Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Bakal Diubah Jadi Rp 14.000 Per Liter
HET minyak goreng kemasan sederhana bakal diubah jadi Rp 14.000 per liter. Demi pengawasan dan antisipasi agar minyak goreng bersubsidi tidak dijual dengan harga lebih tinggi, kemasannya perlu dilabeli.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perdagangan akan mengubah harga eceran tertinggi atau HET minyak goreng kemasan sederhana di tingkat konsumen dari Rp 11.000 per liter menjadi Rp 14.000 per liter. Perubahan ini menyesuaikan harga minyak kelapa sawit mentah atau CPO dunia yang diperkirakan masih tetap tinggi pada tahun ini.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan, HET itu akan berlaku permanen untuk menggantikan HET sebelumnya. HET lama diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Penentuan HET lama mengacu pada harga CPO global yang waktu itu di kisaran 600 dollar AS per ton.
”HET lama perlu diubah karena sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang,” kata Oke ketika dihubungi Kompas di Jakarta, Kamis (6/1/2022).
Sebelumnya, pada akhir Oktober 2021, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) meminta HET minyak goreng kemasan sederhana dinaikkan lantaran lonjakan harga CPO global serta peningkatan biaya produksi. GIMNI meminta HET minyak goreng itu dapat naik menjadi Rp 15.600 per liter.
Saat ini, harga CPO global masih di atas 1.300 dollar AS per ton. Hingga akhir tahun nanti, harganya diperkirakan terkoreksi, tapi masih relatif tinggi. Dalam Konferensi Minyak Sawit Indonesia ke-17 dan Tinjauan Harga 2022, Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan harga CPO dunia berkisar 1.000 dollar AS per ton-1.250 dollar AS per ton.
HET lama perlu diubah karena sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang.
Lonjakan harga CPO dunia tersebut terkait ke harga minyak goreng di dalam negeri sejak Oktober 2021 sehingga harga minyak goreng naik bertahap. Hal ini terjadi lantaran masih banyak pabrik minyak goreng di Indonesia yang belum terintegrasi dengan perkebunan sawit dan produsen CPO sehingga mereka membeli CPO sesuai harga CPO dunia.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kemendag, per 5 Januari 2022, rata-rata nasional harga minyak goreng curah Rp 18.000 per liter, naik dari hari sebelumnya yang sebesar Rp 17.900 per liter. Sementara harga minyak goreng kemasan sederhana masih tetap Rp 18.500 per liter.
Untuk mengendalikan lonjakan harga minyak goreng, pemerintah menggulirkan dua program pengendalian. Pertama, menggulirkan 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana nonsubsidi dengan harga terjangkau Rp 14.000 per liter sejak November 2021. Selisih harga pada minyak goreng kemasan sederhana nonsubsidi ditanggung produsen.
Pendistribusiannya bekerja sama peritel modern, dan pemerintah daerah, baik melalui 45.000 toko ritel maupun dengan operasi pasar atau pasar murah di lokasi-lokasi yang ditentukan pemerintah daerah. Per 5 Januari 2022, penyalurannya telah mencapai 4 juta liter, sedangkan sisanya akan terus digulirkan.
Kedua, pemerintah akan menggelontorkan 1,2 miliar liter minyak goreng kemasan sederhana bersubsidi seharga Rp 14.000 per liter di pasar-pasar tradisional yang dipantau Kemendag selama enam bulan ke depan mulai akhir pekan depan. Dana subsidi beserta Pajak Pertambahan Nilai (PPN)-nya itu dialokasikan senilai Rp 3,6 triliun dari dana pungutan ekspor CPO yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengapresiasi upaya pemerintah mengendalikan harga minyak goreng. Pilihan pemerintah menggulirkan minyak goreng dalam kemasan sederhana itu tepat, ketimbang menyubsidi minyak goreng curah.
Selain ada jaminan standardisasi dan kesehatan, pengawasan pendistribusian minyak goreng kemasan akan lebih mudah. Kalau yang digelontorkan minyak goreng curah, ada kekhawatiran bakal dioplos dengan minyak jelantah.
”Akan tetapi, pemerintah perlu melabeli kemasan minyak goreng bersubsidi itu, baik yang memuat keterangan bahwa minyak goreng itu bersubsidi maupun harga yang diberlakukan di tingkat konsumen, yaitu Rp 14.000 per liter. Kalau tidak, minyak goreng bersubsidi itu rawan diperdagangkan dengan harga yang lebih tinggi,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Bhima, pemerintah harus memastikan agar pendistribusian minyak goreng bersubsidi bisa sampai ke masyarakat kelas menengah bawah. Karena, merekalah yang paling terdampak lonjakan harga itu lantaran berpenghasilan rendah.
Pemerintah perlu melabeli kemasan minyak goreng bersubsidi itu, baik yang memuat keterangan bahwa minyak goreng itu bersubsidi maupun harga yang diberlakukan di tingkat konsumen, yaitu Rp 14.000 per liter.
Bhima juga berpendapat, harga CPO dunia diperkirakan masih akan tinggi sepanjang tahun ini kendati akan terkoreksi secara bertahap. Harga yang masih tinggi itu menjadi daya tarik produsen CPO untuk mengekspor CPO. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan tidak hanya menjaga stabilitas harga minyak goreng, tetapi juga pasokan bahan bakunya.
”Pemerintah bisa menerapkan kebijakan kewajiban pemenuhan pasar atau kebutuhan domestik (domestic market obligation/DMO) CPO, baik kuota maupun patokan harga domestik. Dengan begitu, pasokan dan harga CPO untuk industri minyak goreng bisa terjaga,” katanya.
Oke menuturkan, dalam pendistribusian minyak goreng bersubsidi itu, pemerintah dan BPDPKS melibatkan 70 industri minyak goreng dan 225 industri pengemasan minyak goreng. Untuk mempermudah pengawasan, pemerintah akan meminta produsen dan industri pengemasan melabeli minyak goreng bersubsidi itu.
Terkait dengan DMO CPO, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi sebelumnya menyatakan, selama ini eksportir CPO telah dikenai bea keluar senilai 183 dollar AS per ton dan pungutan ekspor 175 per ton untuk harga CPO di atas 1.000 dollar AS per ton. Oleh karena itu, pemerintah lebih memilih menstabilkan harga minyak goreng dengan menggunakan dana BPDPKS (Kompas, 15 Desember 2021).