Perdagangan Global Mengarah pada “Green Trade”
Normal baru "green trade" sudah di depan mata. WEF telah menerbitkan "white paper" tentang agenda perdagangan pro lingkungan dan iklim dan Komisi UE tengah memperbarui skema GSP yang mengedepankan ekonomi hijau.
JAKARTA, KOMPAS - Perdagangan global ke depan kian menantang. Di tengah pemulihan perdagangan dari imbas Covid-19 yang masih belum tuntas, setiap negara dituntut untuk mengedepankan green trade atau perdagangan hijau yang turut berpihak pada lingkungan dan perubahan iklim.
Kebijakan bebas emisi karbon akan melahirkan normal baru perdagangan dan industri global. Demi menjaga dunia dari ancaman dan dampak perubahan iklim, sektor perdagangan, industri, dan energi, termasuk pembangkit listrik, mau tidak mau harus berbenah.
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) menyatakan, banyak negara tengah berlomba menuju bebas emisi karbon di berbagai sektor ekonomi dan kehidupan. Berbagai pembenahan dan reformasi yang menghabiskan dana cukup besar akan dilakukan sesuai amanat Perjanjian Paris 2015. Oleh karena itu, setiap negara harus bersiap menuju normal baru era bebas emisi karbon.
Pada 22 September 2021, Forum Ekonomi Dunia (WEF) menerbitkan buku putih (white paper) “Delivering a Climate Trade Agenda: Industry Insights”. Poin utama dari dokumen tersebut adalah pentingnya membangun perdagangan global yang stabil dan terbuka menuju transisi hijau.
Untuk menuju ke arah tersebut, para pengambil kebijakan dan pelaku industri harus mampu menciptakan produk-produk rendah karbon. Ekosistem dan kebijakan perdagangan hijau juga perlu disiapkan dan dibangun. Misalnya dengan pengurangan tarif barang-barang, memnimalisasi hambatan nontarif, dan memfasilitasi rantai pasok global yang menguntungkan iklim dan mempercepat dekarbonisasi ekonomi global.
Kemudian pada 23 September 2021, Komisi Uni Eropa (UE) mematangkan proposal skema tarif preferensi umum (GSP) UE periode 2024-2034. Skema GSP baru itu nantinya akan menggantikan GSP lama yang akan berakhir per 31 Desember 2023.
Selain melanjutkan kebijakan penghapusan atau pengurangan tarif bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang, Komisi UE juga mengusulkan untuk meningkatkan skema GSP. Skema ini harus mencakup dimensi sosial, tenaga kerja, serta lingkungan dan iklim. Komisi UE menyebut hal itu sebagai GSP+.
Proposal itu turut memasukkan konvensi lingkungan internasional, termasuk Perjanjian Paris 2015, dan tata kelola yang baik. Negara-negara yang masuk dalam daftar GSP UE terbaru akan mendapat insentif khusus, jika mampu berkomitmen pada standar keberlanjutan yang kuat. Hal itu dalam rangka menciptakan skema GSP lebih hijau yang mengedepankan upaya mengatasi perubahan iklim dan standar perlindungan lingkungan.
Selain memperbarui GSP, Komisi UE juga akan mengadopsi proposal Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) atau pengenaan pajak bea masuk karbon terhadap sejumlah produk yang mengandung karbon secara bertahap mulai 2023. Pada tahap awal, CBAM akan diterapkan untuk sejumlah produk, seperti semen, besi baja, aluminium, pupuk, dan elektronik. CBAM ini akan sepenuhnya diterapkan pada 2026 dengan memperluas produk-produk yang mengandung karbon.
Baca juga: Kebijakan ”Zero Emission” Bakal Berimbas ke Sejumlah Komoditas Ekspor
Head of Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov, Minggu (25/9/2021), mengatakan, Indonesia harus bersiap menghadapi itu dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional. Untuk menjawab tantangan ini, kesiapan dan kemampuan regulator, operator, dan infrasruktur sumber energi baru terbarukan (EBT), dan industri perlu dilihat bahkan dikaji secara mendalam.
Hal itu mengingat pengenaan pajak karbon secara lebih luas dan pajak karbon komoditas akan menimbulkan sejumlah ekses negatif. Di sektor perdagangan dan industri saja, kebijakan tersebut akan memicu kenaikan biaya produksi, investasi, dan harga produk.
“Daya saing industri juga akan dipertaruhkan. Industri-industri yang tidak siap bisa kalah bersaing dan mulai pelan-pelan mengurangi kapasitas produksinya. Jika hal ini terjadi, ujung-ujungnya bisa berimbas ke pengurangan tenaga kerja,” kata Abra ketika dihubungi di Jakarta.
Industri-industri yang tidak siap bisa kalah bersaing dan mulai pelan-pelan mengurangi kapasitas produksinya. Jika hal ini terjadi, ujung-ujungnya bisa berimbas ke pengurangan tenaga kerja.
Menurut Abra, pemerintah diharapkan tidak membuat regulasi pajak karbon yang hanya menyasar industri dalam negeri. Produk-produk impor yang mengandung karbon atau dalam proses produksinya menyebabkan emisi karbon juga perlu dikenakan pajak karbon komoditas.
“Negara-negara lain, seperti di kawasan UE sudah akan menerapkan hal itu. Jangan sampai Indonesia hanya diam saja dan justru lebih banyak menggarap serapan pajak dari dalam negeri,” kata dia.
Baca juga: RI Tak Akan Biarkan Negara Lain Paksakan Pajak Karbon Komoditas
Transisi energi
Hal paling penting dan utama, lanjut Abra, pemerintah perlu menyiapkan infrastruktur, terutama pembangkit listrik yang bersumber dari EBT dengan kuantitas memadai dan harga listrik yang relatif terjangkau. Selama ini, industri-industri tersebut bergantung pada listrik yang bersumber dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Artinya, Indonesia memiliki beban besar untuk mempercepat proses transisi energi dari fosil ke EBT. Di tengah pemulihan ekonomi dari imbas pandemi yang menelan banyak biaya, Indonesia juga harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mewujudkan transisi energi itu.
Di tengah pemulihan ekonomi dari imbas pandemi yang menelan banyak biaya, Indonesia juga harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mewujudkan transisi energi itu.
World Economic Forum (WEF) menyebutkan, dalam hal transisi energi, Indonesia berada di peringkat ke-71 dari 115 negara dengan skor indeks transisi energi (ETI) sebesar 56 dari total skor 100. ETI Indonesia berada di bawah rata-rata ETI global yang sebesar 59,3.
Dari tahun ke tahun ke tahun, peringkat transisi energi Indonesia terus merosot. Pada 2018, Indonesia berada di peringkat ke-53. Kemudian pada 2019 dan 2020, Indonesia menempati peringkat ke-63 dan ke-70.
Di Asia Tenggara, Indonesia menempati urutan keenam dalam transisi energi. Posisi ini berada di bawah Singapura yang menempati peringkat ke-21 dengan skor ETI sebesar 67, Malaysia peringkat ke-39 dengan skor 64, Thailand peringkat ke-55 dengan skor 60, serta Vietnam dan Filipina yang masing-masing di peringkat ke-65 dan ke-67 dengan skor indeks sama 57.
Baca juga:
Sementara itu, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri, mengatakan, prospek perdagangan batubara Indonesia untuk jangka pendek masih tetap ada. Namun untuk jangka panjang, kemungkinan besar volumenya akan berkurang seiring dengan upaya pengurangan emisi karbon yang digulirkan sejumlah negara guna mengatasi perubahan iklim.
”Indonesia sudah mempersiapkan transisi dan transformasinya ke EBT nonbatubara. Di sisi lain, Indonesia juga sudah menyiapkan produk-produk atau sektor ekspor untuk menyubstitusi batubara, seperti besi baja, aluminium, elektronik, dan otomotif,” katanya.
Saat ini, Indonesia tengah memetik keuntungan dari siklus super (supercycle) komoditas lantaran harga-harga komoditas seperti batubara dan CPO melesat tinggi. Di sisi lain, ekspor besi baja juga turut menopang kinerja eskpor Indonesia dan membuat Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan selama 16 bulan berturut-turut di tengah pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas Indonesia pada Januari-Agustus 2021 senilai 134,132 miliar dollar AS, tumbuh 37,03 persen secara tahunan. Lemak dan minyak hewan/nabati, termasuk CPO; bahan bakar mineral (batubara); dan besi baja; tumbuh cukup signifikan. Kontribusi terbesar berasal dari lemak dan minyak hewan/nabati (15,39 persen), bahan bakar mineral (13,41 persen), dan besi baja (9,04 persen).
Baca juga:
Kendati begitu, lanjut Kasan, pemerintah menyadari sejumlah produk tersebut juga akan menghadapi tantangan dengan penerapan pajak karbon di sektor komoditas. Pajak karbon komoditas ini akan menghambat ekspor sejumlah produk unggulan Indonesia.
Pemerintah sudah memikirkan solusinya, seperti penggunaan sumber EBT yang bebas karbon dalam proses produksinya. ”Namun, jika sumber EBT di Indonesia belum siap digulirkan untuk menopang industri berbasis ekspor, pengenaan pajak karbon juga akan menyebabkan kenaikan harga produk-produk itu,” katanya.
Pemerintah menyadari sejumlah produk tersebut juga akan menghadapi tantangan dengan penerapan pajak karbon di sektor komoditas. Pajak karbon komoditas ini akan menghambat ekspor sejumlah produk unggulan Indonesia.
Baca juga: Bebas Emisi Karbon Lahirkan Normal Baru Perdagangan dan Industri
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit EBT mencapai 1.478 megawatt dengan rata-rata pertumbuhan 4 persen per tahun. Sepanjang semester I-2021, kapasitas EBT bertambah 217 megawatt.
Tambahan kapasitas itu berasal dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Malea sebesar 90 megawatt, pembangkit listrik tenaga minihidro sembilan unit berkapasitas 56 megawatt, dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap sebesar 13 megawatt. Selain itu, ada juga pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Sorik Marapi Unit II berkapasitas 45 megawatt dan pembangkit listrik tenaga bioenergi sebesar 12,5 megawatt. Tambahan kapasitas tersebut langsung tersambung dengan sistem jaringan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).