Ekspor CPO Diminta Dihentikan jika Harga Wajar Minyak Goreng Tak Terbentuk
Kementerian Perdagangan diminta menghentikan ekspor CPO jika harga kewajaran minyak goreng tak terbentuk. Sementara itu, para pelanggar hukum yang menyebabkan minyak goreng langka akan dimumkan senin pekan depan.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat berharap agar kebijakan baru pemerintah tidak sekadar mengatasi kelangkaan minyak goreng. Kebijakan itu juga diharapkan dapat menciptakan harga minyak goreng yang wajar bagi konsumen atau masyarakat.
Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan diminta untuk menghentikan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) jika harga wajar minyak goreng tak terbentuk. Kementerian Perdagangan juga diminta berkoordinasi dengan Satuan Tugas Pangan Kepolisian RI untuk menindak tegas para pelanggar hukum.
Hal itu merupakan hasil kesimpulan rapat kerja Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kementerian Perdagangan yang digelar secara hibrida di Jakarta, Kamis (17/3/2022). Rapat kerja yang berlangsung sekitar 6 jam 30 menit (dari pukul 14.00 hingga 20.30) itu dihadiri Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga.
Hasil kesimpulan itu merupakan upaya Komisi VI mengawal kebijakan baru pemerintah dalam stabilisasi stok dan harga minyak goreng di dalam negeri. Pemerintah telah mencabut kebijakan kewajiban memasok kebutuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO) CPO dan olein, baik kuota maupun harga patokannya, sehingga persetujuan ekspor tidak diperlukan lagi.
Pemerintah juga telah mencabut harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sederhana dan premium ke mekamisme pasar. Sementara untuk minyak goreng curah akan disubsidi dan HET-nya ditentukan Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per liter.
Dalam rapat kerja itu, anggota Komisi VI DPR, Nusron Wahid, meminta Menteri Perdagangan memastikan harga keekonomian dan harga kewajaran minyak goreng yang bakal terbentuk melalui kebijakan itu di pasar konsumsi. Harga terebut penting mengingat masyarakat atau konsumen harus membeli minyak goreng, terutama minyak goreng kemasan, dengan harga tinggi setelah penentuan harganya diserahkan ke mekanisme pasar.
Baca juga: Ketentuan DMO CPO Dicabut, Pungutan Ekspor Dinaikkan
Masyarakat menengah ke bawah yang membutuhkan minyak goreng curah juga harus membelinya dengan harga yang lebih tinggi dari sebelumnya. Hal itu akibat pemerintah mengubah HET minyak goreng curah dari Rp 11.500 per liter menjadi Rp 14.000 per liter.
”Ini akan memberatkan masyarakat yang daya belinya belum sepenuhnya pulih akibat pandemi. Meski mereka kelas menengah, ada juga yang belum tentu bisa membeli minyak goreng kemasan dengan harga ekonomis. Padahal, tugas pemerintah adalah memenuhi amanat UUD 1945 (Pasal 33 Ayat 3), yaitu bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat,” kata dia.
Nusron juga meminta pemerintah melarang ekspor CPO jika kebijakan baru itu tidak dapat membuat harga kewajaran minyak goreng di pasar konsumsi. Pemerintah pernah menerapkan kebijakan larangan itu pada saat kebutuhan domestik batubara tidak tercapai.
Baca juga: Soal Minyak Goreng, Pemerintah Dinilai Kalah
Pemerintah melarang ekspor CPO jika kebijakan baru itu tidak dapat membuat harga kewajaran minyak goreng di pasar konsumsi.
Menanggapi hal itu, Lutfi menuturkan, dengan harga CPO Dumai (Indonesia) saat ini yang sebesar 1.570 dollar AS per ton, harga keekonomian minyak goreng curah Rp 18.000 per liter. Pemerintah telah menentukan HET minyak goreng curah Rp 14.000 per liter sehingga subsidi yang diberikan Rp 4.000 per liter.
Adapun harga keekonomian minyak goreng kemasan Rp 20.000 per liter. Saat ini, pasar tengah berburu bahan bakunya. Setelah mendapat dan diolah menjadi minyak goreng, harga di pasar yang akan terbentuk secara bertahap diperkirakan di kisaran Rp 21.000 per liter-Rp 22.000 per liter.
Lutfi juga tidak menutup kemungkinan terhadap opsi melarang ekspor CPO jika harga kewajaran minyak goreng di pasar konsumsi tidak terbentuk pascapenerapan kebijakan baru tersebut. ”Kalau memang keadaan sudah mendesak dan suplai di dalam negeri harus dipenuhi, opsi larangan itu akan dilakukan demi kepentingan masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Berakhirnya Era Minyak Goreng Murah
Wakil Ketua Komisi VI DPR Arya Bima berpendapat agar pemerintah tetap mempertahankan HET lama serta DMO CPO dan olein. Tujuannya, agar pasokan bahan baku minyak goreng di dalam negeri tetap terjaga dan masyarakat bisa mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau, terlebih saat Ramadhan-Lebaran nanti.
Ia juga menilai, harga kewajaran minyak goreng kemasan sebesar Rp 21.000 per liter relatif tinggi. Selisih harga tersebut dengan HET lama minyak goreng premium yang sebesar Rp 14.000 per liter cukup besar, yaitu Rp 7.000 per liter.
Artinya, masyarakat harus menanggung Rp 7.000 per liter untuk mendapatkan minyak goreng premium. Apalagi minyak goreng kemasan itu juga tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah atas saja, tetapi juga kelas menengah bawah.
”Saat ini kebutuhan bahan pokok selain minyak goreng juga terus merangkak naik. Satu per satu nanti akan terakumulasi sehingga semakin menambah pengeluaran masyarakat,” ujarnya.
Kementerian Perdagangan mencatat, kebutuhan minyak goreng nasional pada 2022 mencapai 5,7 juta kiloliter. Kebutuhan rumah tangga diperkirakan 3,9 juta kiloliter, terdiri dari 1,2 juta kiloliter minyak goreng kemasan premium, 231.000 kiloliter minyak goreng kemasan sederhana, dan 2,4 juta kiloliter minyak goreng curah. Adapun kebutuhan industri mencapai 1,8 juta kiloliter.
Pimpinan rapat sekaligus Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Mohamad Hekal menyampaikan, Komisi VI akan membahas kembali harga kewajaran yang terbentuk akibat kebijakan baru itu dalam pertemuan berikutnya. Jangan sampai kebijakan baru itu menyebabkan harga minyak goreng di pasar terlalu tinggi sehingga memberatkan konsumen.
Baca juga: Minyak Goreng dan Wajah Kemanusiaan Kita
Tindakan hukum
Komisi VI DPR juga meminta Kementerian Perdagangan memastikan ketersediaan minyak goreng bagi masyarakat. Persoalan mafia dan spekulan minyak goreng harus ditangani atau ditindak tegas bersama Satgas Pangan Polri. Pemerintah juga tidak boleh kalah dengan korporasi-korporasi sawit dan minyak goreng yang tidak mematuhi kebijakan pemerintah.
Anggota Komisi VI DPR Andre Rosiade menuturkan, selama ini pemerintah kerap menyatakan ada kecurangan-kecurangan terkait dengan kelangkaan minyak goreng. Buktikan kecurangan-kecurangan itu, kejar para pelakunya dan tindak secara hukum.
”Begitu harga dilepas ke mekanisme pasar, barang (minyak goreng) sudah berlimpah sekarang. Artinya, ada penimbun yang sekarang menikmati kebijakan baru itu. Jadi, pemerintah memenangkan penimbun yang merugikan rakyat,” ujarnya.
Begitu harga dilepas ke mekanisme pasar, barang (minyak goreng) sudah berlimpah sekarang. Artinya, ada penimbun yang sekarang menikmati kebijakan baru itu. Jadi, pemerintah memenangkan penimbun yang merugikan rakyat.
Menurut Lutfi, Kementerian Perdagangan sudah berkerja sama dengan Satgas Pangan Polri untuk menindak para mafia, spekulan, penimbun, dan penyelundup. Kementerian Perdagangan telah mengantongi data dan bukti tersebut dan menyerahkannya ke Polri untuk diproses secara hukum.
Ada tiga kasus yang akan diumumkan tersangkanya oleh Polri. Pertama adalah kasus dugaan menjual minyak goreng subsidi ke industri menengah ke atas. Kedua kasus dugaan minyak goreng curah yang dioplos dan dikemas menjadi minyak goreng premium. Ketiga kasus dugaan penyelundupan minyak goreng ke luar negeri.
“Kami mendapatkan informasi Polri akan mengumumkan tersangka masing-masing kasus itu pada Senin pekan depan,” kata dia.
Baca juga :
- Perusahaan yang Ekspor Minyak Goreng Kemasan di Jakarta Ditindak
- 2.300 Liter Minyak Goreng Dikemas Ulang dan Dijual Mahal di Depok
Sementara terkait tudingan pemerintah kalah terhadap pengusaha, Lutfi menyangkalnya. Pemerintah tidak menyerah kalah kepada para pengusaha, karena pemerintah telah menaikkan batas atas pungutan ekspor CPO dan produk turunnya dari 1.000 dollar AS per ton menjadi 1.500 dollar AS per ton. Selain itu, dengan harga CPO dunia di atas harga ambang batas 750 dollar AS per ton, bea keluar ekspor CPO yang dikenakan sebesar 200 dollar AS per ton.
Melalui kebijakan itu, total pungutan ekspor dan bea keluar yang semula 375 dollar AS per ton akan naik menjadi 575 dollar AS per ton. Jadi ada kenaikan sebesar 200 juta dollar AS per ton. Kalau dikalikan dengan sekitar 34 juta ton ekspor CPO, total nilai pungutan ekspor dan bea keluar itu bisa mencapai hampir 6,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 110 triliun
“Jadi kalau ada yang mengatakan pemerintah menyerah ke pengusaha, saya katakan secara mutlak, pemerintah tidak ada yang mengikuti pengusaha. Melalui kebijakan itu setidaknya mereka harus membayar 6,8 miliar dollar AS untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Saya jamin saya tidak bisa diatur oleh para pengusaha,” ujarnya.
Lutfi mengakui, kesalahan pemerintah pada saat membuat kebijakan DMO waktu itu adalah tidak memperhitungan dengan cermat imbas konflik Rusia-Ukraina terhadap kenaikan harga komoditas, termasuk CPO. Namun, ia memastikan tidak akan menyerah oleh mafia atau spekulan di tengah terjadinya lonjakan harga sejumlah komoditas pangan.
“Saya berjanji akan bekerja setengah mati untuk memastikan terjadi keadilan yang baik,” kata dia.
Baca juga : Mengurai ”Keruh” Minyak Goreng