Penetapan Lahan Pangan Berkelanjutan Perlu Dikawal untuk Cegah Konversi
Pemerintah pusat harus mengawal dan mengevaluasi perencanaan terhadap penggunaan lahan baku sawah di tingkat daerah. Perencanaan daerah yang berpotensi mengarah ke peralihan atau konversi lahan mesti disikapi tegas.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Areal lahan persawahan di Purwadana, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, terutama di sepanjang ruas jalan utama, semakin terdesak oleh gelombang pembangunan fisik, baik untuk keperluan apartemen, pabrik, maupun sektor perekonomian yang lain, Jumat (15/2/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Luas baku sawah yang dimutakhirkan pemerintah pada Desember 2019 belum 100 persen menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Oleh sebab itu, pemerintah pusat mesti mengawal penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan di tingkat daerah.
Pemerintah mengumumkan luas baku sawah mencapai 7,463 juta hektar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang ditetapkan pada Desember 2019. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, sawah yang ditetapkan dan dilindungi sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan mesti tercantum dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana tahunan, baik nasional melalui rencana kerja pemerintah, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan diatur dalam peraturan rencana tata ruang wilayah di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Regulasi tersebut berupa peraturan pemerintah di tingkat nasional, sedangkan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota berupa peraturan daerah.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Meningkatnya kebutuhan hunian masyarakat membuat sejumlah pengembang menjadikan lahan produktif sebagai kawasan perumahan, seperti ditemui di Jalan Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Jumat (5/8). Selain bisa menurunkan produksi pangan, alih fungsi lahan pertanian produktif juga mengurangi lahan terbuka hijau.
Peneliti Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), M Husein Sawit, berpendapat, penetapan luas baku sawah di tingkat nasional menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan bergantung pada keseriusan pemerintah daerah. ”Pemerintah daerah berpotensi cenderung melepaskan lahan pertanian untuk nonpertanian. Penerimaan (daerah) dari sektor nonpertanian lebih besar dibandingkan mempertahankan lahan pertanian tersebut,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (6/2/2020).
Oleh sebab itu, menurut Husein, pemerintah pusat harus mengawal dan mengevaluasi perencanaan terhadap penggunaan lahan baku sawah di tingkat daerah. Perencanaan daerah yang berpotensi mengarah ke peralihan atau konversi lahan mesti disikapi secara tegas.
Husein melanjutkan, pemerintah pusat juga harus berani menindak pemerintah daerah yang memberikan izin peralihan atau konversi lahan pertanian ke nonpertanian serta menegakkan sanksi yang berlaku. Dia menyebutkan, modus umum yang dilakukan pemilik lahan ialah mengubah lahan sawah menjadi lahan kering lalu menjualnya untuk lahan nonpertanian.
UU Nomor 41 Tahun 2009 menyatakan, sanksi administratif bagi pihak yang mengonversi lahan pertanian pangan berkelanjutan berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi, pencabutan izin, pembatalan izin, pembongkaran bangunan, pemulihan fungsi lahan, pencabutan insentif, dan/atau denda administratif. Adapun sanksi pidananya berupa penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
KOMPAS/Badan Pusat Statistik
Data lahan baku sawah yang ditetapkan pemerintah pada Desember 2019
Pejabat pemerintah yang menerbitkan izin pengalihfungsian lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak sesuai dengan regulasi juga terkena sanksi pidana. Sanksi pidana itu berupa penjara selama 1-5 tahun dan/atau denda Rp 1 miliar-Rp 5 miliar.
Selain penegakan sanksi dan pengawalan perencanaan, Husein menilai pemerintah pusat dapat membuat kebijakan insentif bagi pemerintah daerah dan pemilik lahan pertanian pangan. Insentif itu mesti menyentuh pendapatan daerah dari lahan pertanian serta kesejahteraan pemilik lahan pertanian dan petani.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Sarwo Edhy mengatakan, 5 juta-6 juta hektar dari lahan baku sawah seluas 7,463 juta hektar sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dia mengharapkan sebanyak 100 persen lahan baku sawah ditetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan pada tahun 2020.
Saat ini, Edhy menambahkan, sejumlah pemerintah daerah tengah menetapkan lahan baku sawah itu menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam regulasi rencana tata ruang wilayah di tingkat daerah. ”Kebanyakan di luar Jawa (yang masih berproses dalam menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan),” katanya.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Buruh tani menggarap sawah yang dikepung proyek perumahan baru di daerah Tanjungpura, Karawang, Jawa Barat, Selasa (28/1/2014). Berkembangnya kawasan industri di Karawang turut memicu pertumbuhan kawasan permukiman baru yang mengonversi lahan pertanian.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A Djalil menyatakan, lahan baku sawah yang diputuskan pemerintah pusat mesti ditetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dia mengimbau, lahan baku sawah itu dimasukkan dalam rencana tata ruang wilayah sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan di tingkat daerah.
UU Nomor 41 Tahun 2009 juga diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah. Tujuan regulasi ini ialah mempercepat penetapan peta lahan sawah yang dilindungi dalam rangka memenuhi dan menjaga ketersediaan lahan sawah untuk mendukung kebutuhan pangan nasional, mengendalikan alih fungsi lahan sawah yang semakin pesat, memberdayakan petani agar tidak mengalihfungsikan lahan sawah, serta menyediakan data dan informasi lahan sawah untuk bahan penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Perpres Nomor 59 Tahun 2019 menyebutkan, sebelum menetapkan peta lahan sawah yang dilindungi, pemerintah mesti memverifikasi lahan sawah dan menyinkronisasi hasil verifikasi lahan sawah tersebut. Verifikasi itu salah satunya menggunakan lahan baku sawah.
Perpres tersebut juga mengamanatkan pemberian insentif oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang melindungi lahan sawahnya. Bagi masyarakat yang memiliki dan mengelola lahan sawah tersebut, pemerintah pusat memberikan insentif berupa percepatan sertifikasi tanah atau sarana dan prasarana pertanian maupun irigasi.