Sejumlah langkah yang ditempuh pemerintah dinilai belum berhasil mengatasi problem minyak goreng. Setelah aturan HET dicabut, minyak goreng tersedia melimpah di pasar, tetapi harganya melonjak tinggi.
Oleh
Hendriyo Widi
·6 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menteri Perdagangan M Lutfi (tengah) tiba di Gedung DPR untuk mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/3/2022). Rapat kerja ini membahas harga komoditas serta kesiapan dalam stabilisasi harga dan pasokan barang kebutuhan pokok menjelang Ramadhan dan Lebaran.
JAKARTA, KOMPAS — Selain ketentuan tentang harga eceran tertinggi minyak goreng kemasan, pemerintah mencabut kebijakan kewajiban memasok kebutuhan pasar di dalam negeri atau DMO minyak sawit mentah dan olein. Pemerintah juga menaikkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya untuk menambah dana kelolaan sawit yang akan digunakan untuk menyubsidi minyak goreng curah.
Kedua kebijakan itu merupakan langkah lanjutan pemerintah setelah memutuskan untuk menyubsidi minyak goreng curah menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dengan langkah itu, pemerintah dinilai kalah menghadapi pasar dan korporasi besar.
Hal itu mengemuka dalam rapat kerja Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kementerian Perdagangan yang digelar secara hibrida di Jakarta, Kamis (17/3/2022). Rapat dihadiri Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga.
Lutfi mengatakan, pemerintah telah mencabut kebijakan DMO minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan olein. Dengan demikian, persetujuan ekspor untuk kedua komoditas itu tidak diperlukan lagi. Regulasi pencabutan itu tengah disiapkan dan segera diundangkan, kemudian diterbitkan.
Menurut Lutfi, kebijakan DMO sebenarnya berjalan baik karena sudah terkumpul sekitar 720.612 ton CPO dan olein. Dari jumlah itu, sekitar 76,4 persen atau 551.069 ton CPO dan olein atau setara 570 juta liter minyak goreng sudah didistribusikan. Dampaknya, harga rata-rata minyak goreng kemasan turun 18,9 persen dari Rp 20.797 liter pada Januari 2022 menjadi Rp 16.965 per liter pada Maret 2022, sementara minyak goreng curah turun 10,1 persen dari Rp 17.726 per liter menjadi Rp 15.583 per liter.
”Pemerintah mencabut kebijakan itu lantaran ada disparitas yang tinggi antara harga CPO dunia dan domestik akibat imbas konflik Rusia-Ukraina. Selain itu, ada juga indikasi praktik mafia yang menghambat distribusi minyak goreng sampai ke masyarakat,” ujarnya.
Menurut Lutfi, para mafia ini telah menimbun minyak goreng serta menyalurkan CPO dan olein ke industri-industri yang tidak berhak. Mereka juga menyelundupkannya ke luar negeri. Mereka memanfaatkan situasi dan menggunakan cara curang itu lantaran pemerintah telah mengintervensi pasar.
Sementara terkait dengan subsidi minyak goreng curah, Lutfi menjamin dana dari BPDPKS akan cukup. Pemerintah telah memutuskan menaikkan batas atas pungutan ekspor CPO dan produk turunannya dari semula 1.000 dollar AS per ton menjadi 1.500 dollar AS per ton. Saat ini pemerintah juga tengah membuat regulasinya untuk segera diundangkan dan diterbitkan.
Selain itu, dengan harga CPO dunia di atas harga ambang batas 750 dollar AS per ton, bea keluar ekspor CPO yang dikenakan sebesar 200 dollar AS per ton. Dengan begitu, total pungutan ekspor dan bea keluar yang semula 375 dollar AS per ton akan naik menjadi 575 dollar AS per ton.
”Jadi, ada kenaikan sebesar 200 juta dollar AS per ton. Kalau dikalikan dengan sekitar 34 juta ton ekspor CPO, total nilai pungutan ekspor dan bea keluar itu bisa mencapai hampir 6,8 miliar dollar AS. Hal itu akan membuat eksportir lebih memilih menjual CPO di dalam negeri daripada luar negeri sehingga kebijakan DMO tidak diperlukan lagi,” ujarnya.
Sejumlah anggota Komisi VI DPR menilai Kementerian Perdagangan gagal mengintervensi pasar minyak goreng di dalam negeri dan tidak tegas menindak korporasi-korporasi besar yang mengendalikan pasar dan harga minyak goreng.
Anggota Komisi VI DPR, Mufti Anam, berpendapat, Kementerian Perdagangan seperti macan ompong, terutama di hadapan produsen minyak goreng. Sejak Januari 2022, ada enam regulasi yang diterbitkan, tetapi tak satu pun berimplikasi positif terhadap kesejahteraan rakyat dan tidak mampu menyelesaikan persoalan minyak goreng.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Pedagang menunjukkan minyak goreng curah yang saat ini diburu pembeli setelah harga minyak goreng kemasan meroket tinggi hingga Rp 22.450 per liter di Pasar Petisah, Medan, Sumatera Utara, Kamis (17/3/2022). Harga meroket setelah ketentuan harga eceran tertinggi (HET) dicabut pemerintah untuk minyak goreng dalam kemasan. Untuk minyak curah, HET ditetapkan Rp 14.000 per liter.
”Kementerian Perdagangan telah gagal melindungi rakyat dari kenaikan harga minyak goreng dan tidak mampu menindak korporasi-korporasi yang diduga memainkan harga,” ujarnya.
Anggota Komisi VI lain, Andre Rosiade, menilai pemerintah kalah dengan pengusaha sawit dan minyak goreng karena mencabut kebijakan DMO dan HET dan menyerahkannya ke mekanisme pasar. ”Kalau pengusaha tak mau memenuhi ketentuan, cabut saja izinnya. Selama ini mereka telah menikmati keuntungan besar atas kenaikan harga CPO dan minyak goreng,” kata Andre.
Sementara anggota Komisi VI lainnya, Darmadi Durianto, menilai, pemerintah telah menyerah dengan tekanan oligarki yang menguasai ekonomi Indonesia. Oligarki itu ada di mana-mana, bukan hanya di pasar minyak goreng, beras, dan bawang putih. Oligarki ekonomi ini bahkan erat kaitannya dengan oligarki politik. ”Jadi, memang tidak mudah untuk mengurai persoalan minyak goreng. Apalagi harus menghadapi mafia-mafia minyak goreng, termasuk para penyelundup,” ujarnya.
Harga naik lagi
Di sejumlah daerah, minyak goreng kemasan ”mendadak” tersedia setelah pemerintah mencabut ketentuan HET minyak goreng kemasan, tetapi harganya melonjak tinggi. Di Kendari, Lampung, Makassar, Medan, Aceh, dan Sidoarjo, misalnya, minyak goreng kemasan dijual dengan harga Rp 20.000-Rp 50.000 per liter. Sebelumnya, meski stoknya di pasaran terbatas, minyak goreng kemasan premium dijual Rp 14.000-Rp 16.000 per liter, khususnya di ritel modern.
Di sejumlah daerah, minyak goreng kemasan mendadak tersedia setelah pemerintah mencabut ketentuan HET minyak goreng kemasan, tetapi harganya melonjak tinggi.
Di sejumlah minimarket di Tangerang Selatan, Banten, harga minyak goreng kemasan yang semula dibanderol Rp 14.000 per liter naik di kisaran Rp 20.000 hingga Rp 24.000 per liter. Di samping itu, stok minyak goreng di sejumlah minimarket juga mulai banyak.
Harga minyak goreng curah yang dijual di sejumlah warung sembako di daerah tersebut juga tinggi, yaitu di kisaran Rp 19.000-Rp 20.000 per kg. Harga tersebut jauh di atas HET baru minyak goreng curah yang ditetapkan Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg.
Secara terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuturkan, kebijakan baru yang digulirkan pemerintah ini di atas kertas atau secara umum lebih ramah pasar. Selama ini intervensi pemerintah pada pasar minyak goreng yang ditempuh dengan cara melawan pasar terbukti gagal total dan justru menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat.
Untuk itu, kebijakan baru tersebut diharapkan dapat benar-benar memperbaiki distribusi dan pasokan minyak goreng ke masyarakat dengan harga terjangkau. Namun, dari sisi kebijakan publik, YLKI sangat menyayangkan bongkar pasang kebijakan minyak goreng itu. ”Kebijakan itu terkesan coba-coba sehingga konsumen menjadi korbannya,” kata Tulus melalui siaran pers di Jakarta.
Terkait minyak goreng curah bersubsidi, YLKI juga meminta pemerintah memperketat pengawasan pendistribusiannya. Jangan sampai kelompok konsumen minyak goreng kemasan sederhana dan premium mengambil hak konsumen menengah bawah dengan membeli apalagi memborong minyak goreng curah bersubsidi yang harganya jauh lebih murah.
Tulus menyarankan agar pendistribusian minyak goreng sebaiknya bersifat tertutup atau by name by address sehingga subsidinya tepat sasaran. Selain itu, YLKI juga mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengusut tuntas dugaan kartel dan oligopoli dalam bisnis minyak goreng, CPO, dan sawit.
Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno menambahkan, pemerintah juga perlu mengawasi potensi penyalahgunaan minyak goreng curah bersubsidi. Minyak goreng curah itu rawan dioplos dan bahkan mudah dikemas untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi. ”Jika hal itu terjadi, lagi-lagi konsumen yang dirugikan,” ujarnya.