Daya beli masyarakat yang mulai membaik dibayangi inflasi yang diperkirakan naik tahun ini seiring kenaikan harga komoditas serta kebijakan pemerintah di sektor perpajakan dan energi. Inflasi bisa menggerus daya beli.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah indikator menunjukkan perbaikan daya beli masyarakat. Namun, peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengonsumsi itu mulai dibayangi inflasi yang diperkirakan tinggi tahun ini karena lonjakan harga pangan dan energi global. Inflasi juga akan dipengaruhi sejumlah kebijakan sektor perpajakan dan energi yang akan diterapkan tahun ini.
Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (3/1/2022), merilis, tingkat inflasi pada Desember 2021 mencapai 0,57 persen dan sepanjang 2021 sebesar 1,87 persen. Kontribusi terbesar inflasi itu berasal dari kenaikan harga komoditas kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau. Kelompok pengeluaran itu mengalami inflasi sebesar 1,61 persen dan andilnya terhadap inflasi 0,41 persen.
Komoditas yang dominan memberikan andil inflasi tersebut adalah cabai rawit sebesar 0,11 persen, minyak goreng 0,08 persen, dan telur ayam ras 0,05 persen. Selain itu, ada pula daging ayam ras yang berkontribusi terhadap inflasi sebesar 0,03 persen dan cabai merah 0,02 persen.
Hal itu tecermin pula dari tingkat inflasi menurut komponen harga yang bergejolak dan bahan makanan. Pada Desember 2021, inflasi komponen harga yang bergejolak sebesar 2,32 persen dan bahan makanan 2,15 persen.
Di tengah inflasi pangan yang cukup tinggi itu, perbaikan daya beli masyarakat juga mulai terjadi. Hal itu terindikasi dari inflasi komponen inti Desember 2021 dan sepanjang 2021 yang masing-masing sebesar 0,16 persen dan 1,56 persen.
”Meningkatnya inflasi komponen inti itu mengindikasikan kemampuan masyarakat membeli berbagai komoditas yang dibutuhkan ada perbaikan. Ini berarti daya beli masyarakat mulai menggeliat,” kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (3/1/2022).
Meningkatnya inflasi komponen inti itu mengindikasikan kemampuan masyarakat membeli berbagai komoditas yang dibutuhkan ada perbaikan. Ini berarti daya beli masyarakat mulai menggeliat.
Margo juga menyebutkan, indikator lain yang menunjukkan perbaikan daya beli adalah nilai tukar petani (NTP). Pada Desember 2021, NTP petani sebesar 108,34, meningkat 1,08 persen dibandingkan dengan November 2021. Komoditas yang berkontribusi besar terhadap kenaikan NTP itu adalah gabah, cabai rawit, kelapa sawit, dan jagung.
Untuk kelapa sawit, misalnya, harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang masih bertengger di atas 1.000 dollar AS per ton menyebabkan harga minyak goreng melonjak di kisaran Rp 17.900-Rp 20.000 per liter. Namun, di sisi lain, kenaikan harga CPO itu juga membuat harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani tinggi.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung menuturkan, kenaikan harga CPO dari 2020 hingga akhir 2021 mencapai 68 persen. Kenaikan harga CPO itu berimplikasi pada kenaikan harga TBS dalam rentang 2020-2021, dari rata-rata Rp 1.821,91 per kilogram menjadi Rp 2.595,75 per kg. Bahkan, di Provinsi Riau, harga TBS yang memecahkan rekor nasional dengan titik tertinggi mencapai Rp 3.500 per kg (Kompas, 31 Desember 2021).
Kepala Departemen Riset Industri dan Regional Kantor Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani berpendapat, inflasi terjadi lantaran lonjakan harga bahan pangan dan kenaikan biaya produksi pangan olahan. Hal ini tidak terlepas dari imbas kenaikan harga sejumlah komoditas global, seperti CPO, jagung, batubara, dan gas.
Beberapa waktu lalu, para pengusaha yang terimbas kenaikan harga bahan baku dan energi menahan diri untuk menaikkan harga-harga produknya. Dengan mempertimbangkan kondisi usahanya yang tertekan selama pandemi Covid-19 dan melihat adanya perbaikan daya beli masyarakat, mereka langsung menaikkan harga produk-produknya.
Menurut Dendi, perbaikan daya beli masyarakat memang tengah terjadi. Hal ini terindikasi dari permintaan dan belanja yang mulai menggeliat, serta NTP tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, bahkan peternakan.
”Namun, yang perlu dicermati adalah perbaikan daya beli itu dibarengi dengan lonjakan sejumlah harga pangan dan energi. Perbaikan daya beli masyarakat itu akan semakin tertekan jika pemerintah benar-benar menerapkan sejumlah kebijakan di sektor perpajakan dan energi,” katanya.
Sejumlah kebijakan itu antara lain kenaikan tarif listrik dan elpiji nonsubsidi, pengalihan penggunaan bahan bakar minyak yang lebih ramah lingkungan, serta pengenaan pajak karbon dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kenaikan sejumlah harga komoditas global ditambah dan penerapan kebijakan itu akan tertransmisikan ke komponen-komponen penyumbang inflasi.
Kami memperkirakan komponen-komponen itu akan mengalami inflasi sebesar 1,02 persen pada 2022. Sementara itu, inflasi pada 2022, kami proyeksikan sebesar 3,3 persen.
Dendi menjelaskan, transmisi itu akan terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama, bakal memicu inflasi tarif listrik, premium, pertamax, solar, dan elpiji. Tahap kedua, akan merembet ke transportasi, logistik, harga pangan, dan jasa makanan-minuman.
”Kami memperkirakan komponen-komponen itu akan mengalami inflasi sebesar 1,02 persen pada 2022. Sementara itu, inflasi pada tahun 2022, kami proyeksikan sebesar 3,3 persen,” kata Dendi.
Saat ini saja, lanjut Dendi, lonjakan harga sejumlah komoditas global telah berpengaruh ke kenaikan harga sejumlah komoditas di dalam negeri, seperti minyak goreng, gas, serta telur dan daging ayam ras. Harga pangan olahan juga bisa meningkat jika kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen mulai diterapkan pada 1 April 2022.