Berkah Ekspor dan Kisah Seporsi Batagor
Ekspor komoditas memberikan bantalan kuat bagi pertumbuhan ekonomi 2021. Namun, kenaikan harga komoditas di pasar dunia juga memengaruhi harga kebutuhan di dalam negeri dan meninggalkan pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Kisah kinerja perdagangan luar negeri Indonesia sepanjang 2021 boleh dikatakan berujung happy ending. Sebaliknya, kisah kinerja perdagangan dalam negeri ditutup dengan keluh kesah pedagang batagor tentang tingginya harga minyak goreng.
Kisah happy ending perdagangan luar negeri itu tak lepas dari berkah siklus super (supercycle) komoditas atau kenaikan sejumlah harga komoditas ekspor, seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan batubara. CPO, misalnya. Bank Dunia menyebut, rata-rata harga CPO global pada Januari-Oktober 2021 telah mencapai 1.190 dollar AS per ton.
Harga tersebut jauh melebihi rata-rata harga CPO sepanjang 2020 yang sebesar 752 dollar AS per ton dan 2019 yang sebesar 601 dollar AS per ton. Hingga triwulan I-2022, harga rata-ratanya diperkirakan masih tinggi, yaitu 1.075 dollar AS per ton.
Kinerja positif itu diwarnai pula menguatnya ekspor produk-produk bernilai tambah dan berteknologi tinggi, seperti besi dan baja, elektronik, dan kendaraan bermotor. Hal ini merupakan buah dari investasi beberapa tahun belakangan ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-November 2021 surplus 34,32 miliar dollar AS atau Rp 492,42 triliun. Surplus neraca perdagangan itu hampir dua kali lipat dari surplus pada Januari-November 2020 yang sebesar 19,52 miliar dollar AS.
Pada Januari-November 2021, total nilai ekspor migas dan nonmigas mencapai 209,16 miliar dollar AS, lebih tinggi dari impor yang sebesar 174,84 miliar dollar AS. Nilai ekspor lemak dan minyak hewan/nabati, termasuk CPO, sebesar 29,68 miliar dollar AS, tumbuh 64,95 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2020.
Adapun bahan bakar mineral, termasuk batubara, nilai ekspornya pada Januari November 2021 sebesar 29,59 miliar dollar AS. Nilai ekspor tersebut tumbuh 90,52 persen dari periode sama tahun lalu.
Begitu juga dengan ekspor besi baja serta mesin dan perlengkapan elektrik yang nilainya masing-masing sebesar 18,62 miliar dollar AS dan 10,57 miliar dollar AS. Dibandingkan dengan periode yang sama 2020, ekspor kedua produk industri manufaktur itu masing-masing tumbuh 92,83 persen dan 27,99 persen.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), pada Januari-Oktober 2021, Indonesia telah mengekspor kendaraan bermotor dan suku cadangnya senilai 7,1 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, ekspor komoditas berteknologi tinggi itu ke Filipina sebesar 23 persen, Vietnam 10,5 persen, Thailand 10 persen, dan Jepang 7,6 persen.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi berpendapat, di tengah kenaikan harga sejumlah komoditas global, seperti batubara dan CPO, ekspor Indonesia memang masih didominasi kedua komoditas itu. Namun, ekspor Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini juga merupakan ekspor yang berkualitas.
”Kita sudah meningkatkan ekspor besi baja, elektronik, mobil, dan sepeda motor. Ke depan akan disusul dengan baterai listrik, kendaraan listrik, serta produk olahan timah, nikel, dan tembaga,” ujarnya.
Kita sudah meningkatkan ekspor besi baja, elektronik, mobil, dan sepeda motor. Ke depan akan disusul dengan baterai listrik, kendaraan listrik, serta produk olahan timah, nikel, dan tembaga.
Baca juga : Neraca Perdagangan Januari-November 2021 Surplus Rp 492,42 Triliun
Minyak goreng mahal
Berkah melimpah diterima oleh produsen CPO, besi baja, batubara, dan kendaraan bermotor. Namun tidak bagi rumah tangga, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan industri kecil menengah (IKM). Sejak tiga bulan terakhir mereka didera lonjakan harga minyak goreng.
Saat ini, harga minyak goreng, baik curah maupun kemasan sederhana dan premium, di rentang Rp 18.000 per liter-Rp 20.000 per liter. Harga itu jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah Rp 11.000 per liter. Lonjakan harga minyak goreng disebabkan oleh kenaikan harga CPO. Masih banyak produsen minyak goreng di Indonesia yang membeli CPO dengan harga lelang CPO global.
Burhan (37), pedagang batagor di Benda Baru, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, mengaku, mau tidak mau harus membeli minyak goreng kemasan sederhana Rp 20.000 per liter di warung terdekat. Kalau modalnya terbatas, ia sesekali membeli minyak goreng curah di pasar Rp 18.500 per liter.
Padahal, dulu Burhan bisa memperoleh minyak goreng kemasan sederhana paling mahal seharga Rp 13.000 per liter dan curah Rp 10.500 per liter. ”Pembeli masih sepi. Pendapatan juga belum kayak biasanya. Tapi, harga minyaknya mahal sekali. Mau kurangi porsi atau naikkan harga, ya enggak enak sama pembeli," ujar Burhan yang menjual seporsi batagornya Rp 5.000 dan Rp 10.000.
Pembeli masih sepi. Pendapatan juga belum kayak biasanya. Tapi, harga minyaknya mahal sekali.
Di tengah belum pulihnya daya beli masyarakat, kenaikan harga minyak goreng berkontribusi besar terhadap tingkat inflasi. Pada Oktober dan November 2021, andilnya terhadap inflasi kelompok pengeluaran makanan dan minuman masing-masing sebesar 0,05 persen dan 0,08 persen.
Untuk mengendalikan harga minyak goreng, Kemendag menggelontorkan minyak goreng kemasan sederhana sebanyak 11 juta liter dengan harga terjangkau Rp 14.000 per liter. Semula minyak goreng itu hanya didistribusikan di 45.000 gerai ritel modern, kemudian diperluas melaui operasi pasar dengan menggandeng pemerintah daerah.
Baca juga : Menggugat Kendali Harga Minyak Goreng
Kemendag juga berencana mengendalikan lonjakan harga minyak goreng menggunakan dana pungutan ekspor sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Hal itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Pasal 11 Ayat (2) dan (3).
Sasaran utamanya adalah rumah tangga dan UMKM/IKM. Dari 5,06 juta ton total kebutuhan minyak goreng secara nasional per tahun, kebutuhan minyak goreng curah rumah tangga sebanyak 2,12 juta ton dan UMKM/IKM 1,61 juta ton. Saat ini, Kemendag tengah mematangkan rencana itu dan menunggu izin dari Komite Pengarah penggunaan dana kelolaan sawit.
Tantangan
Selama harga CPO masih tinggi, kedua kisah ini, berkah ekspor dan seporsi batagor, masih akan berlanjut tahun depan. Namun, saat harga-harga komoditas ekspor itu mulai turun dan mencapai titik kesimbangan barunya, akhir dari kedua kisah ini akan berkebalikan.
Nilai ekspor bisa merosot, sedangkan nilai impor akan kembali tergenjot. Kisah klasik neraca perdagangan yang kerap didominasi defisit akan kembali terjadi. Namun, kisah klasik itu bisa lebih baik jika Indonesia mampu meningkatkan volume ekspor produk-produk bernilai tambah dan berteknologi tinggi.
Baca juga:
Implementasi sejumlah perjanjian dagang dan kemitraan komprehensif pada tahun depan juga perlu dikawal. Salah satunya adalah perjanian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP). Jangan sampai Indonesia sekadar menjadi pasar bagi negara-negara yang bergabung dalam kemitraan regional itu.
Indonesia juga diharapkan mampu mendulang investasi, terutama untuk menopang hilirisasi, industri penengah, dan manufaktur. Seiring dengan upaya dunia menekan laju perubahan iklim, perdagangan hijau menjadi tuntutan. Ekspor batubara pelan-pelan akan berkurang, sementara produk-produk yang tak menerapkan standar hijau terkena pajak yang lebih tinggi.
Baca juga : Perdagangan Global Mengarah pada ”Green Trade”
Dalam konteks pengendalian harga minyak goreng, pemerintah akan bernapas lega apabila harga CPO turun. Namun, selama harganya masih tinggi, pemerintah masih akan direpotkan dengan upaya mengendalikan harga minyak goreng. Subsidi harga minyak goreng, jika jadi dilakukan dengan dana kelolaan sawit, bisa berujung mengurangi porsi peremajaan, program B30, dan hilirisasi sawit.
Pemerintah juga perlu merancang sejak sekarang agar Indonesia yang merupakan produsen CPO dan minyak goreng terbesar di dunia tidak mengalami kondisi sama ke depan. Miris rasanya sebagai produsen terbesar, Indonesia tak bisa menjadi pemegang kendali harga CPO, bahkan kewalahan menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Siapkan diri kala kisah berkah siklus super berakhir. Matangkan rencana dan kebijakan agar kisah keluh pedagang batagor tak terulang kembali.
Baca juga: