogram (kg), sementara di kebun petani mitra Rp 1.495 per kg. Angka itu hanya naik Rp 7 per kg di petani swadaya dan hanya Rp 5 per kg di petani mitra sehari sebelumnya.
Situasi harga TBS umumnya memang telah naik. Sebelum kebijakan penghapusan tarif pungutan ekspor diumumkan pada 14 Juli 2022, harga rata-rata TBS sawit dari kebun petani swadaya berada di level Rp 916 per kg. Namun, harga TBS di petani dinilai masih jauh dari ideal, setidaknya sebelum ada larangan ekspor CPO atau pada April 2022 yang mencapai Rp 2.500 per kg atau lebih.
YOUTUBE HARIAN KOMPAS
Tangkapan layar webinar Kompas Talks bertajuk "Kondisi Perdagangan Kelapa Sawit Nusantara" Kamis (21/7/2022), yang merupakan kerja sama harian Kompas dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Hadir sebagai pembicara Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Medali Emas Manurung, ekonom dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy (PASPI) Tungkot Sipayung, serta Pelaksana Tugas Kepala Divisi Replanting, Reforestation, dan Promosi Perkebunan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Leri Fardiyan.
Menurut Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung, DMO dan DPO memang seharusnya sudah selesai. Pasalnya, harga yang dipatok (DPO) adalah Rp 10.700 per kg CPO, sedangkan harga CPO di pasar saat ini Rp 9.100 per kg. Itu akan secara otomatis berpengaruh karena aneh jika DPO lebih mahal daripada harga pasar.
Sementara flush out (FO/program percepatan ekspor minyak sawit) eksekusi hasil bagi mereka yang sudah membayar, yakni 200 dollar AS per ton, terakhir 30 Juni 2022 sehingga pada Juli 2022 tidak dilakukan lagi. ”Namun, faktanya DPO dan FO masih dihitung sebagai faktor pengurang harga CPO. Ujung-ujungnya, harga TBS kembali anjlok karena semua dibebankan ke kami (petani),” ujarnya.
Bangun pabrik
Solusi ke depan, kata Gulat, seperti telah disepakati pemerintah adalah pembangunan pabrik minyak makan merah di sentra perkebunan kelapa sawit rakyat. Hal itu menjadi semangat untuk menghindari kelangkaan minyak goreng di masa mendatang. Menurut dia, jika 22 provinsi penghasil sawit masing-masing membangun lima pabrik, kebutuhan minyak goreng atau minyak makan merah dalam negeri akan terpenuhi.
Pelaksana Tugas Kepala Divisi Replanting, Reforestation, dan Promosi Perkebunan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Leri Fardiyan menyampaikan, pungutan ekspor sawit selama ini mengalami sejumlah perubahan, tergantung dari situasi di pasar internasional. Adapun dana yang dihimpun meningkat dari Rp 6,9 triliun pada 2015 menjadi Rp 71,64 triliun pada 2021.
Terkait petani, BPDPKS mendorong program peremajaan sawit rakyat. Namun, realisasi peremajaan tanaman (replanting) menurun dari 94.033 hektar pada 2020 menjadi 42.212 hektar pada 2021. ”Ini juga tergantung dari rekomendasi Direktorat Jenderal Perkebunan (Kementerian Pertanian) karena sifatnya belum mandatori. Kami sedang mencari jalan agar program replanting ini naik lagi realisasinya,” kata Leri.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengemukakan, pemerintah pada prinsipnya mempertimbangkan produsen (petani sawit) dan konsumen (minyak goreng). Itu dengan berupaya agar harga minyak goreng terjangkau masyarakat, tetapi juga memikirkan petani, seperti langkah yang ditempuh baru-baru ini, yakni mencabut pungutan ekspor sawit agar harga TBS di tingkat petani terus terangkat.
Berikutnya, tambah Moeldoko, pemerintah memikirkan keseimbangan. ”Dengan menyiapkan B30 menuju B35. Dengan demikian, nantinya, saat harga CPO rendah, bisa memainkan B35, tetapi saat harga bagus (tinggi), B30 yang dimainkan. Jadi, fleksibel, sehingga supply and demand dapat terjaga dengan baik,” ucapnya.
Ia pun meminta petani tetap bersemangat meski harga TBS belum seperti yang diharapkan. ”Kenapa begitu ekspor dibuka harga (TBS) tak segera naik? Karena kapalnya belum siap. Pemerintah sudah mengumpulkan asosiasi perkapalan dan harapannya Juli ini banyak kapal dan mulai berjalan sehingga tangki-tangki (PKS) kosong dan terima produk petani,” katanya.
Sementara itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meningkatkan status penegakan hukum atas kasus minyak goreng, dari tahap penyelidikan ke pemberkasan, yang diputuskan dalam rapat komisi, Rabu (20/7/2022). Dari hasil penyelidikan, terdapat 27 perusahaan terlapor dalam perkara tersebut yang diduga melanggar peraturan.
Sebelumnya, KPPU menyelidiki kasus tersebut sejak 30 Maret 2022. Dalam perkembangannya, KPPU telah memanggil para pihak yang berkaitan dengan dugaan, seperti produsen minyak goreng, asosiasi, dan pelaku ritel. Dari proses tersebut, KPPU telah mengantongi sedikitnya dua jenis alat bukti yang ada sehingga disimpulkan layak untuk berlanjut ke pemberkasan.
Kini, tim pemberkasan KPPU akan meneliti kembali laporan hasil penyelidikan tim investigasi serta menyusun laporan dugaan pelanggaran, yang akan dibacakan dalam Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan. ”Proses pemberkasan 14 hari kerja dan dapat diperpanjang 14 hari kerja lagi,” kata Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur, Kamis.
Dalam keterangan KPPU disebutkan, 27 perusahaan terlapor diduga melanggar dua pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kedua pasal itu adalah Pasal 5 tentang penetapan harga dan Pasal 19 Huruf c tentang pembatasan peredaran atau penjualan barang/jasa.