jangan sampai Indonesia lupa dengan pekerjaan rumah di sektor perdagangan yang butuh sokongan sektor industri. Masalah klasik, kebergantungan dengan komoditas mentah dan belum optimalnya hilirisasi, masih menghantui.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
Ekonomi Indonesia tumbuh 7,07 persen pada triwulan II-2021. Terlepas dari lonjakan pertumbuhan berbasis penghitungan perbandingan data secara tahunan dengan triwulan II-2020 yang minus 5,32 persen, kinerja ekonomi Indonesia tetap ada perbaikan. Ekspor menjadi salah satu penopangnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, berdasarkan komponen pengeluaran, ekspor barang dan jasa pada triwulan II-2021 tumbuh 31,78 persen secara tahunan. Faktor utamanya adalah pulihnya ekonomi sejumlah negara mitra yang mendorong permintaan dan kenaikan harga sejumlah komoditas global, terutama minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan batubara.
Pertumbuhan positif ekspor tersebut juga tidak terlepas dari sejumlah terobosan yang dilakukan pemerintah, perusahaan swasta dan milik negara, serta diaspora Indonesia. Misalnya dengan mendorong ekspor ke sejumlah negara dan kawasan yang mulai pulih ekonominya, seperti China, Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Uni Eropa.
Ada juga terobosan baru, yaitu dengan mengembangkan skema kerja sama imbal dagang dari pemerintah untuk pemerintah (G-to-G) menjadi dari bisnis untuk bisnis (B-to-B). Hingga Agustus 2021, Kemendag telah menjajaki skema kerja sama itu dengan 35 negara. Dari jumlah itu, 10 negara menyambut baik dan dan siap menindaklanjuti inisiatif Indonesia. Ke-10 negara tersebut adalah Meksiko, Turki, Rusia, Afghanistan, Jerman, Belanda, Perancis, Filipina, India, dan Iran.
Indonesia bahkan sudah menandatangani nota kesepahaman kerja sama perdagangan berskema imbang dagang B-to-B dengan Meksiko dengan Rusia. Dengan Rusia, misalnya, komoditas Indonesia yang akan diimbaldagangkan, antara lain, batubara, karet, kopi, diesel, aluminium, alat kesehatan, bahan baku komestik, dan alat pelindung diri. Sementara itu, Rusia menawarkan jagung, kuaci, daging, bahan baku kertas dan kimia, serta tekstil.
Pertumbuhan positif ekspor tersebut juga tidak terlepas dari sejumlah terobosan yang dilakukan pemerintah, perusahaan swasta dan milik negara, serta diaspora Indonesia.
Dalam skema baru itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berduet dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendorong sejumlah perusahaan pelat merah mengungkit ekspor. Salah satunya PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI yang berperan sebagai badan pelaksana imbal dagang Indonesia.
Indonesia bahkan Skema ini terintegrasi dengan lembaga pembiayaan berbunga rendah, jaminan kredit, dan jasa logistik dengan margin nonkomersial. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk akan menyediakan berbagai pilihan pembiayaan berupa kredit modal kerja ataupun investasi.
BNI juga akan berperan sebagai sebagai bank pengelola escrow account atau penampung pembayaran eksportir dan importir. Sementara untuk jaminan kredit dan jasa logistik, pemerintah menggandeng PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) dan Kurhanz Trans.
Selain itu, Kemendag, Kementerian Luar Negeri, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, dan Sekolah Ekspor, menggeliatkan ekspor melalui diaspora Indonesia yang menjadi pengusaha di sejumlah negara. Para diaspora tersebut bergerak di sektor perdagangan, industri, ritel, logistik, pergudangan terintegrasi (warehouse), dan distribusi.
Baik kerja sama imbal dagang maupun diaspora, fokus utamanya diorientasikan bagi eksportir-eksportir baru, terutama dari kalangan usaha atau industri kecil menengah (UKM/IKM). Hal ini sejalan dengan upaya Kadin, Kementerian Koperasi dan UKM, dan Kementerian Perindustrian yang tengah memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk mencetak eksportir-eksportir baru dari kalangan UKM/IKM.
Upaya-upaya meningkatkan ekspor tersebut bukanlah tanpa tantangan dan hambatan. Tantangan utamanya adalah masih berlanjutnya pandemi Covid-19 di banyak negara akibat sejumlah varian baru virus korona penyebab Covid-19. Hal tersebut bisa berimbas pada pasang surutnya permintaan dari sejumlah negara, bahkan tidak menutup kemungkinan bagi negara-negara yang ekonominya mulai pulih.
Selain itu, skyrocketing atau meroketnya biaya logistik peti kemas atau kontainer yang terjadi sejak awal triwulan IV-2020 hingga kini. Biaya pengapalan itu melonjak dua hingga empat kali lipat dibandingkan sebelum pandemi. S&P Global Platts mencatat, per 2 Agustus 2021, tarif 6-12 bulan untuk kapal berkapasitas 8.500 kontainer (1 kontainer setara 20 kaki) sebesar 105.000 dollar AS, melonjak lebih dari 425 persen dari tahun lalu yang sebesar 20.000 dollar AS per hari.
Tantangan utamanya adalah masih berlanjutnya pandemi Covid-19 di banyak negara akibat sejumlah varian baru virus korona penyebab Covid-19. Hal tersebut bisa berimbas pada pasang surutnya permintaan dari sejumlah negara, bahkan tidak tertutup kemungkinan bagi negara-negara yang ekonominya mulai pulih.
Banyak eksportir Indonesia, terutama dari kalangan UKM/IKM, juga kerap kesulitan atau mengantre lama mendapatkan kontainer kosong. Banyak di antara mereka yang menunggu kontainer-kontainer kosong dari impor.
Belum lagi munculnya sejumlah hambatan perdagangan dari beberapa negara. Terbaru adalah tarkait Cross Border Carbon Tax atau aturan pajak karbon perdagangan lintas negara yang penerapannya dimajukan Uni Eropa (UE). Aturan ini berpotensi menghambat produk-produk Indonesia yang memiliki jejak karbon yang tidak sesuai standar UE. Aturan ini juga berpotensi menambah panjang perselisihan perdagangan RI-UE yang sebelumnya bersengketa soal hambatan sawit dan larangan ekspor nikel.
Tanpa mengabaikan berbagai tantangan itu, boleh dikata gerak dan kerja sama antar pemangku kepentingan terkait di sektor perdagangan ini cukup bagus sepanjang pandemi Covid-19. Namun, dengan catatan, Indonesia harus berhati-hati saat perdagangan global kembali pulih, booming harga komoditas telah mereda, dan impor mulai melonjak.
Jika benar terjadi, ketiga catatan itu akan membawa neraca perdagangan Indonesia seperti sebelum pandemi. Indonesia bisa kembali terengah-engah menggenjot surplus perdagangan. Pemerintah memang mengklaim bahwa Indonesia mulai berevolusi dari negara pengekspor bahan mentah dan setengah jadi menjadi pengekspor barang industri dan industri teknologi tinggi, seperti bei baja dan kendaraan bermotor.
Jangan sampai Indonesia lupa dengan pekerjaan rumah di sektor perdagangan yang membutuhkan sokongan dari sektor industri. Masalah klasik, kebergantungan dengan komoditas mentah dan belum optimalnya hilirisasi, masih menghantui.
Namun, jangan sampai Indonesia lupa dengan pekerjaan rumah di sektor perdagangan yang membutuhkan sokongan dari sektor industri. Masalah klasik, kebergantungan dengan komoditas mentah dan belum optimalnya hilirisasi, masih menghantui.
Banyak peluang ke depan yang perlu diseriusi sejak sekarang. Salah satunya adalah perlunya pengembangan hilirisasi logam mineral untuk bahan baku pembuatan cip, perangkat elektronik, dan komponen kendaraan listrik. Mari bersama menjaga ekspor agar kisah klasik di masa depan tak kembali terulang.