”Lomba” Ketahanan Pangan Negara-negara Pengimpor Pangan
Tekanan lonjakan harga sejumlah komoditas pangan dunia membuat China dan India memperkuat ketahanan pangan. China akan fokus pada pengembangan tanaman biji-bijian, sedangkan India pada minyak sawit. Bagaimana dengan RI?
Pandemi Covid-19, bencana alam yang melanda sejumlah negara, dan konflik Rusia-Ukraina tengah mendera dunia. Transisi imbasnya sudah dan mulai dirasakan negara-negara produsen dan importir pangan.
Ketahanan pangan setiap negara untuk mengendalikan pasokan dan harga diuji. Negara-negara yang bergantung pada pangan impor, tertuma China dan India, telah mulai ”berlomba” menata kembali kebijakan ketahanan pangan. Bagaimana Indonesia?
Tak ingin terus bergantung pada impor pangan dan beberapa kali dihantam kenaikan harga komoditas pangan, China dan India memperkuat dan meggulirkan program ketahanan pangan. China akan berfokus pada pengembangan tanaman pangan biji-bijian, terutama kedelai dan jagung, sedangkan India pada budidaya kelapa sawit.
Tujuan kedua negara ini sama, yakni memperkuat ketahanan pangan. Selain mengurangi ketergantungan impor bahan baku pangan yang stok dan harganya kerap bergejolak, kedua negara ini ingin menjamin serapan tenaga kerja di wilayah perdesaan sekaligus mengurangi kesenjangan antara desa dengan kota.
China akan berfokus pada pengembangan tanaman pangan biji-bijian, terutama kedelai dan jagung, sedangkan India pada budidaya kelapa sawit.
Krisis ekonomi besar yang pernah terjadi tak hanya berimbas pada kondisi fiskal dan moneter, tetapi juga merong-rong ketahanan pangan negara importir pangan. Krisis moneter pada 1997-1998 dan keuangan global pada 2007-2008, serta krisis ekonomi akibat imbas pandemi yang telah berlangsung sejak 2000, memberi tekanan terhadap harga komoditas pangan global.
Saat ini, harga pangan dunia kian melambung tinggi. Indeks Harga Pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FFPI) berada di level tertinggi sepanjang masa. Minyak nabati, sereal, susu, dan daging mendominasi lonjakan harga.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Jumat (4/3/2022), merilis, FFPI pada Februari 2022 sebesar 140,7, naik 3,9 persen secara bulanan dan 20,7 persen secara tahunan. Angka tersebut berada di atas puncak FFPI pada Februari 2011 yang sebesar 137,6. Lonjakan indeks itu tidak terlepas dari kenaikan Indeks Harga Minyak Nabati yang juga membukukan rekor tertinggi.
Indeks Harga Minyak Nabati pada Januari 2022 berada di level 185,9 atau naik 25,28 persen secara tahunan. Kenaikan Indeks Harga Minyak Nabati itu terutama didorong oleh kenaikan harga minyak nabati, terutama minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan kedelai.
Baca juga : Harga Pangan Dunia Kian Melambung Tinggi
China di bawah Xi Jinping telah menegaskan komitmennya membangun ketahanan pangan berdasarkan Dokumen Nomor 1. Dokumen Nomor 1 yang merupakan cetak biru ketahanan pangan itu pertama kali digulirkan pada Februari 2021 oleh Menteri Pertanian dan Perdesaan China Tang Renjian.
Program itu merupakan lanjutan kebijakan China yang mampu meningkatkan produksi tanaman pangan biji-bijian, terutama gandum dan padi, selama 17 tahun berturut-turut. Kantor berita Xinhua pada 17 Oktober 2021 menyebutkan, dalam kurun waktu enam tahun saja, China telah memproduksi sejumlah komoditas pangan biji-bijian sekitar 650 juta ton.
Pada 2021, hasil panen gandum mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa, yaitu sebanyak 145,8 juta ton, naik 2,97 juta ton dari 2020. Adapun, produksi negara tersebut pada 2021 mencapai 28,02 juta ton, naik 723.000 ton dari 2020.
The Diplomat, majalah daring Asia-Pasifik yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, dalam artikelnya ”China’s Push to Advance Rural Revitalization”, 12 Februari 2022, menyebutkan, kebijakan ketahanan pangan China dalam Dokumen Nomor 1 mengarah pada revitalisasi pertanian dan perdesaan serta meningkatkan kesejahteraan petani.
Melalui dokumen itu, setiap provinsi diharapkan dapat meningkatkan hasil panen biji-bijian, terutama kedelai dan jagung, melalui modernisasi dan teknologi rekayasa genetika benih selama periode 2021-2025. China banyak memanfaatkan biji-bijian itu sebagai bahan baku industri makanan-minuman, seperti tahu, susu kedelai, dan kecap, serta bahan baku pakan ternak.
China sebenarnya negara produsen kedelai terbesar keempat dunia yang mampu memproduksi kedelai sekitar 16,4 juta ton per tahun. Namun, negara ini juga menjadi negara importir kedelai terbesar di dunia, karena sekitar 80 persen kebutuhan kedelai di dalam negeri dipenuhi dari impor. ”Negara Tirai Bambu” tersebut berkontribusi sekitar 60 persen dari total konsumsi kedelai dunia yang sebanyak 347 juta ton sepanjang periode 2018-2020.
Data Bea dan Cukai China menunjukkan, impor kedelai China pada 2021, terutama dari Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina, melonjak 13,3 persen secara tahunan menjadi 100,3 juta ton. Impor kedelai itu meningkat guna menopang program pemulihan peternakan babi di China setelah demam babi Afrika (ASF) yang merebak sejak Agustus 2018.
Tak mengherankan jika pada akhir 2025, China menargetkan memproduksi sekitar 23 juta ton kedelai, naik 40 persen dari tingkat produksi saat ini. Selain itu, China juga akan meningkatkan produktivitas tanaman biji-bijian lain, seperti kacang tanah dan rapeseed untuk menopang produksi minyak nabati dan kebutuhan minyak goreng yang kian meningkat.
Baca juga : Efek Kupu-kupu
Kemandirian CPO
Sama dengan China, India juga sangat bergantung pada impor minyak nabati. Di tengah tingginya harga CPO dunia saat ini, India kesulitan mengendalikan harga minyak goreng sawit lantaran 56-60 persen kebutuhan bahan baku minyak goreng nabati di dalam negeri masih impor.
Sepanjang dua dekade, impor minyak nabati India telah melonjak dari 4 juta ton menjadi 15 juta ton. Pada 2030, impornya diperkirakan bisa menyentuh 30 juta ton. India mengeluarkan devisa rata-rata 8,5 miliar dollar AS hingga 10 miliar dollar AS per tahun untuk mengimpor minyak nabati. Di saat harga minyak nabati dunia, nilai impor tersebut akan membengkak secara signifikan.
Untuk mengurangi ketergantungan itu, India meluncurkan program National Mission on Edible Oils-Oil Palm (NMEO-OP) pada Agustus 2021. Tujuan utama NMEO-OP India adalah membangun kemandirian minyak nabati, terutama CPO. Investasi sekitar 1,5 miliar dollar AS akan ditanggung pemerintah pusat sekitar 80 persen dan sisanya pemerintah setempat.
Melalui program itu, luas perkebunan sawit India yang saat ini sekitar 300.000 hektar ditargetkan bertambah menjadi 650.000 hektar pada 2026. Produksi CPO yang semula 90.000-100.000 per ton per tahun ditargetkan bisa menjadi 1,12 juta ton per tahun. Proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit ini dipusatkan di wilayah timur laut India, Andaman dan Kepulauan Nicobar.
Perdana Menteri India Narendra Modi menyatakan, program ini akan membantu petani sawit dan mewujudkan India sebagai Atmanirbhar Bharat (negara yang mandiri).
Baca juga : Berakhirnya Era Minyak Goreng Murah
Setali tiga uang, Indonesia juga terimbas kenaikan harga CPO dan kedelai dunia. Bedanya, Indonesia tidak mengimpor CPO. Indonesia merupakan produsen CPO nomor satu dunia, tetapi tidak dapat mengendalikan harga CPO sehingga berpengaruh terhadap lonjakan harga minyak goreng sawit di dalam negeri.
Yang dapat dilakukan Indonesia untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng adalah menjaga keberlanjutan stok bahan baku dan produksi minyak goreng di dalam negeri. Hal ini terutama bagi pabrik minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan industri sawit, lantaran mereka harus membeli CPO melalui lelang sesuai patokan harga internasional.
Indonesia kembali menggulirkan kebijakan domestic market obligation (DMO) CPO dan olein pada tahun ini. Kebijakan DMO merupakan kewajiban produsen atau eksportir untuk menjual sebagian hasil produksinya dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga internasional untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Kebijakan yang sama juga pernah diterapkan pada saat krisis moneter dan krisis finansial global.
Pada tahun ini, Kementerian Perdagangan RI menetapkan volume DMO CPO dan olein sebesar 20 persen, lalu dinaikkan jadi 30 persen per 10 Maret 2022, dari total volume setiap eksportir. Harga DMO CPO dipatok Rp 9.300 per kg dan olein Rp 10.300 per kg.
Baca juga : Dua "Jurus" Baru Atasi Problem Minyak Goreng
Swasembada pangan RI
Di sektor pangan lain, Presiden Joko Widodo pernah menyerukan program swasembada pangan padi, jagung, dan kedelai pada 2015. Untuk padi dan jagung, Indonesia terus meningkatkan produksinya. Indonesia juga berupaya tidak mengimpor jagung dan hanya mengimpor beras premium atau beras khusus pada 2020 dan 2021.
Namun untuk kedelai, impornya kian meningkat. Kebutuhan kedelai impor Indonesia memang masih sangat jauh dari China, yaitu 2 juta-2,5 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen dari kedelai impor itu untuk bahan baku tempe, 25 persen tahu, dan sisanya produk lain. Adapun rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia 2,8 juta ton per tahun dan pada 2022 ini diperkirakan naik menjadi 3 juta ton.
Baca juga : Kedelai dan Keledai
Begitu juga dengan gula dan daging sapi. Kebergantungan Indonesia terhadap kedua komoditas itu sangat besar. Pada 2022, pemerintah mengalokasikan impor gula mentah untuk bahan baku gula rafinasi dan konsumsi pada 2022 sebanyak 4,37 juta ton. Dari jumlah itu, alokasi impor gula mentah untuk bahan baku gula kristal rafinasi sebanyak 3,48 juta ton dan untuk gula kristal putih atau konsumsi sebanyak 891.627 ton.
Alokasi itu lebih tinggi dibandingkan tahun 2021. Waktu itu, impor gula mentah dialokasikan sebanyak 3,78 juta ton, terdiri dari 3,1 juta ton untuk bahan baku gula kristal rafinasi dan 680.000 untuk gula kristal putih.
Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di dalam negeri, Pemerintah Indonesia menambah alokasi impor selain dari swasta. Pada 2022, pemerintah telah meminta Bulog dan badan usaha milik negara (BUMN) yang lain untuk mengimpor 100.000 ton daging kerbau beku dan 20.000 ton daging sapi beku pada tahun ini. Total kuota impor daging pada 2022 telah ditetapkan sebesar 266.065 ton, lebih rendah dari realisasi impor daging 2021 yang sebanyak 284.277 ton.
China dan India terus meningkatkan kemandirian pangan untuk mengurangi ketergantungan dari komoditas-komoditas impor. Sementara Indonesia lebih memilih menggeber proyek-proyek infrastruktur dan pembangunan ibu kota negara baru, meski telah memiliki program Lumbung Pangan (Food Estate). Selain beras, program Lumbung Pangan juga akan diarahkan pada pengembangan budidaya kedelai lokal dengan melibatkan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
China dan India terus meningkatkan kemandirian pangan untuk mengurangi ketergantungan dari komoditas-komoditas impor. Sementara Indonesia lebih memilih menggeber proyek-proyek infrastruktur dan pembangunan ibu kota negara baru meski telah memiliki program Food Estate.
Indonesia juga memiliki program pendampingan dan peningkatan produktivitas pangan berbasis pembiayaan dan pemasaran, yaitu program Makmur. Program yang digulirakan Kementerian BUMN ini sebenarnya juga bisa menyasar pada pengembangan budidaya kedelai dan sapi lokal. Apalagi program ini melibatkan ID Food atau Holding BUMN Pangan yang bergerak, antara lain, di sektor perdagangan, pertanian, perikanan dan peternakan, serta logistik.
Baca juga : Orkestrasi Hulu Hilir Pangan
Indonesia juga kini telah memiliki Badan Pangan Nasional. Badan ini diharapkan dapat mengorkestrasi keberhasilan program swasembada pangan agar ketahanan pangan Indonesia semakin kuat dan berdaya tahan tinggi.
Economist Impact mencatat, Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index/GFSI) Indonesia pada 2021 berada di posisi ke-69 dari 113 negara. Pada 2019 dan 2020, GFSI Indonesia masing-masing berada di peringkat ke-62 pada 2020 dan ke-65 pada 2019.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta berpendapat, Badan Pangan Nasional punya pekerjaan rumah yang besar karena ketahanan pangan Indonesia masih rendah. Untuk indikator GFSI Indonesia pada 2021, seperti keterjangkauan pangan, kualitas, dan pengelolaan sumber daya alam dan resiliensi, nilainya masih rendah.
”Hal ini menunjukkan, masalah terbesar ketahanan pangan Indonesia adalah keterjangkauan di mana masyarakat harus membelanjakan rata-rata 56 persen dari pengeluaran mereka untuk membeli makan, lebih tinggi dari Singapura 20 persen, Malaysia 21 persen, dan Thailand 26 persen,” ujarnya.
Baca juga : Menanti Duet Badan Pangan Nasional dan BUMN Pangan