Jangkauan 4G Meluas, tetapi Kualitas Layanan Bermasalah
Ketersediaan layanan telekomunikasi berteknologi seluler 4G di Indonesia terus meningkat. Layanan bahkan telah menjangkau wilayah pelosok. Namun, ada problem soal kualitas layanan, antara lain, di sisi kecepatan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat ketersediaan layanan telekomunikasi 4G di Indonesia dinilai semakin luas. Namun, kualitas layanan yang diterima masyarakat masih bermasalah.
Laporan ”4G for Meaningful Connectivity” oleh organisasi Alliance for Affordable Internet dan perusahaan analitik telekomunikasi seluler OpenSignal yang dirilis pada Senin (6/9/2021) menyebutkan, tingkat ketersediaan layanan 4G di DKI Jakarta, Bali, dan Kepulauan Riau berada di atas 90 persen. Ketiganya termasuk provinsi teratas. Di luar itu, ada provinsi dengan ketersediaan layanan 4G berkisar 70 persen.
Research Manager for Access and Affordability di Alliance for Affordable Internet Teddy Woodhouse menyatakan, dari sisi keterjangkauan, skor indeks keterjangkauan layanan 4G di Indonesia adalah 69 dari 100. Indeks ini mengukur pencapaian target rencana pita lebar nasional di suatu negara. Untuk kasus Indonesia, persoalannya terletak pada ongkos membeli gawai yang bisa dipakai untuk mengakses layanan 4G.
”Layanan 4G sudah ada dan tersedia bahkan sampai ke daerah rural. Harga paket data yang ditawarkan sudah termasuk terjangkau. Akan tetapi, masih ada isu seputar ongkos gawai,” ujarnya.
Dari sisi kualitas layanan, kata Teddy, tidak semua pengalaman warga selama mengakses konten internet berjalan mulus. Layanan 4G bisa dimanfaatkan secara optimal terutama untuk mengakses video dan aplikasi percakapan.
Sementara untuk mengakses gim, kualitas layanan 4G untuk mengakses gim digital masih perlu ditingkatkan. Hal ini berkaitan dengan kecepatan yang dihasilkan oleh layanan 4G di Indonesia. Kecepatan internet di dunia untuk unduh rata-rata 55,34 Megabit per detik (Mbps), sedangkan di Indonesia hanya 22,14 Mbps.
Menurut dia, Indonesia bisa memiliki konektivitas layanan 4G yang lebih bermakna dan inklusif. ”Indonesia memiliki kebijakan pembangunan infrastruktur layanan telekomunikasi ke daerah tertinggal yang didanai dengan dana pelayanan universal atau USO. Hal ini perlu terus didukung oleh pelaku industri dan masyarakat dengan catatan pemerintah perlu meningkatkan transparansi dan aturan yang jelas,” ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada triwulan III-2019, layanan 4G menjangkau di 70.670 desa/kelurahan di Indonesia. Ada 12.548 desa/kelurahan yang belum terlayani 4G. Dari jumlah itu, 3.435 desa/kelurahan tidak termasuk wilayah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T) yang pembangunan infrastrukturnya menjadi tanggung jawab operator telekomunikasi. Sementara 9.113 desa/kelurahan lainnya berada di wilayah 3T menjadi sasaran pembangunan pemancar oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 96 Tahun 2014 tentang Rencana Pita Lebar Indonesia 2014–2019 disebutkan, target penetrasi jaringan tetap atau bergerak pita lebar telekomunikasi disertai kecepatan akses. Sebagai gambaran, di perkotaan, sampai akhir 2019, pembangunan jaringan tetap pita lebar ditargetkan mencapai tingkat penetrasi 30 persen dari total populasi dan 71 persen dari total rumah tangga dengan kecepatan 20 Mbps. Adapun harga akses layanan jadi 5 persen dari rata-rata pendapatan per kapita per bulan pada akhir 2019.
Penyesuaian
Direktur Eksekutif Indonesia Information Communication Technology Institute Heru Sutadi saat dihubungi Selasa (7/9/2021), di Jakarta, berpendapat, Rencana Pita Lebar Indonesia yang terangkum dalam Perpres No 96/2014 perlu direvisi, misalnya di sisi target kecepatan akses internet. Sejumlah negara telah mengarah pada kecepatan 100 Mbps.
Data Speedtest Global Index Januari 2020 dalam dokumen Rencana Strategis Kementerian Komunikasi dan Informatika 2020-2024 menyebutkan, Indonesia memiliki kecepatan akses unduh rata-rata 14,16 Mbps dan unggah 9,50 Mbps di jaringan bergerak pita lebar. Kecepatan itu berada di bawah kecepatan akses rata-rata dunia, yaitu unduh 31,95 Mbps dan unggah 11,32 Mbps.
Di jaringan tetap pita lebar, rata-rata kecepatan unduh 20,6 Mbps dan unggah 12,53 Mbps. Sementara di dunia, rata-rata kecepatan unduh 74,32 Mbps dan unggah 40,83 Mbps.
”Pembangunan jaringan tulang punggung nasional semestinya merata. Lalu, pembangunan pemancar seharusnya menggunakan teknologi akses terkini, yaitu minimal 4G. Untuk wilayah 3T, pemerintah harus menyubsidi peralatan infrastruktur jaringan,” ujarnya.
Heru menambahkan, pemerintah juga perlu mendorong agar ada migrasi pemakaian peralatan infrastruktur jaringan, seperti berteknologi akses seluler 3G menjadi 4G. Pemerintah perlu menjaga persaingan sehat di industri. Sebab, persaingan yang sehat melahirkan harga layanan terjangkau tetapi kualitas layanan tetap terjaga.
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sarwoto Atmosutarno berpendapat, jika pemerintah mau merevisi Rencana Pita Lebar Indonesia, sebaiknya menyesuaikan proyeksi perkembangan teknologi digital, rencana strategis industri 4.0, dan kebutuhan internet masyarakat.
”Sebagai prasyarat perbaikan ekonomi, keterjangkauan akses internet 100 persen ke masyarakat dan industri merupakan keniscayaan. Jaringan tetap dan jaringan bergerak pita lebar telekomunikasi saling melengkapi,” ujarnya.