Kenaikan Harga Global Tertransmisi di Sejumlah Sektor Domestik
Transmisi kenaikan harga pangan dan energi global mulai dirasakan sejumlah sektor ekonomi di Indonesia. Di sisi lain, pemerintah berupaya menjaga keseimbangan harga pangan di tingkat petani dan konsumen.
Oleh
Hendriyo Widi
·6 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Pengunjung melewati salah satu lorong di Pasar Senen, Jakarta, Rabu (2/6/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat inflasi pada Mei 2022 sebesar 0,4 persen secara bulanan dan 3,55 persen secara tahunan.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik menyebut kenaikan harga pangan dan energi global telah tertransmisi ke sektor pangan, industri, transportasi, dan konstruksi di dalam negeri. Hal ini terindikasi dari tingkat inflasi dan indeks perdagangan besar. Pemerintah dinilai perlu mencermati dan menyikapinya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, Kamis (2/6/2022), mengatakan, perang Rusia-Ukraina dan restriksi pangan yang dilakukan sejumlah negara menyebabkan tren harga pangan dan energi terus meningkat. Sejumlah komoditas yang harganya masih bergejolak dan tinggi, antara lain, minyak dan gas bumi, minyak kelapa sawit mentah (CPO), gandum, kedelai, jagung, daging, bahkan pupuk.
Kenaikan harga tersebut berpengaruh terhadap inflasi global. Hal ini juga membuat Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi ke atas proyeksi inflasi tahun ini. Tingkat inflasi di negara maju direvisi dari 3,9 persen menjadi 5,7 persen, sedangkan inflasi di negara berkembang direvisi dari 5,9 persen menjadi 8,7 persen.
”Di Indonesia, transmisinya sudah mulai terasa sejak awal 2022. Imbasnya ke inflasi domestik mulai terjadi. Meski untuk beberapa komoditas, andilnya terhadap inflasi belum terlalu besar, pemerintah tetap perlu mencermati dan mengantisipasi tren kenaikan harganya,” kata Margo dalam konferensi pers di Jakarta yang digelar secara hibrida.
Di Indonesia, transmisinya sudah mulai terasa sejak awal 2022. Imbasnya ke inflasi domestik mulai terjadi meski untuk beberapa komoditas andilnya belum terlalu besar.
BPS merilis, tingkat inflasi Mei 2022 sebesar 0,4 persen secara bulanan dan 3,55 persen secara tahunan. Tingkat inflasi tersebut berada di kisaran target inflasi tahunan pemerintah dan Bank Indonesia yang sebesar 3-4 persen.
Komoditas yang berkontribusi besar terhadap inflasi bulanan itu, antara lain, tarif angkutan udara, yakni dengan andil 0,07 persen, telur ayam ras 0,05 persen, ikan segar 0,04 persen, dan bawang merah 0,04 persen. Adapun tepung terigu dan tempe andilnya terhadap inflasi masih sangat kecil, masing-masing 0,0008 persen dan 0,0052 persen. Sementara minyak goreng yang berkontribusi terhadap inflasi April 2022 sebesar 0,19 persen, justru pada Mei 2022 mengalami deflasi sebesar 0,01 persen.
Margo menjelaskan, kenaikan harga tarif pesawat tidak hanya disebabkan tingginya permintaan, tetapi juga imbas dari kenaikan harga minyak mentah dunia. Kenaikan harga minyak global itu membuat pemerintah menaikkan harga bahan avtur, pertamax, dan mengizinkan maskapai menyesuaikan biaya tiket.
Untuk minyak goreng, harganya dipengaruhi oleh kenaikan harga CPO global. Namun, berkat larangan ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya pada 28 April-22 Mei 2022, harganya mulai turun sehingga berkontribusi pada deflasi Mei 2022.
”Kenaikan harga telur ayam ras, tepung terigu, dan tempe, juga dipengaruhi oleh lonjakan harga pakan, gandum, dan kedelai global. Bahkan, rembetan kenaikan harga energi dan biaya transportasi sudah mulai terasa di sektor bangunan atau konstruksi,” ujar Margo.
Kenaikan harga telur ayam ras, tepung terigu, dan tempe juga dipengaruhi oleh lonjakan harga pakan, gandum, dan kedelai global. Bahkan, rembetan kenaikan harga energi dan biaya transportasi sudah mulai terasa di sektor konstruksi.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pekerja menunjukan jenis kedelai impor yang dijual di salah satu toko di sentra pembuatan tahu tempe di Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, Rabu (23/2/2022). Sebagian besar perajin tahu tempe mengandalkan bahan baku kedelai impor untuk memproduksi tahu tempe. Sekitar 90 persen kebutuhan kedelai nasional dipenuhi dengan impor. Ketergantungan terhadap kedelai impor sangat berpengaruh dalam ketersediaan bahan pangan berbahan baku kedelai, terutama ketika terjadi kenaikan harga di level global.
Hal itu tecermin juga dalam inflasi Indeks Harga Perdagangan Besar (HPB) Mei 2022 yang sebesar 0,33 persen secara bulanan dan 4,23 persen secara tahunan. Andil inflasi HPB bulanan sektor pertanian dan industri bulanan masing-masing 0,02 persen dan 0,31 persen.
Komoditas yang berkontribusi besar terhadap inflasi HPB sektor pertanian adalah telur ayam ras, yakni 0,05 persen. Di sektor industri, komoditasnya adalah tepung terigu, daging sapi, dan mi kering instan, masing-masing 0,01 persen.
Sementara tingkat inflasi HBP kelompok konstruksi sebesar 0,56 persen secara bulanan dan 5,62 persen secara tahunan. Komoditas yang berkontribusi besar terhadap inflasi HPB kelompok tersebut adalah semen (0,13 persen), aspal (0,04 persen), dan solar (0,04 persen).
Terkait kenaikan harga sejumlah komoditas impor, pelaku industri di Tanah Air mulai mencari alternatif negara sumber bahan baku dan berencana menaikkan harga produknya. Penguncian wilayah untuk mengendalikan pademi Covid-19 yang mendorong kenaikan biaya logistik dan anomali cuaca di sejumlah negara produsen menjadi pemicu awal. Namun, perang Rusia-Ukraina dan restriksi pangan kedua negara tersebut dan diikuti sejumlah negara lain memperlambat penurunan harga pangan global.
International Food Policy Research Institute (IFPRI) menyebutkan, sejak invasi Rusia atas Ukraina pada 24 Februari 2022, jumlah negara yang membatasi ekspor bertambah. Per 1 Juni 2022, sebanyak 20 negara masih aktif membatasi ekspor komoditas pangan, tujuh negara menerapkan perizinan khusus ekspor, dan tiga negara menaikkan pajak atau pungutan ekspor. Komoditas itu, antara lain, gandum, gula, beras, daging, minyak sawit mentah (CPO), serta minyak dan biji bunga matahari. Selain itu, empat negara masih aktif membatasi ekspor pupuk, dua negara menerapkan perizinan khusus ekspor, dan satu negara menaikkan pajak ekspor.
NTP turun
Kenaikan harga pangan pada Mei 2022 tidak diikuti perbaikan nilai tukar petani (NTP). BPS mencatat, NTP petani pada Mei 2022 sebesar 105,41 atau turun 2,81 persen ketimbang April 2022. NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan.
Penurunan terbesar terjadi pada NTP subsektor perkebunan rakyat yang anjlok 9,29 persen menjadi 123,56. Hal itu terjadi lantaran indeks harga yang diterima petani turun 2,37 persen, terutama akibat penurunan harga kelapa sawit, kelapa, dan karet.
Sementara NTP subsektor tanaman pangan juga turun 0,32 persen menjadi 97,04. Hal ini terjadi karena kenaikan indeks harga yang diterima petani, yakni sebesar 0,15 persen, lebih rendah daripada kenaikan indeks harga yang dibayar petani yang sebesar 0,47 persen.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menyatakan, penurunan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani merupakan dampak dari larangan ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya. Ia berharap ketika ekspor komoditas-komoditas itu mulai berjalan kembali, harga TBS bisa kembali membaik. Pemerintah juga diminta untuk terus memonitor perkembangan harga TBS.
Sementara itu, di tengah musim panen padi dan musim giling tebu, Badan Pangan Nasional dan ID Food atau Holding BUMN Pangan, berupaya mengantisipasi jatuhnya harga gabah dan gula petani. Harga gabah kering panen (GKP) petani akan dijaga minimal Rp 4.200 per kg, sedangkan gula petani diharapkan bisa dibeli minimal Rp 11.500 per kg.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi meminta pelaku usaha, Perum Bulog, dan Holding BUMN Pangan bersama-sama menjaga harga GKP agar tidak jatuh di bawah Rp 4.200 per kg. Mereka juga diharapkan meningkatkan serapan gabah untuk menjaga stok dan harga beras, baik melalui skema cadangan beras pemerintah (CBP) maupun komersial.
”Cadangan pangan ini penting di tengah sejumlah negara, seperti India, Vietnam, dan Thailand, yang berencana membatasi ekspor bahan pokok,” ujar Arief.
Cadangan pangan ini penting di tengah sejumlah negara, seperti India, Vietnam, dan Thailand, yang berencana membatasi ekspor bahan pokok.
Badan Pangan Nasional, lanjut Arief, juga telah meminta pabrik-pabrik gula yang dikelola ID Food, PT Perkebunan Nusantara, dan swasta dapat menjaga keseimbangan selain harga di tingkat petani dan konsumen. Pemerintah telah mematok harga pokok pembelian (HPP) gula di tingkat petani Rp 11.500 per kg, meningkat Rp 1.000 per kg dari HPP tahun sebelumnya.
”Saya berharap harga gula petani dibeli minimal Rp 11.500 per kg. Kalau nanti harga lelangnya mencapai Rp 12.000 per kg, ya, harus dibeli sesuai harga lelang tersebut. Di hilir atau di tingkat konsumen, kami akan berupaya menjaganya di harga Rp 13.500 per kg,” tuturnya.