Ada sejumlah catatan positif terkait adopsi teknologi digital di Tanah Air dua tahun terakhir. Namun, fenomena itu melahirkan tantangan dan risiko baru yang mesti diantisipasi guna mencapai pertumbuhan yang berkualitas.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Laporan Facebook dan Bain&Co yang dipublikasikan akhir Agustus 2021, berjudul ”Southeast Asia, the Home for Digital Transformation”, sekali lagi, menegaskan lonjakan adopsi digital di Tanah Air. Menurut laporan riset itu, ada tambahan 70 juta konsumen digital di Asia Tenggara sejak awal pandemi Covid-19 tahun 2020.
Di Indonesia, jumlah konsumen digital diproyeksikan mencapai 165 juta orang tahun ini, tumbuh 15,2 persen dibandingkan tahun lalu yang hanya 144 juta orang. Angka pertumbuhan itu tertinggi dibandingkan negara lain, seperti Vietnam yang konsumen digitalnya tumbuh 8 persen atau Malaysia, Filipina, dan Singapura yang masing-masing tumbuh 5 persen.
Laporan itu juga mencatat, 78 persen atau hampir 8 orang dari 10 orang berusia di atas 15 tahun di Asia Tenggara akan menjadi konsumen digital pada akhir tahun ini. Pada 2021, populasi konsumen digital di Asia Tenggara diharapkan mencapai 350 juta orang, bertambah 30 juta konsumen dibandingkan tahun 2020.
Migrasi dari ekonomi luring (offline) ke daring (online) di kawasan ini tumbuh lebih cepat dibandingkan perkiraan semula. ”Kenormalan baru” dalam konsumsi yang dibawa oleh pandemi Covid-19 mendorong keccepatan adopsi digital. Dampaknya, perubahan yang diperkirakan akan berlangsung selama setengah dekade terjadi hanya dalam waktu satu tahun.
Proyeksi pertumbuhan konsumen digitial menurut hasil riset itu sejalan dengan laporan Hootsuite dalam Digital 2021. Dalam laporan ini, jumlah pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta jiwa, tumbuh 15,5 persen atau bertambah 27 juta jiwa dibandingkan situasi Januari 2020. Dengan jumlah penduduk 274,9 juta jiwa, penetrasi internet di Indonesia mencapai 73,7 persen pada awal tahun 2021.
Selain melipatgandakan adopsi teknologi, pembatasan mobilitas akibat pandemi Covid-19 melahirkan ekonomi berbasis di rumah (stay at home economy). Sejumlah tren menandainya, antara lain belanja daring serta bekerja, belajar, olahraga, dan hiburan di rumah. Lembaga riset Inventure dalam ”Consumer Behavior New Normal After Covid-19: The 30 Predictions” menyebut gaya hidup untuk tetap berada di rumah sebagai pergeseran besar (megashift) dalam perilaku konsumen.
Risiko baru
Di sisi ekonomi, fenomena migrasi luring ke daring dan digitalisasi melahirkan peluang-peluang baru. Namun, lonjakan pengguna internet dan adopsi digital sekaligus membuka risiko-risiko baru yang tidak diharapkan, terkait potensi serangan siber, peretasan, dan isu lain tentang perlindungan kosumen. Apalagi di tengah literasi digital yang kurang serta perangkat perlindungan yang lemah.
Rentetan kasus kebocoran data pribadi, bahkan di sistem layanan publik yang dikelola pemerintah, mengindikasikan problem serius terkait sistem keamanan di ekosistem digital Tanah Air. Berulangnya kasus membunyikan alarm tentang mendesaknya perangkat regulasi dan otoritas perlindungan yang kokoh.
Data yang disampaikan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) memerkuat kebutuhan akan perangkat tersebut. Sepanjang Januari-Juli 2021, BSSN mencatat 741,4 juta serangan siber. Kategori serangan terbanyak yaitu perangkat lunak perusak (malware), pengganggu ketersediaan layanan, dan aktivitas trojan atau malware yang bisa menyamar jadi link atau surat elektronik yang seolah-olah datang dari perusahaan resmi.
Tantangan lain yang terbuka seiring lonjakan adopsi digital adalah soal kesetaraan. Persebaran pengguna dan kualitas jaringan internet, misalnya, belum merata di Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, berdasarkan hasil survei, hingga 2020 sekitar 56,4 persen pengguna internet terkonsentrasi di Pulau Jawa, lalu disusul di Sumatera dengan 22,1 persen.
Soal kualitas dan ketersediaan jaringan juga masih menjadi tantangan bagi Indonesia. Laporan Alliance for Affordable Internet (A4AI), koalisi global untuk internet terjangkau di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, mencatat, secara umum Indonesia memiliki jangkauan jaringan telekomunikasi 4G yang luas. Namun, ada perbedaan cakupan ketersediaan dan kualitas jaringan antardaerah.
Soal kualitas dan ketersediaan jaringan juga masih menjadi tantangan bagi Indonesia.
Sampai triwulan III-2019, menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, ada 12.548 desa/kelurahan di Indonesia yang belum terlayani sinyal 4G. Data lain, yakni data Speedtest Global Index Januari 2020, Indonesia memiliki kecepatan akses unduh rata-rata 14,16 Mbps dan unggah 9,50 Mbps di jaringan bergerak pita lebar. Angka itu di bawah rata-rata dunia, yaitu unduh 31,95 Mbps dan unggah 11,32 Mbps.
Guna mendorong perkembangan ekonomi digital, Indonesia memerlukan infrastruktur seluler yang baik, menyediakan koneksi internet yang berkualitas, serta menekan kesenjangan antarwilayah. Hal lain yang tidak kalah penting adalah meningkatkan literasi digital penduduk serta menyiapkan perangkat hukum serta sistem dan infrastruktur keamanan siber yang lebih kokoh.
Dengan demikian, kasus-kasus peretasan situs, pencurian data pribadi, dan kejahatan siber lain bisa diantisipasi dan ditangani secara lebih baik. Literasi digital juga perlu dijadikan agenda prioritas oleh pemerintah dan pelaku industri. Selain itu, problem ketimpangan dan keterjangkauan layanan perlu diatasi agar teknologi digital makin inklusif. Harapannya, lonjakan adopsi digital semakin berkualitas.