Indonesia telah memperkuat kelembagaan pangan, serta memiliki instrumen pemantauan dan pengendalian stabilitas stok dan harga yang sangat memedai. Masihkah Indonesia pada tahun ini keteteran mengendalikan lonjakan harga?
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
Tahun ini, kemampuan Indonesia mengendalikan lonjakan harga sejumlah komoditas di dalam negeri seharusnya bisa naik level. Di atas kertas, Indonesia telah memperkuat kelembagaan pangan, serta memiliki instrumen pemantauan dan pengendalian stabilitas stok dan harga yang sangat memadai.
Di sisi kelembagaan, Indonesia tak hanya memiliki Badan Pangan Nasional dan Perum Bulog, tetapi juga Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan dan Holding PT Perkebunan Nusantara. Kedua holding atau perusahaan induk itu bergerak di bidang pertanian, peternakan, perkebunan, pertambakan, perikanan, perdagangan, dan logistik dari hulu hingga hilir.
Instrumen stabilisasi pasokan dan harga komoditas juga ada. Instrumen itu mulai dari operasi pasar, cadangan pangan Bulog, sistem resi gudang, kewajiban pemenuhan pasar atau kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO), dan penetapan harga eceran tertinggi (HET).
Di atas kertas, Indonesia telah memperkuat kelembagaan pangan, serta memiliki instrumen pemantauan dan pengendalian stabilitas stok dan harga yang sangat memadai.
Terbaru, pemerintah akhirnya memutuskan menggunakan dana pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) untuk menyubsidi selisih harga minyak goreng kemasan sederhana di tingkat konsumen dengan pasar. Instrumen ini baru diterapkan pertama kali sejak BPDP KS ada pada 10 Juni 2015.
Pada tahun ini pula, pemerintah akan memulai penerapan Sistem Nasional Neraca Komoditas (Snank) pada 2022. Sistem ini akan menjadi referensi utama perumusan kebijakan pemerintah di bidang perdagangan, pangan, dan industri.
Snank (baca: senang), mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai dasar penerbitan persetujuan ekspor dan impor, acuan data produksi dan konsumsi domestik, serta acuan untuk mengembangkan industri nasional. Pada tahap pertama, neraca komoditas akan diberlakukan untuk komoditas beras, gula, garam, daging, serta produk perikanan dan kelautan.
Sejumlah daerah juga memiliki sistem pemantauan harga, produksi, dan distribusi. Provinsi Jawa Tengah, misalnya, memiliki SiHati, Sistem Informasi Harga dan Produksi Komoditi, sedangkan Jawa Timur punya SIPAP, Sistem Informasi Perdagangan Antar Provinsi yang mencerminkan pula perdagangan antarpulau.
Melalui SIPAP, neraca komoditas pokok antarprovinsi yang bekerja sama dengan Jawa Timur dapat diketahui secara periodik. SIPAP mencakup pula perkembangan harga di tingkat konsumen di 116 pasar dan harga bahan pokok di tingkat produsen di 34 lokasi di Jawa Timur secara seketika (real time).
Pada 2018, Kementerian Perdagangan menginisiasi pengadopsian SIPAP ke ranah nasional. Tujuannya mengembangkan perdagangan, khususnya bahan pokok, antarprovinsi dan pulau di seluruh Indonesia. Sistem itu juga membantu pemerintah memantau stok dan distribusi bahan pokok antarpulau dan daerah sehingga pengambilan kebijakan tentang bahan pokok antarprovinsi bisa semakin optimal.
Namun, Indonesia masih keteteran menjaga stabilitas stok dan harga pangan, terutama setiap kali periodisasi hari besar keagaamaan serta munculnya fenomena El Nino dan La Nina. Pada tahun lalu dan tahun ini, tantangan itu semakin berat.
Ada faktor lain yang membuat harga komoditas di dalam negeri naik, yaitu lonjakan harga sejumlah komoditas dan biaya logistik global. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, harga pangan dunia melonjak 28 persen pada 2021, mencapai level tertinggi dalam satu dekade.
Sepanjang 2021, rata-rata Indeks Harga Pangan FAO (FFPI) mencapai 125,7, tertinggi sejak 2011 yang kala itu sebesar 131,9. Komoditas pangan yang harganya melonjak tinggi, antara lain, aneka minyak nabati, termasuk minyak sawit, gandum, jagung, dan gula. Harga komoditas global itu naik lantaran keterbatasan stok dan hambatan distribusi, serta dampak cuaca.
Sepanjang 2021, rata-rata Indeks Harga Pangan FAO (FFPI) sebesar 125,7, tertinggi sejak 2011 yang kala itu sebesar 131,9.
Di Indonesia, penerapan sejumlah kebijakan pemerintah di bidang perpajakan dan energi mulai 2022 juga akan menyebabkan kenaikan harga dan akan berkontribusi terhadap inflasi. Beberapa kebijakan itu antara lain kenaikan cukai rokok, tarif listrik, dan elpiji nonsubsidi, serta pengalihan penggunaan bahan bakar minyak yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, ada juga rencana pengenaan pajak karbon dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen.
Lonjakan harga sejumlah komoditas dan biaya logistik global diperkirakan masih akan berlanjut hingga akhir tahun ini. Meskipun akan terkoreksi turun, harga dan biaya itu masih akan relatif tinggi. Kenaikan harga dan biaya itu bahkan sudah tertransmisi pada biaya produksi dan harga di tingkat konsumen.
Minyak goreng misalnya. Rata-rata nasional harganya pada pekan pertama Januari 2021 berkisar Rp 17.500 per liter hingga Rp 20.500 per liter. Lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri ini terjadi sejak Oktober 2021. Hal ini akibat imbas lonjakan harga CPO sepanjang 2021 yang di atas 1.000 dollar AS per ton dan mencapai titik tertinggi 1.390 dollar AS per ton pada Oktober 2021.
Pada 2022 ini harga CPO diperkirakan masih relatif tinggi. Dalam Konferensi Minyak Sawit Indonesia ke-17 dan Tinjauan Harga 2022, Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan harga CPO dunia berkisar 1.000-1.250 dollar AS per ton.
Kondisi tersebut membuat Kementerian Perdagangan akan mengoreksi harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sederhana dari Rp 11.000 per liter menjadi Rp 14.000 per liter. HET lama itu sudah tidak relevan lagi lantaran mengacu pada harga CPO global yang waktu itu di kisaran 600 dollar AS per ton.
Sekali lagi, lembaga, instrumen, dan sistem pengendali stok dan harga di Indonesia pada tahun ini sudah semakin kuat. Di tengah tantangan yang semakin berat dan belum pulihkan daya beli masyarakat, kolaborasi antarkementerian dan lembaga (K/L), bahkan swasta, guna merampungkan persoalan lonjakan harga dan kekurangan stok diuji.
Di tengah tantangan yang semakin berat dan belum pulihkan daya beli masyarakat, kolaborasi antar K/L, bahkan swasta, guna merampungkan persoalan lonjakan harga dan kekurangan stok diuji.
Kolaborasi dalam rangka menstabilkan lonjakan harga minyak goreng bisa menjadi model. Kolaborasi penyediaan 1,2 miliar liter minyak goreng kemasan sederhana bersubsidi seharga Rp 14.000 per liter itu melibatkan sejumlah K/L, industri minyak goreng, pengemasan, dan ritel modern. Kementerian BUMN melalui PT Industri Nabati Lestari, anak usaha Holding PTPN, berinisiatif menambah distribusi minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter tersebut.
Lembaga sudah ada, instrumen dan sistem juga telah tersedia. BUMN dan swasta juga telah terlibat membantu. Jika belum ada perbaikan pengendalian stok (termasuk produksi) dan harga pangan, ya berarti....