Banjir Impor Tekstil, Beranikah Indonesia Tekan China?
Beranikah pemerintah menekan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) itu hingga 60 persen per tahun sesuai harapan pelaku industri TPT dalam negeri? Hal itu mengingat mitra dagang TPT Indonesia terbesar adalah China.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·5 menit baca
Kompas/Priyombodo
Pedagang kain menunggu pembeli di kios kain di kawasan Cipadu, Kota Tangerang, Banten, Selasa (17/9/2019). Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional menghadapi beragam tantangan. Mulai dari aspek regulasi, pembiayaan, biaya energi, logistik, produktivitas hingga serbuan tekstil impor ilegal. Dibutuhkan upaya untuk meningkatkan daya saing sektor industri tekstil nasional yang dapat memberi konstribusi lapangan kerja dan devisa.
JAKARTA, KOMPAS -- Impor tekstil dan produk tekstil dinilai berlebihan dan mengancam industri dalam negeri. Pemerintah akan melakukan safeguard atau tindakan pengamanan perdagangan agar industri tekstil dan produk tekstil yang ditetapkan sebagai industri prioritas itu tidak makin merugi.
Saat ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah menyelidiki lonjakan impor itu. Khususnya untuk komoditas kain, benang (selain benang jahit), dan tirai gorden.
Namun, beranikah pemerintah menekan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) itu hingga 60 persen per tahun sesuai harapan pelaku industri TPT dalam negeri? Hal itu mengingat mitra dagang komoditas TPT Indonesia adalah China yang juga pasar utama ekspor Indonesia.
Pelaku industri TPT dalam negeri menantang pemerintah. Mereka mengusulkan tindakan pengamanan perdagangan itu bisa dilakukan dengan pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) atau menetapkan harga per volume barang yang diimpor.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSYFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, penurunan impor TPT itu dapat tercapai jika BMAD menjadi acuan kebijakan tindakan pengaman perdagangan. Jika BMAD menjadi acuan, impor TPT tertekan hingga 60 persen.
"Dampaknya, TPT lokal dapat menguasai minimal 80 persen pasar dalam negeri. Saat ini, pasarnya TPT dalam negeri masih 50 persen," kata Redma saat dihubungi, Jumat (20/9/2019).
APSYFI mencatat, pemerintah telah menerapkan BMAD serat dan filamen sebesar 20 persen-21 persen mulai September tahun ini. BMAD yang dikenakan itu lebih tinggi dibandingkan bea masuk yang diterapkan sama terhadap negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (most favoured nation/MFN), yakni sebesar 5 persen.
Namun, APSYFI meminta agar tindakan pengaman bagi industri hilir, BMAD-nya jangan lebih rendah dari 20 persen-21 persen. Sebelumnya, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengajukan, pengenaan bea masuk tindakan pengamanan perdagangan untuk serat sebesar 2,5 persen, benang 5 persen-6 persen, kain 7 persen, dan garmen 15 persen-18 persen.
Selain BMAD, lanjut Redma, tindakan pengamanan perdagangan itu juga dapat berupa penentuan harga per volume impor. Kebijakan itu pernah diterapkan sekitar 8 tahun lalu.
Waktu itu, harga impor benang kapas ditentukan Rp 26.000 per kilogram (kg). Nilai ini setara dengan tambahan 70-80 persen dari harga aktual.
"Angka tersebut ditetapkan berdasarkan kajian pemerintah terhadap kerugian yang dialami pelaku industri dalam negeri akibat impor, pencegahan impor, dan pemulihan industri domestik," kata dia.
Penyelidikan impor
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Kemendag saat ini tengah menyelidiki lonjakan impor TPT. Penyelidikan tindakan pengamanan perdagangan yang dimulai sejak 18 September 2019 itu untuk menindaklanjuti permohonan API yang dilayangkan pada 12 September 2019.
Ada tiga komoditas tekstil yang akan diselidiki dalam rangka tindakan pengamanan perdagangan, yaitu kain, benang (selain benang jahit), dan tirai gorden. Negara pengimpor terbesar komoditas TPT itu adalah China.
“Dari bukti awal permohonan yang diajukan, KPPI menemukan adanya lonjakan volume impor tekstil. Selain itu, terdapat indikasi awal mengenai kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang dialami industri dalam negeri akibat dari lonjakan volume impor tersebut,” ujar Ketua KPPI Mardjoko.
KPPI menemukan adanya lonjakan volume impor tekstil. Selain itu, terdapat indikasi awal mengenai kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang dialami industri dalam negeri.
Untuk produk kain, KPPI akan menyelidiki 107 jenis kode pengklasifikasian produk perdagangan (Harmonized System/HS) delapan digit. Kemendag mencatat, volume impor kain meningkat sepanjang 2016-2018 dari 238.219 ton pada 2016 menjadi 413.813 ton atau sebesar 73,7 persen. Pangsa impor terbesar berasal dari China dengan nilai sebesar 61,42 persen pada 2016 dan 67,86 persen pada 2018.
Untuk komoditas benang (selain benang jahit), KPPI menyelidiki 6 jenis kode HS delapan digit. Peningkatan impor pada komoditas ini mencapai 108 persen selama tiga tahun terakhir, dari 10.036 ton pada 2016 menjadi 20.922 ton pada 2018. China menjadi negara asal impor yang mendominasi dengan pangsa sebesar 67,42 persen pada 2018.
Untuk tirai gorden dan perabotan rumah tangga berbasis tekstil, lonjakan impornya sebesar 509,7 persen sepanjang 2016-2018, yaitu dari 410 ton pada 2016 menjadi 2.500 ton pada 2018. China juga mendominasi pangsa impor komoditas ini dengan angka sebesar 90,53 persen pada 2018. Oleh sebab itu, KPPI akan menyelidiki 8 jenis kode HS delapan digit untuk kelompok komoditas ini.
Kompas
Sumber: Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia
Berdasarkan data yang dihimpun APSYFI, pertumbuhan konsumsi komoditas TPT secara nasional sebesar 5,7 persen sepanjang 2008-2018. Di sisi lain, pertumbuhan impor TPT berkisar 10,4 persen dalam periode yang sama. Hal ini mengindikasikan, pertumbuhan konsumsi dalam negeri dikuasai oleh banjirnya impor TPT.
Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia menunjukkan, dalam kurun waktu 10 tahun, 2008-2018, ekspor TPT tumbuh 3 persen dan impor TPT justru naik 10,4 persen. Dalam satu dekade tersebut, neraca perdagangan TPT tergerus dari 6,08 miliar dollar AS pada 2008 menjadi 3,2 miliar dollar AS pada 2018.
Gejala banjirnya impor juga tampak dari utilisasi atau perbandingan produksi riil terhadap kapasitas produksi pabrik TPT sepanjang semester-I 2019. Utilisasi pabrik serat turun menjadi 55 persen, benang 50 persen, kain 40 persen, dan garmen 70 persen.
Gejala banjirnya impor juga tampak dari utilisasi atau perbandingan produksi riil terhadap kapasitas pabrik. Utilisasi pabrik serat turun menjadi 55 persen, benang 50 persen, kain 40 persen, dan garmen 70 persen.
Insentif dan revitalisasi
Menurut Redma, tindakan pengamanan perdagangan dapat melindungi pasar dalam negeri dari serbuan TPT impor. Sembari melindungi, upaya pemulihan industri TPT juga mesti digencarkan.
"Produk TPT impor mesti disubtitusi oleh pemain domestik," kata dia.
Untuk langkah jangka menengah, lanjut Redma, APSYFI berharap utilisasi pabrik TPT dapat menyentuh angka 95 persen. Dengan begitu, neraca perdagangan TPT bisa kembali menjadi 7 miliar dollar AS.
Untuk mencapainya, pemerintah perlu memberikan insentif bagi setiap pelaku industri TPT, terutama yang di hilir. Pelaku industri TPT hilir selama ini telah memanfaatkan produk dalam negeri sebagai bahan baku.
Pelaku industri TPT juga mesti didorong untuk merevitalisasi dan memodernisasi mesin, sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Artinya, tindakan pengamanan perdagangan juga perlu dibarengi dengan upaya perbaikan dan peningkatan daya saing industri tekstil dari hulu ke hilir secara paralel.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Aktivitas produksi divisi garmen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (13/2/2019). Industri tekstil dan produk tekstil masih memiliki peluang luas di pasar dalam negeri maupun ekspor namun menghadapi tantangan efisiensi dan persaingan global.
Ketua Umum APSYFI Ravi Shankar berharap, industri tekstil dapat tumbuh secara berkelanjutan setelah tiga tahun pengenaan bea masuk sebagai bentuk tindak pengamanan perdagangan.
Upaya peningkatan daya saing tersebut salah satunya berupa perbaikan sektor-sektor pendukung industri tekstil dari hulu ke hilir. Contohnya, sektor energi, logistik, tenaga kerja, lingkungan, dan perbankan.
Sebelumnya, pemerintah pusat dan daerah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menelurkan bauran kebijakan dalam Rapat Koordinasi Pemerintah Daerah dan Pusat di Jakarta, Kamis (4/9/2019).
Sinergi kebijakan itu mengintegrasikan kebijakan moneter, fiskal, makroprudensial, nonfiskal, dan nonmoneter.
Sinergi kebijakan itu akan berfokus pada pengembangan produk industri otomotif, TPT, dan alas kaki. Enam langkah strategis dari bauran kebijakan telah disiapkan untuk mengakselerasi pertumbuhan industri manufaktur. Beberapa di antaranya adalah perluasan pasar, efisiensi logitstik, peningkatan iklim investasi, kelancaran sistem pembayaran, dan insentif pajak.