Implementasi RCEP, RI Memetik Untung atau Buntung?
RCEP bakal diimplementasikan awal 2022. Akankah perjanjian ini menguntungkan atau justru membuat buntung RI? Tak sekadar ketuk palu ratifikasi RCEP, RI juga perlu memiliki analisis dan strategi mengatasi risikonya.

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (23/9/2021).
Indonesia saat ini tengah merampungkan ratifikasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP. Pemerintah berkali-kali meminta Dewan Perwakilan Rakyat segera meratifikasinya paling lambat akhir Oktober 2021 agar bisa segera diimplementasikan pada awal 2022.
Indonesia menandatangani RCEP pada 15 November 2020 bersama sembilan negara anggota ASEAN dan China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, serta Australia. Lima negara, yaitu Singapura, Thailand, Myanmar, Jepang, dan China, telah menyelesaikan proses ratifikasi perjanjian itu.
Dengan pasar sebanyak 2,2 miliar orang—hampir 30 persen penduduk dunia—dan gabungan 26,2 triliun dollar AS atau 30 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia, RCEP menjadi kemitraan dagang terbesar di dunia.
Berbagai kalangan menilai, RCEP dapat semakin menggerakkan ekonomi global dan negara-negara yang menandatanganinya. Hal itu lantaran perjanjian tersebut tidak hanya mencakup perdagangan barang, tetapi juga perdagangan jasa, investasi, dan e-dagang.
Laporan Brookings Institution dan Universitas Johns Hopkins menyebutkan, RCEP dapat menambah pendapatan global hingga 209 miliar dollar AS per tahun. Perjanjian itu juga akan meningkatkan perdagangan global senilai 500 miliar dollar AS pada 2030.
Adapun laporan National University of Singapore menyebutkan, RCEP akan memperkokoh posisi China dalam memperluas pengaruh geopolitik ataupun menyusun aturan perdagangan di kawasan. RCEP akan memperkuat ambisi China mewujudkan integrasi ekonomi melalui perdagangan multilateral dan penguatan infrastruktur dalam programnya, Prakarsa Sabuk dan Jalan.
Baca juga:

Bagaimana dengan Indonesia? Berbagai kalangan juga memberikan pendapat yang berbeda. Di satu sisi, Indonesia bisa untung. Di sisi lain, Indonesia juga bisa buntung jika tidak mampu memberikan perlindungan terhadap pelaku usaha dan industri kecil menengah, produsen pangan kecil (petani, nelayan, dan peternak), serta buruh.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) memproyeksikan, lima tahun ke depan setelah RCEP diimplementasikan, ekspor nonmigas Indonesia meningkat 8-10 persen dan investasi 18-22 persen. Sebelum implementasi RCEP, bahkan di tengah pandemi Covid-19, tren ekspor nonmigas ke 14 negara anggota RCEP positif.
Pada periode 2016-2020, tren ekspor tersebut tumbuh 5,33 persen. Pada 2020, total nilai ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut mencapai 45,39 miliar dollar AS atau 54,12 persen dari total ekspor Indonesia ke dunia yang senilai 83,87 miliar dollar AS.
Indonesia dapat masuk ke dalam rantai pasok global (GVC) setelah terintegrasi dalam rantai pasok regional (RVC) RCEP.
Kemendag juga optimistis Indonesia dapat masuk ke dalam rantai pasok global (GVC) setelah terintegrasi dalam rantai pasok regional (RVC) RCEP. ”Indonesia juga telah memetakan sejumlah sektor potensial yang dapat masuk dalam RVC itu, seperti otomotif, peralatan medis, dan tekstil,” kata Direktur Perundingan ASEAN Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Dina Kurniasari, pekan lalu.
Baca juga : Tren Ekspor RI Ke 14 Negara Anggota RCEP Tumbuh Positif

Penandatanganan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) digelar secara daring, Minggu (15/11/2020).
Banjir impor
Namun, ada kekhawatiran dari sejumlah kalangan terhadap implementasi RCEP tersebut. Salah satunya dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi yang, antara lain, terdiri dari Indonesia for Global Justice (IGJ), GRAIN, Serikat Petani Indonesia, serta sejumlah peneliti dan praktisi hukum.
Menurut koalisi tersebut, RCEP dapat menyebabkan lonjakan impor, merugikan pelaku UKM/IKM dan produsen pangan, serta mengancam upaya perlindungan data pribadi konsumen dalam e-dagang dan transaksi pembayaran digital. Selain itu, era upah buruh rendah atau kurang layak akan semakin terlegitimasi melalui investasi-investasi yang masuk.
Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti mengatakan, produk impor, terutama yang didominasi China, akan semakin banyak masuk ke Indonesia. Sekitar 80 persen komoditas perdagangan Indonesia memiliki homogenitas dengan produk-produk China.
”Ini akan membuat Indonesia semakin tidak mudah bersaing dengan China yang (memiliki) tingkat efisiensi biaya produksi dan logistik sangat tingi. Apalagi dengan ditopang e-dagang, impor barang-barang konsumsi bisa semakin meningkat,” kata Rachmi dalam telekonferensi pers di Jakarta, Kamis (14/10/2021).
Baca juga : Jokowi dan Era ”Mr Hu”

Mengutip data Rashmi Banga et al, Global Development Policy Centre, Boston University, Rachmi menyatakan, produk-produk impor yang akan meningkat adalah tekstil dan pakaian jadi (22 persen), besi dan baja (19 persen), daging dan potongan daging lain (8 persen), serta tembaga dan barang turunan lain (7 persen).
Penelitian itu juga menghitung, RCEP akan menyebabkan negara-negara di ASEAN kehilangan 8,5 miliar dollar AS per tahun dalam neraca perdagangan barang mereka. ”Filipina dan Indonesia masing-masing akan rugi sekitar 260 juta dollar AS dan 150 juta dollar AS per tahun,” ujarnya.
Produk-produk impor yang akan meningkat adalah tekstil dan pakaian jadi (22 persen), besi dan baja (19 persen), daging dan potongan daging lain (8 persen), serta tembaga dan barang turunan lain (7 persen).
Peneliti GRAIN, Kartini Samon, menambahkan, lima negara yang bakal sangat diuntungkan oleh RCEP adalah Jepang, Selandia Baru, Australia, China, dan Korea Selatan. Neraca perdagangan barang Jepang akan tumbuh sangat signifikan, yakni 99 persen, dari 12,1 miliar dollar AS menjadi 24 miliar dollar AS. Begitu juga dengan China dan Korea Selatan, neraca perdagangan barangnya diperkirakan tumbuh masing-masing sebesar 3,5 persen dan 8 persen.
Baca juga : Banjir Impor Tekstil, Beranikah Indonesia Tekan China?
Menurut Kartini, impor dari negara-negara itu terutama berupa produk-produk pangan, seperti daging, gula, dan pangan olahan atau makanan-minuman. Hal ini akan berimbas pada pangan nasional yang persoalan ketahanan stoknya tengah diatasi pemerintah salah satunya melalui food estate.
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menjadi anggota RCEP akan lebih rentan dan butuh waktu lebih lama untuk pulih dari krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. ”RCEP bisa mempersempit ruang kebijakan untuk mengatasi krisis-krisis di masa depan akibat liberalisasi ekonomi yang tidak berlaku surut (non recession) yang diatur melalui ketentuan standstill dan mekanisme ratchet,” katanya.

Ketentuan standstill negara anggota RCEP diwajibkan semaksimal mungkin untuk konsisten dengan regulasi nasional yang sudah diselaraskan dengan RCEP. Negara tersebut dilarang mengubah kebijakan atau mengeluarkan peraturan baru yang tidak sesuai dengan isi perjanjian.
Adapun mekanisme ratchet berarti komitmen liberalisasi negara anggota RCEP diikat kuat sehingga tidak diperbolehkan untuk mengurangi level liberalisasinya. Artinya, negara tersebut tidak boleh mundur ke level liberalisasi yang lebih ketat dari yang telah ditetapkan sebelumnya.
Produsen pangan dan buruh
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Kampanye Hak Asasi Petani Serikat Petani Indonesia Afgan Fadhilah berpendapat, RCEP dapat menjadi ancaman serius bagi petani dan produsen pangan lain. Tentu saja hal ini tidak hanya terkait impor pangan yang dikhawatirkan akan semakin meningkat, tetapi juga menyangkut pertumbuhan investasi di kawasan.
Pertumbuhan investasi bisa mengancam kelestarian lahan abadi. Di sisi lain, korporasi pangan bermodal besar bisa semakin menggerus peran petani dan produsen pangan kecil lain.
”Petani di Indonesia di dominasi oleh petani gurem yang luasan lahannya sempit dan bermodal rendah. Mereka tidak akan mampu bersaing dengan korporasi pangan atau sistem pangan yang dikuasai pemodal-pemodal asing besar,” katanya.
Pertumbuhan investasi bisa mengancam kelestarian lahan abadi. Di sisi lain, korporasi pangan bermodal besar bisa semakin menggerus peran petani dan produsen pangan kecil lain.
Baca juga : Penetapan Lahan Pangan Berkelanjutan Perlu Dikawal untuk Cegah Konversi

Boneka gurita yang menyimbolkan gurita oligarki dibawa para buruh yang tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) saat menggelar aksi di depan Balai Kota Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (14/10/2021). Aksi tersebut untuk merespons satu tahun penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Tak hanya petani, Koalisi Masyarat Sipil untuk Keadilan Ekonomi juga mengkritisi imbas investasi di sektor RVC terhadap buruh. Negara-negara maju yang akan berinvestasi ini selalu mengincar sumber daya alam, kemudahan pajak, upah buruh murah, dan biaya produksi yang efisien.
Negara-negara ASEAN yang memenuhi persyaratan itu pasti akan menjadi pemenangnya. Hal ini akan membawa persaingan menjaring investor RVC menuju ke bawah (race to the bottom).
Menurut Rachmi, masyarakat kecil, terutama buruh, akan terkena imbasnya. Mereka tidak akan menikmati kenaikan upah yang sangat signifikan lantaran aturan-aturan pengupahan diubah.
”Syarat utama memfasilitasi iklim investasi adalah melalui deregulasi, khususnya terkait kebijakan upah dan efisiensi tenaga kerja. Indonesia sudah melakukannya dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Cipta Kerja yang kembali menjadikan buruh sebagai tenaga berupah murah dan fleksibel,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Rachmi, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi meminta DPR untuk tidak tergesa-gesa menyetujui permintaan pemerintah meratifikasi RCEP. DPR dan pemerintah juga diminta untuk membuat analisis risiko dan strategi pengendalian risiko dari pelaksanaan RCEP di aspek ekonomi, hak asasi manusia, sosial, dan lingkungan.
”Misalnya upaya konkret melindungi buruh dan produsen pangan kecil serta mengatasi serbuan produk-produk impor dengan instrumen nontarif yang tepat,” ujarnya.
Indonesia bisa saja memetik berbagai keuntungan dari implementasi RCEP. Namun, analisis dan strategi pengendalian risiko juga diperlukan. Tidak hanya sekadar ketuk palu tanpa memiliki tameng kuat untuk meredam imbas negatifnya.
Baca juga : Upah Minimum Layak
