Jab dan ”Hook” Perdagangan
Pertumbuhan inflasi yang berkualitas bagi pertumbuhan ekonomi adalah yang berasal dari naiknya permintaan, bukan lantaran tekanan atau berbagai pukulan yang menekan produksi dan distribusi (”cost-push inflation”).
Belum sepenuhnya pulih dari pukulan uppercut pandemi Covid-19, perdagangan global kembali menerima jab dan hook beruntun. Kenaikan biaya logistik lintas samudra atau negara yang masih belum terkendali dan harga pangan global yang semakin tinggi mulai menggoyang perdagangan sejumlah negara.
Imbasnya semakin dirasakan Indonesia. Lonjakan biaya logistik antarpulau dan harga produk pangan olahan yang dapat memicu kenaikan inflasi sudah di depan mata. Indonesia perlu lebih berhati-hati, tidak jemawa di saat neraca perdagangannya surplus selama 17 bulan berturut-turut.
Badan Pusat Statistik mencatat, sepanjang sembilan bulan terakhir ini atau pada periode Januari-September, neraca perdagangan Indonesia surplus 25,07 miliar dollar AS. Capaian ini jauh lebih besar dari surplus pada periode sama 2020 yang sebesar 13,35 miliar dollar AS. Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja positif ekspor nasional yang ditopang kenaikan harga atau siklus super (supercycle) komoditas, seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan batubara.
Namun, perlu diingat kondisi perdagangan masih jauh dari normal dan penuh ketidakpastian. Pandemi Covid-19 masih membayangi dan disertai dengan sejumlah pukulan yang membuat tantangan pemulihan sektor perdagangan semakin berat. Berbagai pukulan itu antara lain kenaikan biaya pengapalan kontainer lintas samudra (ocean freight), kelangkaan kontainer dan ruang kapal, serta lonjakan harga pangan.
Lonjakan biaya logistik antarpulau dan harga produk olahan pangan yang dapat memicu kenaikan inflasi sudah di depan mata.
Biaya pengapalan lintas samudra meningkat dua hingga lima kali lipat dari kondisi sebelum pandemi Covid-19. Kondisi itu dibarengi dengan kelangkaan kontainer dan keterbatasan ruang kapal peti kemas sehingga menyebabkan banyak penundaan pengiriman sejumlah komoditas atau produk unggulan Indonesia, seperti makanan-minuman, mebel dan kerajinan, alas kaki, serta tekstil dan produk tekstil.
Pemerintah Indonesia bersama pemangku kepentingan terkait berupaya mengatasi persoalan itu dengan menyediakan kontainer dan ruang kapal. Bahkan, kalau diperlukan, kapal curah dapat disulap sebagai kapal pengangkut produk-produk ekspor tersebut.
Namun, solusi atas persoalan itu justru menimbulkan masalah lain. Biaya pengapalan kontainer antarpulau di dalam negeri turut melonjak. Misalnya, biaya pengapalan Jakarta-Medan naik 46 persen dari Rp 8,75 juta per kontainer menjadi Rp 12,8 juta per kontainer dan Jakarta-Makassar naik dari kisaran Rp 12 juta-Rp 14 juta per kontainer menjadi Rp 15 juta-Rp 20 juta per kontainer.
Baca juga :
Pukulan lain yang mulai menggoyang perdagangan sejumlah negara adalah kenaikan harga komoditas pangan. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) melaporkan, Indeks Harga Pangan pada September 2021 sebesar 130 atau naik 32,8 persen secara tahunan. Indeks tersebut merupakan angka tertinggi sejak 10 tahun terakhir dan kenaikan indeks di atas 100 itu sudah terjadi selama 11 bulan terakhir atau per Oktober 2020.
Lonjakan indeks itu didorong kenaikan harga serealia, terutama gandum, beras, dan jagung, serta minyak nabati, seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO). Bahan pangan lain yang harganya juga masih tinggi adalah kedelai dan gula.
Di satu sisi, Indonesia dapat memetik keuntungan dari kenaikan harga CPO dan batubara. Hal ini seiring dengan lonjakan permintaan sejumlah negara yang tengah mengalami krisis energi, terutama China dan India.
CPO misalnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat, volume ekspor CPO Indonesia ke India melonjak dari 231.200 ton pada Juli 2021 menjadi 958.500 ton pada Agustus 2021. Begitu juga ekspor CPO ke China, volumenya naik dari 522.200 ton pada Juli 2021 menjadi 819.200 ton pada Agustus 2021.
”Cost-push inflation”
Di sisi lain, Indonesia harus menanggung beban kenaikan harga bahan baku pangan impor yang dibutuhkan, terutama oleh industri makanan-minuman. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menyebutkan, harga bahan baku pangan impor, seperti gandum, beras, dan gula, bahkan pewarna dan pengawet makanan, naik 20-30 persen.
Baca juga : Kenaikan Harga Pangan dan Krisis Energi Perlambat Pertumbuhan
Kenaikan harga pangan dan bahan baku pangan impor serta biaya logistik akan berpengaruh terhadap kenaikan harga pangan olahan. Faktor lain yang akan memengaruhi kenaikan harga produk makanan-minuman itu adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun depan. Gapmmi berencana menaikkan harga pangan olahan itu pada awal 2022 di kisaran 5-10 persen.
Dalam World Economic Outlook edisi Oktober 2021 ”Recovery During a Pandemic: Health Concerns, Supply Disruptions, and Price Pressures” yang dirilis pada 13 Oktober 2021, Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan, kenaikan biaya logistik, pangan dan bahan baku pangan, serta krisis energi akan menyebabkan kenaikan inflasi. Setiap negara yang terimbas diharapkan dapat mengendalikan inflasi agar tidak menyebabkan kerawanan pangan, menambah beban pengeluaran rumah tangga miskin, dan berisiko menyebabkan kerawanan sosial.
Setiap negara yang terimbas diharapkan dapat mengendalikan inflasi agar tidak menyebabkan kerawanan pangan, menambah beban pengeluaran rumah tangga miskin, dan berisiko menyebabkan kerawanan sosial.
Penanganan pandemi Covid-19 yang masih belum merata di berbagai negara, ditambah dengan berbagai pukulan lain yang menyertainya itu, membuat IMF mengoreksi pertumbuhan ekonomi global pada 2021 menjadi 5,9 persen dari sebelumnya 6 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga direvisi dari 3,9 persen menjadi 3,2 persen.
IMF juga merevisi proyeksi indeks harga konsumen atau inflasi di negara-negara berkembang, dari semula 5,4 persen menjadi 5,5 persen pada 2021. Adapun inflasi di Indonesia pada 2021 diperkirakan masih rendah, yaitu sebesar 1,6 persen, dan akan meningkat menjadi 2,8 persen pada 2022.
Baca juga : Rantai Pasokan Dunia dan Inflasi
Proyeksi inflasi tersebut masih terbilang rendah dan mengindikasikan daya beli masyarakat masih lemah. Pandemi Covid-19 yang berimbas pada pemutusan hubungan kerja dan pengurangan jam kerja telah menyebabkan penghasilan masyarakat turun.
Pertumbuhan inflasi yang berkualitas bagi pertumbuhan ekonomi adalah yang berasal dari naiknya permintaan, bukan lantaran tekanan atau berbagai pukulan yang menekan produksi dan distribusi.
Sekali lagi, lonjakan harga pangan impor dan kenaikan biaya pengapalan kontainer sudah terjadi dan bakal berimbas pada inflasi hingga akhir tahun ini. Pada tahun depan, kedua persoalan itu, ditambah dengan kenaikan PPN, dapat memicu kenaikan harga pangan, termasuk pangan olahan. Jika hal itu terjadi tanpa disertai perbaikan penghasilan atau daya beli masyarakat, laju pemulihan ekonomi bakal masih lambat.
Pertumbuhan inflasi yang berkualitas bagi pertumbuhan ekonomi adalah yang berasal dari naiknya permintaan, bukan lantaran tekanan atau berbagai pukulan yang menekan produksi dan distribusi (cost-push inflation). Tanpa antisipasi dan strategi mengatasi cost-push inflation dan perbaikan penghasilan, kombinasi jab dan hook (semoga tidak disertai uppercut) bisa menambah lebam ”wajah” masyarakat dan ekonomi kita.
Baca juga kolom penulis: