Kenaikan harga pangan dan energi serta biaya logistik mengerek inflasi. FAO menyebutkan, harga pangan global masih tinggi. Adapun OECD memperkirakan, tekanan inflasi akan bertahan lama, mulai akhir 2021 hingga 2023.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Harga pangan dunia terus melonjak dibarengi kenaikan harga energi dan biaya logistik. Inflasi atas kenaikan harga dan biaya itu bakal membayangi pemulihan ekonomi. Inflasi yang didorong oleh kenaikan biaya produksi dan distribusi atau Cost-push inflation perlu diwaspadai.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Kamis (2/12/2021), di Roma, Italia, melaporkan, Indeks Harga Pangan FAO (FFPI) pada November 2021 sebesar 134,4 persen. Indeks itu naik 27,3 persen dari November 2020 dan 1,2 persen dari Oktober 2021. Nilai indeks ini tercatat tertinggi sejak Juni 2011.
Komoditas yang paling besar kontribusinya terhadap kenaikan indeks itu adalah gandum dan susu. Selain itu, komoditas lain yang harganya masih naik atau stabil tinggi dan berpengaruh ke Indonesia antara lain kedelai, jagung, gula, dan minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Harga gandum berjangka Chicago tembus 8,1 dollar AS per gantang (27,2 kilogram) pada 30 November 2021, melonjak dari tiga pekan sebelumnya yang seharga 7,7 dollar AS per gantang. Sementara harga kedelai untuk pengiriman Januari 2022 naik 1,3 persen menjadi 12,44 dollar AS per gantang.
Harga jagung untuk pengiriman Maret 2021 juga naik 0,9 persen menjadi 5,76 dollar AS per gantang. Adapun harga CPO berjangka masih stabil tinggi kendati turun di kisaran 4.600-4.700 ringgit Malaysia per ton dan bergerak menjauh dari rekor tertinggi 5.220 ringgit Malaysia per ton.
Indeks Harga Pangan FAO pada November 2021 sebesar 134,4 persen. Indeks itu naik 27,3 persen dari November 2020 dan 1,2 persen dari Oktober 2021, serta tertinggi sejak Juni 2011.
FAO menyebutkan, lonjakan harga pangan itu disebabkan oleh cuaca ekstrem dan terhambatnya rantai pasok pangan akibat imbas pandemi Covid-19. Dalam laporannya pekan lalu bertajuk ”The State of Food and Agriculture 2021”, FAO menyatakan, jika jaringan transportasi utama terganggu, biaya pengeluaran makanan 845 juta orang di dunia akan meningkat.
Laporan itu juga mencatat, sebanyak 3 miliar orang di dunia tidak mampu membeli makanan sehat. Bahkan, 1 miliar orang diperkirakan berada dalam situasi serupa jika sepertiga pendapatan mereka berkurang.
”Pemerintah setiap negara di dunia perlu membuat sistem ketahanan pertanian dan pangan. Hal itu mencakup pula diversifikasi sumber, produksi, pasar, dan rantai pasokan pangan, serta jaringan distribusi yang kuat,” kata Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu melalui siaran pers.
Sementara itu, dalam OECD Economic Outlook: A Balancing Act, Desember 2021, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengingatkan, inflasi akan menjadi risiko utama selain pandemi Covid-19 dalam proses pemulihan ekonomi global. Tekanan inflasi telah muncul di semua sektor perekonomian, seperti gangguan di pasar energi dan pangan.
Lonjakan biaya logistik, serta harga komoditas dan energi, telah mendorong kenaikan harga di tingkat produsen dan konsumen. Hal itu terutama akan memukul rumah tangga berpenghasilan rendah.
”Tekanan inflasi diperkirakan lebih lama, yaitu mulai akhir 2021 hingga 2023. Pada akhir tahun ini, rata-rata inflasi semua negara anggota OECD diperkirakan sebesar 5 persen. Kemudian pada akhir 2022 diperkirakan turun menjadi 3,5 persen dan pada 2023 menjadi 3 persen,” kata Kepala Ekonom OECD Laurence Boone.
Tekanan inflasi diperkirakan lebih lama, yaitu mulai akhir 2021 hingga 2023.
OECD mencatat, inflasi Indonesia pada 2021 diperkirakan sebesar 1,7 persen. Pada 2022 dan 2023, inflasinya diproyeksikan meningkat masing-masing 2,8 persen dan 3,1 persen.
Sementara itu, tingkat inflasi di sejumlah negara mitra dagang Indonesia juga semakin tinggi. Pada Oktober 2021, tingkat inflasi di Amerika Serikat sebesar 6,2 persen, tertinggi sejak 30 tahun terakhir. Di waktu yang sama, China dan Uni Eropa mengalami inflasi masing-masing sebesar 1,5 persen dan 4,1 persen. Tingkat inflasi di Uni Eropa itu tertinggi sejak 13 tahun terakhir.
”Cost-push inflation”
Kenaikan harga pangan global, terutama CPO dan jagung, telah berimbas ke Indonesia. Indonesia yang merupakan negara pengimpor gandum dan gula juga bakal terimbas kenaikan harga dua komoditas dunia itu.
Sejak dua bulan terakhir, kenaikan harga minyak goreng berbahan baku CPO, serta telur dan daging ayam ras, merupakan komoditas yang berkontribusi besar terhadap inflasi di Indonesia. Pada November 2021, misalnya, tingkat inflasi nasional sebesar 0,37 persen.
Kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau mengalami inflasi sebesar 0,84 persen dengan andil terhadap inflasi sebesar 0,21 persen. Komoditas yang berkontribusi besar terhadap inflasi itu adalah minyak goreng (0,08 persen), telur ayam ras dan cabai merah (0,06 persen), serta daging ayam (0,02 persen).
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Mardani H Maming menilai, lonjakan inflasi global terjadi karena disrupsi produksi dan suplai komoditas yang diikuti dengan peningkatan harga. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat upaya pemulihan ekonomi berbagai negara, termasuk Indonesia.
Kenaikan tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan oleh kenaikan biaya produksi dan distribusi.
Saat ini, kenaikan tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan oleh kenaikan biaya produksi dan distribusi. Cost-push inflation ini harus dikendalikan agar tidak semakin menggerus daya beli. Sebab, kenaikan inflasi yang positif seharusnya berasal dari naiknya permintaan.
”Jika tingkat inflasi pada 2022 diperkirakan sekitar 3 persen, tetapi merupakan cost-push inflation, Indonesia justru akan menghadapi masalah baru. Pertumbuhan ekonomi menjadi tidak sehat dan para pengusaha muda akan sulit mengembangkan usaha,” ujar Mardani.