Pemerintah menerapkan dua kebijakan baru, yakni kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik dan harga eceran tertinggi (HET) baru, untuk menjaga pasokan bahan baku dan menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah menerapkan kebijakan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri minyak sawit mentah atau CPO dan CPO olahan serta menetapkan harga eceran tertinggi baru untuk minyak goreng. Dua kebijakan itu diharapkan dapat menjaga pasokan bahan baku serta menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik atau domestic market obligation (DMO) itu berlaku untuk minyak sawit mentah (CPO) serta CPO olahan atau CPO yang telah mengalami proses pemucatan, penghilangan asam lemak bebas, dan bau (refined bleached and deodorized palm olein/RBDPO). Kuota DMO kedua produk itu ditetapkan 20 persen dari volume ekpor setiap eksportir, sementara harganya dipatok Rp 9.300 per kilogram untuk CPO dan Rp 10.300 per kilogram untuk RBDPO.
Pemerintah juga menetapkan harga eceran tertinggi (HET) baru bagi aneka jenis minyak goreng per 1 Februari 2022. HET minyak goreng curah ditetapkan Rp 11.500 per liter, sementara HET minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter dan HET minyak goreng premium Rp 14.000 per liter.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Kamis (27/1/2022), mengatakan, DMO itu wajib dipenuhi oleh setiap eksportir produk-produk tersebut. Kebijakan itu berlaku mulai 27 Januari 2022 hingga harga CPO global kembali normal.
Kebijakan minyak goreng satu harga seharga Rp 14.000 per liter, selama masa transisi hingga 1 Februari 2022, kata Lutfi, tetap berlaku. Hal ini mengingat penyediaan minyak goreng yang harganya disubsidi dengan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) itu masih membutuhkan waktu untuk penyesuaian manajemen stok di tingkat pedagang hingga pengecer.
“Kebijakan DMO dan HET baru itu diterapkan untuk menjaga pasokan bahan baku dan menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri dengan mempertimbangkan hasil evaluasi kebijakan minyak goreng satu harga,” kata Lutfi dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Kuota DMO kedua produk itu ditentukan sebesar 20 persen dari volume ekpor setiap eksportir dan harganya dipatok Rp 9.300 per kilogram untuk CPO dan Rp 10.300 per kilogram untuk RBDPO.
Kementerian Perdagangan mencatat, kebutuhan minyak goreng nasional pada tahun 2022 mencapai 5,7 juta kiloliter. Kebutuhan rumah tangga diperkirakan mencapai 3,9 juta kiloliter, terdiri dari 1,2 juta kiloliter minyak goreng kemasan premium, 231.000 kiloliter minyak goreng kemasan sederhana, dan 2,4 juta kiloliter minyak goreng curah. Adapun kebutuhan industri mencapai 1,8 juta kiloliter.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana menambahkan, akar persoalan dari kenaikan harga minyak goreng ini adalah kenaikan harga CPO global. Menurut dia, bahan baku minyak goreng ada, tetapi harganya tinggi.
Melalui kebijakan harga patokan DMO, pemerintah ingin memastikan harga bahan baku minyak goreng di dalam negeri bisa lebih terjangkau. Dengan demikian, harga minyak goreng di dalam negeri bisa lebih murah atau dapat mengacu pada HET baru yang ditetapkan oleh pemerintah.
“Kebijakan DMO ini tidak mengubah kebijakan pungutan ekspor dan bea keluar ekspor CPO dan produk turunannya,” kata Wisnu.
Sementara Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan menambahkan, pihaknya akan segera menerbitkan peraturan baru itu. Peraturan lama, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2022 dan Nomor 3 Tahun 2022 masih berlaku sebagai acuan syarat ekspor, serta klaim subsidi dan biaya distribusi minyak goreng satu harga di daerah-daerah terpencil.
Saat dihubungi usai telekonferensi pers, Lutfi mengatakan, kebijakan DMO tidak berlaku untuk eksportir minyak jelantah. Dalam kondisi seperti ini, ekspor minyak jelantah akan ditunda sementara waktu. Saat penundaan tersebut, Kementerian Perdagangan akan melobi Pertamina untuk menyerap minyak jelantah dalam negeri.
Saat ini, harga minyak jelantah juga tinggi dan volume ekspornya meningkat. “Kami khawatir minyak jelantah ini dioplos dengan minyak goreng kemasan atau terjadi pengalihan kode Harmonized System (HS) atau nomenklatur klasifikasi barang,” ujarnya.
Petani bisa dirugikan
Kebijakan tersebut menuai tanggapan dari berbagai kalangan. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono khawatir, kebijakan DMO akan turut menekan harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani.
Selama ini, 40 persen pasokan TBS nasional berasal dari petani. Jika harga patokan DMO CPO dan RBDPO lebih rendah dari harga global, harga TBS juga akan turun. “Saat ini, harga TBS di tingkat petani di kisaran Rp 3.000 per kilogram. Jika harga patokan DMO CPO Rp 9.300 per kilogram, harga TBS bisa jauh di bawah Rp 3.000 per kilogram,” ujarnya.
Saat ini, harga TBS di tingkat petani di kisaran Rp 3.000 per kg. Jika harga patokan DMO CPO Rp 9.300 per kg, harga TBS bisa jauh di bawah Rp 3.000 per kg.
Joko mengusulkan, ke depan, pemerintah tetap perlu membuat skema kebijakan subsidi minyak goreng dari dana BPDPKS. Dana subsidi itu bisa digulirkan khusus untuk penyediaan minyak goreng kemasan sederhana bagi rumah tangga dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang total kebutuhannya mencapai 2,4 juta kiloliter.
Selain itu, pemerintah juga perlu menata dan mengefisienkan kembali rantai distribusi minyak goreng di dalam negeri. Salah satunya dengan memetakan produsen-produsen minyak goreng di berbagai daerah.
Badan Pusat Statistik mencatat, secara nasional, margin perdagangan dan pengangkutan total (MPPT) tahun 2020 pada pola utama pendistribusian minyak goreng sawit mencapai 17,41 persen atau meningkat dari MPPT 2018 yang tercatat 17,05 persen. Peningkatan itu mengindikasikan kenaikan harga minyak goreng dari produsen hingga konsumen akhir sebesar 17,14 persen.
Pada tahun 2020, MPPT terendah menurut provinsi tercatat di Sumatera Barat yang memiliki tiga rantai distribusi, yakni dengan MPPT sebesar 10,43 persen. Adapun MPPT tertinggi berada di Papua yang memiliki empat rantai, yaitu dengan MPPT sebesar 37,26 persen.
Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani berpendapat serupa dengan Joko. Selain berpotensi menekan harga TBS di tingkat petani, kebijakan DMO dapat memicu harga CPO global tetap tinggi.
Kenaikan harga CPO global pada tahun lalu hingga awal tahun ini disebabkan oleh beragam faktor. Faktor-faktor itu antara lain kenaikan harga minyak mentah dan minyak nabati lain, ganguan pasokan di Malaysia di saat permintaan mulai meningkat, serta spekulasi harga.
“Rata-rata harga CPO global sapanjang tahun diperkirakan masih tinggi, yaitu sekitar 879 dollar AS per ton. Harga ini masih di atas harga psikologis CPO yang sebesar 600 dollar AS per ton,” kata Dendi.
Sementara itu, Ketua Umum Aosiasi Eksportir Minyak Jelantah Indonesia (AEMJI) Setiady Goenawan menyatakan, sejak Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2022 digulirkan pada 24 Januari 2022, izin ekspor sebanyak 13 perusahaan minyak jelantah belum diterbitkan. Padahal, mereka sudah terikat kontrak dengan pembeli, terutama dari Malaysia.
Ia mengaku selama ini tidak pernah diajak berkomunikasi dengan pemerintah terkait pengambilan kebijakan tersebut. Dalam waktu dekat ini, AEMJI akan melayangkan surat permohonan audiensi kepada Kementerian Perdagangan.