Agaknya, kedelai Indonesia akan selalu menjadi keledai yang jatuh di lubang yang sama sampai dua kali atau bahkan berkali-kali kendati janji mulia swasembada kedelai telah bergaung sejak 2014.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Perajin kedelai yang akan digunakan untuk produksi tempe di sentra produksi tempe Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta Pusat, untuk pertama kalinya setelah mogok produksi, Minggu (3/1/2021). Sejumlah produsen tahu dan tempe di Jabodetabek menggelar aksi mogok pada 1 hingga 3 Januari 2021 sebagai bentuk protes melonjaknya harga kedelai impor yang mencapai Rp 9.500 per kilogram dari harga normal Rp 7.200 per kilogram.
Para produsen tahu dan tempe di Indonesia mogok produksi pada 1-3 Januari 2021. Mereka menggelar aksi serentak tersebut karena harga kedelai impor naik dari harga normal Rp 6.500-Rp 7.000 per kilogram menjadi Rp 9.000-Rp 10.000 per kilogram. Alhasil, awal tahun baru ini, tahu dan tempe susah didapat.
Asosiasi produsen tahu dan tempe di sejumlah daerah, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, meminta pemerintah menstabilkan kembali harga kedelai impor. Mereka meminta keran impor kedelai ditambah. Mereka bahkan meminta wewenang impor kedelai dari importir swasta dikembalikan lagi kepada Perum Bulog.
Merespons persoalan itu, Kementerian Perdagangan (Kememdag) menyatakan, stok kedelai di gudang Asosiasi Importir Kedelai Indonesia (Akindo) masih 450.000 ton. Stok kedelai tersebut cukup untuk tiga bulan ke depan dengan rata-rata kebutuhan per bulan 150.000-160.000 ton.
Oleh karena itu, Kemendag meminta para importir kedelai yang masih memiliki stok untuk memasok kebutuhan kedelai impor para produsen tahu dan tempe. Di sisi lain, impor kedelai masih belum bisa segera direalisasikan karena harga masih tinggi dan masih terbatasnya pengapalan global.
Pada 31 Desember 2020, rata-rata harga kedelai dunia tembus 13,11 dollar Amerika Serikat (AS) per gantang (27,2 kg) atau sekitar Rp 6.798 per kg. Rata-rata harga tersebut meningkat 37,65 persen dibandingkan tahun lalu yang sebesar 9,53 dollar AS per gantang.
Lonjakan harga tersebut sebenarnya mulai terjadi sejak awal 2020. Hal itu disebabkan oleh tiga faktor, yaitu pulihnya permintaan kedelai dari China, penurunan produksi akibat imbas La Nina di sejumlah negara produsen kedelai, dan imbas pandemi Covid-19. Namun faktor kuat lonjakan harga kedelai itu pada akhir tahun ini lebih karena lonjakan permintaan China.
Lonjakan harga tersebut sebenarnya mulai terjadi sejak awal 2020. Hal itu disebabkan oleh tiga faktor, yaitu pulihnya permintaan kedelai dari China, penurunan produksi akibat imbas La Nina di sejumlah negara produsen kedelai, dan imbas pandemi Covid-19.
Pada tahun pemasaran kedelai periode Oktober 2020-September 2021, permintaan China atas kedelai melonjak tinggi. Permintaan itu guna menopang program pemulihan peternakan babi di China setelah demam babi Afrika (ASF) yang merebak sejak Agustus 2018. Departemen Pertanian AS (USDA) memperkirakan permintaan kedelai pada periode tersebut kembali hampir mencapai 100 juta ton.
Hal ini mendorong kenaikan harga kedelai dunia sebesar 20-30 persen menjadi di kisaran 10 dollar AS-14 dollar AS per gantang. Pengaruh China terhadap harga kedelai ini tinggi karena Negara Tirai Bambu tersebut berkontribusi sekitar 60 persen dari total konsumsi kedelai dunia yang sebanyak 347 juta ton pada 2018-2020.
Langkah China membeli kedelai dari AS ini juga dalam rangka mengambil hati AS di era kepemimpinan Joe Biden. China ingin menunjukkan komitmen memperbaiki relasi dagang dengan AS pasca-Donald Trump lengser. Salah satunya adalah dengan merealisasikan perjanjian perdagangan fase pertama dengan AS untuk pembelian barang, energi, dan jasa senilai total 200 miliar dollar AS dalam kurun dua tahun. Hal itu termasuk komoditas pertanian AS senilai 80 miliar dollar AS.
Pembelian kedelai pada periode tahun pemasaran 2019-2020 dan kemudian berlanjut pada 2020-2021 merupakan salah satu bagian dari realiasi komitmen itu. Berkat permintaan kedelai tersebut, USDA memperkirakan nilai ekspor pertanian AS ke China pada November 2021 meningkat menjadi 152 miliar dollar AS dari Agustus 2021 yang sebesar 11,5 miliar dollar AS.
Dalam kurun 11 bulan tahun ini, total perdagangan AS-China diperkirakan 3,65 triliun yuan (558,4 miliar dollar AS). Mendekati nilai perdagangan kedua negara itu sebelum perang dagang pada 2017 yang sebesar 3,95 triliun yuan.
Berkat permintaan kedelai tersebut, USDA memperkirakan nilai ekspor pertanian AS ke China pada November 2021 meningkat menjadi 152 miliar dollar AS dari Agustus 2021 yang sebesar 11,5 miliar dollar AS.
Pada 2021-2026, tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun (CAGR) kedelai dunia diperkirakan 2 persen dengan total volume 373 juta ton. Impor kedelai Indonesia memang masih sangat jauh dari China, yaitu 2 juta-2,5 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen dari kedelai impor itu untuk bahan baku tempe, 25 persen tahu, dan sisanya produk lain. Adapun rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia sekitar 2,8 juta ton per tahun.
Agaknya kedelai Indonesia akan selalu menjadi keledai yang jatuh di lubang yang sama sampai dua kali atau bahkan berkali-kali kendati janji mulia swasembada kedelai telah bergaung sejak 2014.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2019, Indonesia mengimpor kedelai 2,67 juta ton dengan 2,51 juta ton di antaranya berasal dari AS. Sementara itu, produksi kedelai dalam negeri pada 2019 hanya 480.000 ton dan pada 2020 diperkirakan 420.000 ton. Produksi domestik ini sangat jauh berkurang dari era puncak swasembada kedelai nasional yang pernah tembus 1,8 juta ton pada 1992.
Selama impor kedelai tak kunjung berkurang, gejolak harga kedelai dunia akan terus menghantui harga kedelai di Indonesia. Agaknya, kedelai Indonesia akan selalu menjadi keledai yang jatuh di lubang yang sama sampai dua kali atau bahkan berkali-kali kendati janji mulia swasembada kedelai di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah bergaung sejak 2014.