Tren Ekspor RI ke 14 Negara Anggota RCEP Tumbuh Positif
RCEP menjadi pijakan bagi RI untuk meningkatkan ekspor berbasis rantai pasok regional. Di sisi lain, WTO menyerukan pentingnya akses kesetaraan vaksin untuk menekan laju divergensi pertumbuhan ekonomi yang tidak merata.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (23/9/2021). Siklus superkomoditas atau supercycle diperkirakan berakhir September 2022. Meski demikian, neraca perdagangan Indonesia diperkirakan terjaga baik karena ekspor produk-produk bernilai tambah tinggi dari hasil investasi akan meningkat.
JAKARTA, KOMPAS — Tren ekspor nonmigas Indonesia ke 14 negara yang menandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP tumbuh positif lima tahun terakhir. Lima tahun ke depan, ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut dapat semakin meningkat ditopang oleh produk-produk bernilai tambah tinggi dan rantai pasok global.
Indonesia menandatangani RCEP pada 15 November 2020 bersama 9 negara anggota ASEAN dan China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Lima negara, yaitu Singapura, Thailand, Myanmar, Jepang, dan China, telah menyelesaikan proses ratifikasi perjanjian itu.
Saat ini, Indonesia tengah merampungkan proses ratifikasi RCEP di tingkat parlemen dan ditargetkan kelar pada Oktober ini. Perjanjian tersebut ditargetkan dapat diimplementasikan pada awal 2022.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, Selasa (5/10/2021), mengatakan, pada periode 2016-2020, tren ekspor nonmigas Indonesia ke 14 negara anggota RCEP tumbuh 5,33 persen. Pada 2020, total nilai ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut mencapai 45,39 miliar dollar AS atau sekitar 54,12 persen dari total ekspor Indonesia ke dunia yang senilai 83,87 miliar dollar AS.
Pada periode 2016-2020, tren ekspor nonmigas Indonesia ke 14 negara anggota RCEP tumbuh 5,33 persen.
KOMPAS/HENDRIYO WIDI
Tangkapan layar Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga yang tengah menjelaskan mengenai manfaat Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) bagi Indonesia dalam Sosialisasi Hasil-hasil Perundingan Perdagangan Internasional RCEP yang digelar secara hibrida, Selasa (5/10/2021).
Tren positif ekspor RI itu menjadi modal penting bagi Indonesia untuk semakin meningkatkan ekspor saat RCEP diimplementasikan. Potensi perdagangan dalam RCEP ini sangat besar, yaitu setara dengan 27,4 persen total nilai perdagangan dunia. Pangsa pasarnya juga cukup besar, mencakup 2,2 miliar orang atau 29,6 persen dari populasi dunia.
”Para pelaku usaha dan industri di Indonesia harus mampu memanfaatkan peluang tersebut untuk meningkatkan ekspor,” kata Jerry dalam Sosialisasi Hasil-hasil Perundingan Perdagangan Internasional RCEP yang digelar secara hibrida.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) memproyesikan lima tahun ke depan setelah RCEP diimplementasikan, ekspor diperkirakan meningkat 8-10 persen dan investasi 18-22 persen.
Direktur Perundingan ASEAN Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Dina Kurniasari menambahkan, dengan RCEP, ekspor Indonesia akan semakin ditopang dengan komoditas-komoditas dalam rantai pasok regional (regional value chain/RVC). Negara-negara anggota RCEP mengusung konsep RVC untuk memudahkan strategi dan efisiensi produksi.
Strategi industri ini mempertimbangkan opsi sumber bahan baku yang lebih banyak, biaya tenaga kerja lebih murah, harga bahan baku lebih murah, dan kedekatan lokasi produksi dengan pasar. ”Indonesia juga telah memetakan sejumlah sektor potensial yang dapat masuk dalam RVC itu, seperti otomotif, peralatan medis, dan tekstil,” ujarnya.
Indonesia juga telah memetakan sejumlah sektor potensial yang dapat masuk dalam RVC itu, seperti otomotif, peralatan medis, dan tekstil.
Melalui investasi yang masuk, Indonesia juga dapat mengekspor produk-produk bernilai tambah tinggi. Berdasarkan kajian Technology Group, partisipasi Indonesia dalam rantai pasok global selama ini masih didominasi oleh produk-produk yang dihasilkan dari industri berteknologi rendah.
Dua jalur pemulihan
Sementara itu, dalam laporan terbarunya tentang perdagangan global yang dirilis pada 4 Oktober 2021, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyerukan pentingnya memperkuat kerja sama antarnegara di bidang perdagangan untuk memulihkan perekonomian nasional. WTO juga menekankan pentingnya akses kesetaraan vaksin antarnegara untuk menekan laju divergensi pertumbuhan perdagangan dan perekonomian yang tidak merata.
Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, perdagangan menjadi alat penting memerangi pandemi, karena dapat menopang pemulihan ekonomi global. Namun, akses yang tidak adil terhadap vaksin memperburuk divergensi ekonomi di seluruh wilayah.
”Semakin lama ketidaksetaraan vaksin dibiarkan, semakin besar kemungkinan varian Covid-19 yang lebih berbahaya akan muncul. Hal ini bisa menghambat kemajuan kesehatan dan ekonomi yang telah bergulir hingga saat ini,” ujar Okonjo-Iwela dalam siaran pers.
Semakin lama ketidaksetaraan vaksin dibiarkan, semakin besar kemungkinan varian Covid-19 yang lebih berbahaya akan muncul. Hal ini bisa menghambat kemajuan kesehatan dan ekonomi yang telah bergulir hingga saat ini.
Oleh karena itu, Okonjo-Iweala mengajak negara-negara anggota WTO agar memiliki komitmen kuat untuk mengatasi pandemi Covid-19 bersama-sama. Komitmen bersama ini penting lantaran akan memberikan landasan bagi percepatan produksi vaksin dan distribusi yang adil. Kebijakan vaksin ini juga merupakan kebijakan ekonomi dan perdagangan.
Dalam laporannya, WTO menyebutkan, skenario pertumbuhan perdagangan global itu bergantung pada sejumlah asumsi, terutama percepatan produksi dan diseminasi vaksin Covid-19. WTO mengapresiasi upaya berbagai pemangku kepentingan global yang telah memproduksi dan mendistribusikan 6 miliar dosis vaksin Covid-19 di seluruh dunia.
Di sisi lain, WTO menilai upaya tersebut masih belum cukup lantaran masih ada perbedaan akses yang tajam antarnegara. Hingga kini, hanya 2,2 persen orang di negara berpenghasilan rendah yang telah menerima setidaknya satu dosis vaksin Covid-19.
WTO menyebutkan, tidak meratanya distribusi vaksin ini memunculkan pemulihan dua jalur, yaitu jalur pemulihat cepat dan lambat. Jalur pemulihan cepat dialami oleh negara-negara maju dan sebagian negara berkembang yang mampu memproduksi dan mengakses vaksin dalam jumlah besar.
Adapun pemulihan jalur lambat dialami negara-negara yang memiliki ruang fiskal yang sempit sehingga menyebabkan akses terhadap vaksin menjadi terbatas. Perbedaan ini menciptakan ruang bagi kemunculan dan penyebaran bentuk virus baru sehingga berpotensi memperketat kembali pergerakan aktivitas ekonomi.
Dalam laporan itu, WTO juga memperkirakan, tahun ini, volume perdagangan global yang semula diperkirakan tumbuh 8 persen bisa tumbuh 10,8 persen. Kemudian pada 2022, pertumbuhannya diproyeksikan akan kembali melambat menjadi 4,7 persen.
Pertumbuhan volume perdagangan itu akan turut menopang pertumbuhan ekonomi global. Ekonomi global pada 2021 dan 2022 diperkirakan tumbuh masing-maisng 5,3 persen dan 4,1 persen. Sebelumnya, WTO memperkirakan ekonomi global pada 2021 tumbuh 5,1 persen dan 2022 sebesar 3,9 persen.