ASEAN plus lima negara di Asia Pasifik membentuk Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional. Dipuji sebagai simbol perdagangan multilateral, RCEP jadi sorotan terkait siapa yang bakal memetik manfaat lebih besar dari RCEP.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
TANGKAPAN LAYAR DARI KEMENTERIAN PERDAGANGAN
Suasana KTT virtual Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang digelar secara daring dalam rangkaian KTT ASEAN, Minggu (15/11/2020). Pada hari itu, ke-15 negara—10 negara ASEAN dan 5 negara mitra—menandatangani kesepakatan RCEP.
Di saat manfaat perdagangan bebas dipertanyakan dan kekhawatiran terhadap masa depan globalisasi meningkat di seluruh dunia, penandatanganan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP pada 15 November lalu merupakan momen simbolis. Harian Financial Times menyebut, RCEP adalah perjanjian perdagangan pertama yang mempertemukan China, Jepang, serta Korea Selatan dan membawa Asia selangkah lebih dekat ke prospek blok perdagangan yang kohesif.
Penandatanganan RCEP menandai tonggak pencapaian integrasi ekonomi di kawasan Asia, bersama Australia dan Selandia Baru. Sumbangan produk domestik bruto (PDB) 15 negara yang menandatangani RCEP secara total hampir mencapai sepertiga dari PDB global. Kesepakatan RCEP akan meningkatkan akses pasar terkait penghapusan tarif dan kuota atas lebih dari 65 persen barang yang diperdagangkan.
Laporan yang dirilis Peter A Petri dari Brookings Institution bersama Michael Plummer, profesor ekonomi internasional di Universitas Johns Hopkins, menyebutkan, dalam konteks politik yang tepat, RCEP akan menghasilkan keuntungan signifikan. Menurut mereka, RCEP dapat menambah pendapatan global hingga 209 miliar dollar AS setiap tahun dan perdagangan dunia senilai 500 miliar dollar AS pada 2030.
Sejumlah pihak menilai penandatanganan RCEP merupakan kemenangan China, khususnya jika dihadapkan dengan peran dan posisi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Ide RCEP, yang muncul pada 2011, dipandang sebagai cara bagi China untuk melawan pengaruh AS yang tumbuh di Asia Pasifik. China adalah importir dan eksportir terbesar di kawasan itu. Negosiasi RCEP mendapatkan momentum ketika Presiden AS Donald Trump menarik AS mundur dari negosiasi Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) tahun 2017. TPP sejak itu telah berganti nama menjadi Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP).
JIM WATSON AND PETER KLAUNZER / VARIOUS SOURCES / AFP
Gabungan foto yang dibuat pada 14 Mei 2020 ini menunjukkan wajah Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. Amerika Serikat dan China terus terlibat dalam perebutan pengaruh secara global.
Dipimpin Jepang, negosiasi CPTPP melibatkan tujuh anggota RCEP dari total 11 negara yang bergabung. Sekali lagi, sejauh ini tidak ada AS di dalamnya. Menariknya, ada tanda-tanda keinginan ambisius Beijing untuk juga terlibat dalam CPTPP. Mungkin pula Inggris bergabung dengan CPTPP setelah keluar dari Uni Eropa. Laporan Petri dan Plummer memperkirakan bahwa RCEP bersama CPTPP akan membuat ekonomi Asia Utara dan Tenggara lebih efisien dengan menghubungkan kekuatan mereka.
Momentum China
China memang seperti mendapatkan momentumnya dalam kerja sama perdagangan global, khususnya seusai penandatanganan RCEP pekan lalu. Presiden China Xi Jinping dalam KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menekankan untuk mendorong perdagangan yang lebih terbuka serta memperkuat kerja sama multilateral. Sikap dan langkah itu dinilai akan banyak membantu kinerja ekonomi global yang tengah terdampak pandemi Covid-19 saat ini.
”Keterbukaan memungkinkan suatu negara bergerak maju, sementara pengasingan justru akan menariknya mundur,” kata Xi Jinping dalam pidato pada pertemuan bersama para pemimpin perusahaan di Asia Pasifik yang digelar secara virtual dengan penyelenggara Malaysia, Kamis (19/11/2020).
”China akan secara aktif bekerja sama dengan semua negara, wilayah, dan perusahaan yang ingin melakukannya. Kami akan terus memegang tinggi panji keterbukaan dan kerja sama."
Namun, The Economist menyebutkan, RCEP merupakan perjanjian dagang yang kurang ambisius. Negara-negara yang menandatangani beragam, mulai dari yang sangat kaya, seperti Jepang dan Singapura, hingga yang sangat miskin, seperti Laos dan Myanmar. Kerja sama memang menghilangkan tarif, tetapi hanya dalam jangka waktu 20 tahun setelah diberlakukan. Negara-negara yang terlibat dalam RCEP juga harus meratifikasinya.
Selain itu, cakupan layanannya tidak merata dan hampir tidak menyentuh pertanian. Jepang, misalnya, akan mempertahankan bea masuk yang tinggi untuk beberapa produk pertanian yang ”sensitif secara politik”, seperti beras, gandum, daging sapi dan babi, susu, serta gula.
Meski demikian, RCEP dinilai menjadi terobosan baru dalam menyelaraskan ketentuan aturan asal yang berbeda pada berbagai kesepakatan perdagangan bebas (FTA) di ASEAN. RCEP juga menetapkan aturan konten regional sehingga barang perantara dapat bersumber dari salah satu dari 15 negara. Hasilnya, RCEP diharapkan memiliki dampak ekonomi yang nyata. Manfaatnya diperkirakan akan sangat besar bagi China, Jepang, dan Korsel. Ini juga akan meningkatkan upaya ketiga negara untuk mencapai FTA trilateral mereka sendiri.
China juga akan mendapatkan keuntungan dengan cara lain. Dengan bergabung dalam perjanjian perdagangan multilateral pertamanya, negara itu dapat menunjukkan komitmennya pada liberalisasi perdagangan saat AS terlihat relatif terlepas dari kawasan itu.
Pola yang didominasi rantai pasokan untuk barang-barang manufaktur yang membentang di sejumlah negara Asia sebelum diekspor ke Barat sedang berubah. Institute of International Finance, asosiasi industri keuangan berbasis di Washington, menyebutkan, paruh pertama tahun ini ASEAN mengambil alih Uni Eropa sebagai mitra dagang terbesar China.
Menanti respons AS
Menarik untuk melihat respons Washington di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Joe Biden nanti. Media Jepang, Nikkei, menyebutkan bahwa Biden tidak memiliki komitmen untuk bergabung dalam forum kerja sama seperti RCEP atau CPTPP. Namun, dia mengatakan akan mengumumkan ”rencana yang cukup menyeluruh” pada Januari tahun depan setelah dilantik sebagai presiden AS.
Frederic Neumann, Kepala Riset Ekonomi Asia di HSBC, memperkirakan, AS mungkin ingin ”tetap membuka beberapa pintu” dengan negara-negara Asia Pasifik lewat kesepakatan-kesepakatan bilateral. ”Apa yang mungkin dilakukan AS adalah melakukan lebih banyak kesepakatan bilateral, perjanjian bilateral dengan setiap anggota RCEP—tidak semuanya, tetapi dengan beberapa dari mereka—hanya untuk menjaga beberapa pintu tetap terbuka,” kata Neumann, seperti dikutip CNBC.
AFP/GETTY IMAGES/CHIP SOMODEVILLA
Pendukung Presiden terpilih AS Joe Biden dan pasangannya, Wakil Presiden terpilih Kamala Harris, berkumpul serta merayakan kemenangan di sekitra kompleks Gedung Putih di Washington DC, AS, Minggu (8/11/2020).
Seperti banyak pakar, Neumann mengatakan, ada ”argumen strategis yang luar biasa” mengapa AS harus bergabung dengan CPTPP. Namun, dinamika politik dalam negeri AS diperkirakan akan mempersulitnya. Pandemi Covid-19 dan dampaknya menjadi fokus utama pemerintahan Biden kelak. AS sendiri menyumbang sekitar 20 persen dari jumlah total kasus Covid-19 global.
Negara-negara di Asia Tenggara dan ASEAN, bagaimanapun, tetap menginginkan kehadiran serta kerja sama dengan AS. Dalam jangka panjang, negara-negara di Asia Tenggara khawatir tentang pergeseran di dunia saat China mendominasi ekonomi, politik, dan militer di Asia. AS di bawah Biden diharapkan ikut memprioritaskan Asia dan Asia Tenggara dalam kebijakan luar negerinya sebagai penyeimbang China. (AP/AFP/REUTERS)