Sosok ”Mr Hu” yang fenomenal melahirkan tagar #SellerAsingBunuhUMKM. Sementara Presiden Jokowi tidak ingin Indonesia menjadi korban ”unfair practices” dari raksasa digital dunia.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Laman akun media sosial milik usaha konfeksi Imajinasi Corp di Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (8/3/2021). Akun media sosial menjadi salah satu upaya pemasaran usaha tersebut, terutama agar tetap bertahan di masa pendemi. Bagi beberapa usaha kecil menengah, akun media sosial turut memberikan andil dalam penciptaan pasar melalui e-dagang.
Masih ingat ”Mr Hu”? Sosok pedagang yang ramai dibicarakan warganet pada medio Februari 2021 ini melahirkan tagar #SellerAsingBunuhUMKM. Sosok ini menjadi tenar di Indonesia setelah beberapa konsumen mengunggah gambar produk yang dibeli di e-dagang dengan kemasan paket bertuliskan nama pengirim ”Mr Hu” dari Guangdong, China.
”Mr Hu” boleh dikata menjadi simbol semakin begitu mudahnya produk-produk impor masuk ke sebuah negara, termasuk Indonesia. Produk-produk impor tersebut bahkan banyak yang dijual dengan harga murah. Predatory pricing atau harga predator, begitu istilah yang kerap digaungkan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi belakangan ini.
Bayangkan saja, membeli sebuah topi dari negara lain dengan harga murah Rp 10.000 dan bebas ongkos kirim lagi. Sementara harga sebuah topi sejenis karya pelaku usaha kecil menengah (UKM) dalam negeri Rp 30.000-Rp 50.000. Cukup jauh bukan selisih harga jualnya?
Perdagangan daring atau e-dagang Indonesia boleh dikata tengah memasuki era ”Mr Hu”. Sebuah era perdagangan lintas batas di saat pedagang besar, bahkan menengah-kecil, bisa menjajakan produk-produknya ke berbagai belahan dunia hanya dengan duduk manis di rumah. Di era ini pula kesadaran dan gerakan mencintai produk dalam negeri terus bertumbuh.
Era ini juga semakin memperkuat sistem perdagangan beli dan jual lagi (reseller). Pedagang atau bahkan nonpedagang bisa membeli produk-produk dari luar negeri dengan harga murah dan menjualnya kembali dengan harga yang lebih menguntungkan di dalam negeri secara luring dan/atau daring. Apalagi di kala pandemi Covid-19 ini, kans reseller sangat besar mengingat banyak masyarakat membutuhkan tambahan pemasukan dan mengalami pemutusan hubungan kerja.
Perdagangan daring atau e-dagang Indonesia boleh dikata tengah memasuki era ’Mr Hu’. Sebuah era perdagangan lintas batas di saat pedagang besar, bahkan menengah-kecil, bisa menjajakan produk-produknya ke berbagai belahan dunia hanya dengan duduk manis di rumah.
Selang tiga pekan tenarnya ”Mr Hu”, Presiden Joko Widodo melontarkan kegelisahannya tentang perdagangan yang tidak adil dalam e-dagang dalam pembukaan Rapat Kerja Kementerian Perdagangan, 4 Maret 2021. Presiden menyebut ada yang tidak benar dalam perdagangan digital di Indonesia sehingga bisa membunuh UMKM.
Presiden memperingatkan para raksasa digital dunia agar tidak melakukan praktik-praktik yang merugikan bangsa Indonesia. Ia juga menginstruksikan Kementerian Perdagangan untuk membangun ekosistem yang adil sekaligus kondusif bagi pengembangan perekonomian nasional.
Presiden juga menegaskan, Indonesia bukan bangsa yang menyukai proteksionisme karena sejarah membuktikan proteksionisme justru merugikan. Namun, Indonesia juga tidak boleh menjadi korban unfair practices dari raksasa digital dunia (Kompas, 4 Maret 2021).
Kisah produk impor dengan harga kompetitif yang merugikan pelaku usaha dan industri dalam negeri memang merupakan kisah klasik Indonesia. Dahulu ancaman produk impor hanya datang dari perdagangan luring, sekarang ancaman itu datang dari lini luring dan daring.
Dalam ranah e-dagang, pedagang dalam negeri mendapatkan porsi lebih banyak. Namun, produk-produk yang dijual di laman pemasaran itu didominasi produk-produk impor.
Pada 2017, Kompas pernah mencatat, jumlah produk e-dagang lokal dan asing di sebuah laman pemasaran tak berimbang. Di salah satu pasar digital, misalnya, jumlah dari beberapa jenis barang lokal yang dijual sebanyak 60.439 unit, sedangkan barang impor 1.319.268 unit.
Berdasarkan dokumen impor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, kegiatan e-dagang berupa impor barang kiriman meningkat dari 6,1 juta paket pada 2017 menjadi 48,69 juta paket pada 2019. Adapun nilai impor barang kiriman naik dari 290 juta dollar AS menjadi 673,87 juta dollar AS.
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan agar pelaku e-dagang wajib mengutamakan produk lokal dan turut meningkatkan daya saing dan promosi produk. Selain itu, pemerintah juga telah menurunkan ambang batas bea masuk barang kiriman dari 75 dollar AS menjadi 3 dollar AS. Barang impor dengan harga di atas 3 dollar AS dikenai pajak 17,5 persen yang terdiri dari bea masuk 7,5 persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen.
Bahkan, pemerintah secara khusus membedakan tarif atas produk tas, sepatu, dan garmen. Ketiga produk itu tetap diberikan batasan bea masuk 3 dollar AS dan selebihnya diberikan tarif bea masuk normal (MFN) untuk tas sebesar 15-20 persen, sepatu 25-30 persen, dan produk tekstil 15-25 persen. Ketiga barang itu juga dikenai PPN 10 persen dan Pajak Penghasilan 7,5-10 persen.
Kini pemerintah tengah menggodok regulasi untuk mengatasi harga predator. Kendati begitu, cukupkah melindungi produk dalam negeri melalui kebijakan-kebijakan berbasis regulasi itu? Tentu saja tidak. Peningkatan kualitas produk dalam negeri dibutuhkan, pengawasan perlu ditingkatkan, serta kesadaran mencintai dan membeli produk dalam negeri perlu terus digaungkan.
Lagi-lagi hal ini kembali ke soal pilihan untuk menjaga iklim sehat usaha. Proteksi perdagangan bukan satu-satunya jalan. Setiap pemain mesti memiliki tingkat berbisnis yang setara (level of playing field) dan jangan banting-membanting harga. Selamat menyelami era ”Mr Hu”.