Neraca Perdagangan Januari-November 2021 Surplus Rp 492,42 Triliun
Kenaikan harga sejumlah komoditas global terus memacu kinerja positif ekspor dan neraca perdagangan Indonesia. Tak hanya itu, ekspor komoditas-komoditas bernilai tambah dan berteknologi tinggi juga terus meningkat.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-November 2021 surplus 34,32 miliar dollar AS atau Rp 492,42 triliun. Surplus neraca perdagangan pada Januari-November 2021 itu hampir dua kali lipat dari surplus pada periode yang sama tahun 2020 yang sebesar 19,52 miliar dollar AS.
Surplus tersebut tidak terlepas dari kinerja positif ekspor yang ditopang oleh lonjakan harga komoditas lemak dan minyak hewan/nabati, termasuk minyak kelapa sawit mentah, serta bahan bakar mineral, seperti batubara. Hal itu juga diikuti dengan lonjakan ekspor sejumlah komoditas bernilai tambah tinggi, seperti besi dan baja, serta mesin dan perlengkapan elektrik beserta bagiannya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari-November 2021, total nilai ekspor migas dan nonmigas mencapai 209,16 miliar dollar AS, lebih tinggi dari impor yang sebesar 174,84 miliar dollar AS. Lemak dan minyak hewan/nabati serta bahan bakar mineral berkontribusi terhadap ekspor masing-masing senilai 29,68 miliar dollar AS (15,08 persen) dan 29,59 miliar dollar AS (14,94 persen).
Ekspor lemak dan minyak hewan/nabati serta bahan bakar mineral itu masing-masing tumbuh 64,95 persen dan 90,52 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2020.
Begitu juga dengan ekspor besi dan baja serta mesin dan perlengkapan elektrik yang nilainya masing-masing sebesar 18,62 miliar dollar AS dan 10,57 miliar dollar AS. Dibandingkan dengan periode yang sama 2020, ekspor besi dan baja tumbuh 92,83 persen, sedangkan mesin dan perlengkapan elektrik 27,99 persen.
BPS juga mencatat, pada November 2021, neraca perdagangan Indonesia melanjutkan tren surplus selama 19 bulan berturut-turut. Surplus neraca perdagangan pada November 2021 sebesar 3,51 miliar dollar AS, lebih tinggi dibandingkan dengan surplus pada November 2020 yang sebesar 2,59 miliar dollar AS.
”Kinerja ekspor yang sangat positif ini tentu saja akan turut menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia,” kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam telekonferensi pers di Jakarta, Rabu (15/12/2021).
Kinerja ekspor yang sangat positif ini tentu saja akan turut menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sepanjang 11 bulan pada tahun ini, Indonesia mampu mencatatkan surplus neraca perdagangan nonmigas dengan sejumlah negara, misalnya dengan Amerika Serikat surplus 15,4 miliar dollar AS serta negara-negara di kawasan ASEAN (11,52 miliar dollar AS).
Indonesia juga mampu menekan lebar defisit neraca perdagangan nonmigas dengan China. Pada Januari-November 2021, defisit dagang Indonesia terhadap China sebesar 3,49 miliar dollar AS. Defisit ini lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada Januari-November 2020 yang mencapai 4,9 miliar dollar AS. Sepanjang periode 2015-2019, rata-rata defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap China senilai 15 miliar dollar AS.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memperkirakan defisit dagang Indonesia dengan China pada 2024 bisa nol atau zero defisit. Hal ini tidak terlepas dari ekspor Indonesia ke China yang mulai didominasi oleh produk bernilai tambah, seperti besi dan baja.
Lutfi juga meminta agar masyarakat tidak perlu khawatir dengan implementasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP). RCEP bukan perjanjian yang mengakomodasi kepentingan China dan dominasi China di dunia.
RCEP justru bisa menjadi penyeimbang kekuatan-kekuatan perdagangan global, seperti Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang diinisiasi AS. RCEP menempatkan ASEAN, termasuk Indonesia, sebagai pusat konektivitas kawasan yang akan berperan menggerakkan rantai pasok regional, bahkan global.
”Oleh karena itu, saya berharap Dewan Perwakilan Rakyat merampungkan ratifikasi Perjanjian RCEP sehingga dapat segera diimplementasikan pada Januari 2022. Hingga kini, lima negara mitra ASEAN, yakni Korea Selatan, Jepang, China, Australia, dan Selandia Baru, serta tujuh negara anggota ASEAN telah meratifikasi perjanjian itu,” ujarnya.
Lutfi juga mengatakan, impor yang dilakukan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini sekitar 90 persen merupakan bahan baku dan penolong. Ini merupakan barang-barang investasi untuk diproduksi kembali dan dapat menopang pertumbuhan ekspor nasional.
BPS mencatat, total nilai impor Indonesia pada Januari-November 2021 sebesar 174,84 miliar dollar AS. Dari total nilai itu, sebesar 131,75 miliar dollar AS (75,36 persen) merupakan impor bahan baku dan penolong serta 25,39 miliar dollar AS (14,52 persen) impor barang modal. Adapun sisanya merupakan barang konsumsi.
Lutfi juga menekankan, ekspor Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan ekspor yang berkualitas. Di tengah kenaikan harga sejumlah komoditas global, seperti batubara dan CPO, ekspor Indonesia memang masih didominasi kedua komoditas itu.
”Namun, urutan ketiga ekspor Indonesia ditempati oleh besi dan baja yang tumbuh di atas 70 persen. Kemudian ekspor kendaraan bermotor dan suku cadangnya juga tumbuh hampir 40 persen,” katanya.
Ekspor Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan ekspor yang berkualitas.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada Januari-Oktober 2021, Indonesia telah mengekspor kendaraan bermotor dan suku cadangnya senilai 7,1 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, ekspor komoditas berteknologi tinggi itu ke Filipina sebesar 23 persen, Vietnam 10,5 persen, Thailand 10 persen, dan Jepang 7,6 persen.
Hal itu juga merupakan hasil dari perjanjian perdagangan. Dengan Jepang, misalnya, ada komitmen dari perusahaan otomotif Jepang untuk mengimpor kendaraan yang diproduksi di Indonesia karena kapasitas produksi kendaraan di Indonesia lebih besar ketimbang di Jepang.
”Inilah yang dimaksud dengan pentingnya perdagangan berbasis rantai pasok. Hal itu tidak bisa terelakkan lagi,” ujarnya.