Berakhirnya Era Minyak Goreng Murah
Malaysia punya program COSS sejak 2016 sehingga masyarakatnya tidak resah dengan kenaikan harga minyak goreng. India meluncurkan program NMEO-OP per Agustus 2021 serta memangkas pajak impor CPO dan RBD ”palm olein”.

Seorang warga membawa 2 liter minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter dalam operasi pasar minyak goreng di Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, Senin (17/1/2022). Operasi pasar diperuntukkan bagi warga yang telah memiliki kupon pembelian yang dibagikan oleh perangkat RT/RW di kawasan padat penduduk tersebut
Hari-hari memperoleh minyak goreng murah mungkin tidak segera kembali dirasakan konsumen India. Kendati koreksi harga diperkirakan mulai terjadi pada Januari 2022, harga minyak goreng pada 2022 akan terus lebih mahal 25-30 persen ketimbang 2019.
”Harga dasar minyak goreng tidak akan turun di bawah 100 rupee per kilogram (kg) hingga 105 rupee per kg pada tahun ini. Pada 2019, harga rata-ratanya 75 rupee per kg,” kata Sandeep Bajoria, CEO of Sunvin Group, sebuah perusahaan konsultan di India (The Economic Times, 10 Desember 2021).
Pada 2021, harga minyak goreng sawit di India pernah tembus 200 rupee per kg atau sekitar Rp 38.510 per kg. India kesulitan mengendalikan harga minyak goreng sawit lantaran 56-60 persen kebutuhan bahan baku minyak goreng nabati di dalam negeri masih impor. Pajak impor minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang diterapkan juga sangat tinggi, yaitu 35,75 persen.
Harga dasar minyak goreng tidak akan turun di bawah 100 rupee per kilogram (kg) hingga 105 rupee per kg pada tahun ini. Pada 2019, harga rata-ratanya 75 rupee per kg.
Indonesia juga mengalami nasib serupa, bahkan lebih tragis ketimbang India. Pada 2021, Indonesia merupakan produsen CPO nomor satu di dunia karena memproduksi 58,3 persen CPO dari total produksi CPO dunia. Namun, Indonesia tidak mampu mengendalikan kenaikan harga CPO, bahkan harga minyak goreng sawit di dalam negeri melonjak tinggi.
Saat ini, rata-rata harga nasional minyak goreng curah, kemasan sederhana, dan premium berkisar Rp 18.000-Rp 20.000 per liter. Sebelumnya, minyak goreng itu bisa diperoleh dengan harga Rp 9.500-Rp 14.000 per liter.

Samrin menggoreng rempeyek di rumahnya yang berlokasi di Kelurahan Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, Senin (15/11/2021). Tingginya kenaikan harga minyak goreng yang hampir dua kali lipat dari harga normal memaksa Samrin memberhentikan lima pekerjanya supaya bisa memangkas biaya produksi. Harga minyak goreng yang biasanya Rp 145.000 per jerikan (isi 16,5 liter) saat ini naik menjadi Rp 295.000. Samrin baru saja kembali memulai usahanya setelah sempat terhenti akibat pandemi Covid-19. Baru saja usahanya mulai bangkit, kini Samrin dihadapkan pada tingginya harga minyak goreng yang menjadi bahan baku utama usaha rempeyeknya. Dalam sehari, Samrin menghabiskan 2 jeriken minyak goreng untuk membuat sekitar 1.000 keping rempeyek. Samrin menjual rempeyek per bungkus yang berisi 4 keping rempeyek seharga Rp 2.200.
Hal ini terjadi lantaran banyak pabrik minyak goreng sawit yang tidak terintegrasi dengan perkebunan dan industri kelapa sawit. Kondisi itu menyebabkan produsen minyak goreng membeli CPO sesuai dengan acuan harga internasional.
PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) atau Inacom mencatat, harga CPO hasil lelang pada 19 Januari 2022 menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah, yaitu mencapai Rp 15.000 per kg. Sementara sepanjang tahun lalu, harga CPO naik 34,65 persen dengan harga tertinggi Rp 14.950 per kg dan harga terendah Rp 8.875 per kg.
Pada tahun ini, konsumen di Indonesia juga bakal tidak menikmati harga minyak goreng murah pascaprogram minyak goreng satu harga atau bersubsidi berakhir. Pemerintah juga telah mengganti harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng dari semula Rp 11.000 per liter menjadi Rp 14.000 per liter. HET lama diganti lantaran masih berpatokan pada harga CPO global yang sekitar 600 dollar AS per ton atau 2.500 ringgit per ton.
Dengan HET baru itu, konsumen berarti mendapatkan harga minyak goreng Rp 3.000 lebih mahal daripada HET sebelumnya. Meski baru diberlakukan untuk enam bulan, HET baru itu diperkirakan akan bertahan lama mengingat harga CPO global diperkirakan masih akan bergejolak pada tahun ini hingga mencapai keseimbangan barunya.
Baca juga: Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Bakal Diubah Jadi Rp 14.000 Per Liter
Berbeda dengan Malaysia yang masyarakatnya masih bisa mendapatkan harga minyak goreng sawit dengan harga terjangkau, bahkan murah di tengah lonjakan harga CPO global. Negara tetangga Indonesia itu menyediakan minyak goreng sawit kemasan sederhana seharga 2,5 ringgit per kg atau Rp 8.557 per kg.
Pada 2021, Malaysia merupakan negara produsen CPO terbesar kedua setelah Indonesia. Produksinya sebesar 25,8 persen dari total produksi CPO dunia.

Pengendalian harga
Konsumen Malaysia dapat menikmati harga minyak goreng murah itu lantaran ada subsidi dari pemerintah. Pada tahun ini, Pemerintah Malaysia telah mengalokasikan dana subsidi 680 juta ringgit atau sekitar 162 juta dollar AS untuk menstandardisasi dan menstabilkan harga barang-barang kebutuhan pokok. Alokasi subsidi ini naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 528 juta ringgit.
”Dari besaran itu, 400 juta ringgit dialokasikan untuk menstabilkan harga minyak goreng,” kata Menteri Perdagangan Dalam Negeri dan Urusan Konsumen (MDTCA) Alexander Nanta Linggi dalam situs resmi MDTCA.
Pemerintah Malaysia sebenarnya telah memiliki Skema Stabilisasi Minyak Goreng (COSS) yang diampu Kementerian Perkebunan dan Komoditas (MPIC). COSS dirintis sejak 2006 saat harga CPO dunia melonjak tinggi.
COSS merupakan program subsidi minyak goreng yang bertujuan untuk meringankan beban biaya hidup konsumen. Subsidi ini hanya diperuntukkan bagi minyak goreng kemasan sederhana berkapasitas 1 kg yang dijual seharga 2,5 ringgit per bungkus. Pemerintah Malaysia tidak menyubsidi minyak goreng dalam kemasan botol dan kaleng serta yang berkategori premium.
COSS merupakan program subsidi minyak goreng yang bertujuan untuk meringankan beban biaya hidup konsumen. Subsidi ini hanya diperuntukkan bagi minyak goreng kemasan sederhana berkapasitas 1 kg yang dijual seharga 2,5 ringgit per bungkus.

Proses produksi minyak goreng di pabrik pengolah minyak sawit milik PT Smart di Kawasan Industri Marunda Center, Bekasi, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Pabrik ini mengolah minyak sawit menjadi beragam produk turunan, seperti minyak goreng, margarin, dan mentega, dengan kapasitas produksi 1.800 ton minyak sawit per hari. Produk yang dihasilkan selain dipasarkan di dalam negeri juga untuk ekspor ke sejumlah negara di Timur Tengah dan Eropa.
Langkah ini berbeda dengan Indonesia yang menyubsidi minyak goreng kemasan sederhana dan premium dalam rangka program minyak goreng satu harga. Kedua jenis minyak goreng itu sama-sama dibanderol seharga Rp 14.000 per liter.
Subsidi itu diberikan kepada perusahaan swasta yang memproduksi minyak goreng dan distributor yang menyediakan minyak goreng itu di daerah-daerah terpencil. Kementerian Perdagangan menyebutkan, subsidi yang digulirkan untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium dipatok sama Rp 3.000 per liter. Subsidi itu merupakan selisih harga keekonomisan minyak goreng yang senilai Rp 17.000 per liter dengan HET yang ditentukan pemerintah Rp 14.000 per liter.
Jumlah minyak goreng satu harga dan bersubsidi yang akan digelontorkan mencapai 1,5 miliar liter selama enam bulan ke depan. Dana subsidi dan biaya distribusi untuk daerah-daerah terpencil dialokasikan dari dana pungutan ekspor CPO yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) senilai Rp 7,5 triliun.
Selain itu, Indonesia mewajibkan eksportir CPO, refined bleached and deodorized (RBD) palm olein, dan used cooking oil (UCO) memenuhi kebutuhan bahan baku industri minyak goreng di dalam negeri. Mereka wajib melaporkan atau mencatatkan pemenuhan kebutuhan domestik itu untuk mendapatkan persetujuan ekspor.
Baca juga: Kebijakan Minyak Goreng Satu Harga dan Syarat Ekspor CPO Diterapkan

”Aatmanirbhar Bharat”
Sementara di India, untuk mengatasi lonjakan harga minyak goreng sawit, Pemerintah India menerapkan kebijakan jangka pendek, menengah, dan panjang. Kebijakan jangka pendek yang dilakukan India adalah memangkas pajak impor CPO sebesar 10-15 persen dan RBD palm olein dari 17,5 persen menjadi 12,5 persen hingga Maret 2022.
Untuk jangka menengah, India akan mengoptimalkan panen kelapa sawit pada Maret 2022 guna menutup sebagian kebutuhan bahan baku minyak goreng. Melalui kebijakan itu, mulai Maret 2022, konsumen di India diperkirakan akan mendapatkan keringanan harga 7-8 persen dari tingkat harga di pasar saat ini.
Program ini akan membantu petani sawit dan mewujudkan India sebagai Aatmanirbhar Bharat (negara yang mandiri).
Sementara untuk jangka panjang, India meluncurkan program National Edible Oil Mission-Oil Palm (NMEO-OP) pada Agustus 2021 yang bertujuan membangun kemandirian minyak nabati, terutama CPO. Investasi lebih dari 11.000 rupee crore atau sekitar 1,5 miliar dollar AS akan ditanggung pemerintah pusat sekitar 80 persen dan sisanya pemerintah setempat.
Melalui program itu, luas perkebunan sawit India yang saat ini sekitar 300.000 hektar ditargetkan bertambah menjadi 650.000 hektar pada 2026. Produksi CPO yang semula 90.000-100.000 per ton per tahun ditargetkan bisa menjadi 1,12 juta ton per tahun.
”Program ini akan membantu petani sawit dan mewujudkan India sebagai Aatmanirbhar Bharat (negara yang mandiri). Proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit ini dipusatkan di wilayah timur laut India, Andaman dan Kepulauan Nicobar,” kata Perdana Menteri India Narendra Modi. (REUTERS)
Baca juga :