Konsolidasi Operator Layanan Telekomunikasi Diperlukan
Dinamika industri telekomunikasi di Indonesia bergantung hasil proses merger dan akuisisi beberapa perusahaan penyelenggara jaringan tetap ataupun bergerak pita lebar.
JAKARTA, KOMPAS — Konsolidasi antar operator akan mendukung stabilitas harga layanan dan pertumbuhan yang menguntungkan bagi industri telekomunikasi. Masyarakat pengguna layanan telekomunikasi juga akan mendapatkan servis lebih baik.
Demikian salah satu temuan menarik Fitch Ratings Inc yang diungkap dalam laporan Indonesia Telco Easing Competition May Be Short-Lived yang dirilis Jumat (6/8/2021). Dinamika industri telekomunikasi di Indonesia saat ini menunggu kelanjutan diskusi antara Ooredoo QPSC dari Qatar dan CK Hutchison Holdings Limited untuk menggabungkan perusahaan telekomunikasi seluler mereka di Indonesia, yakni Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia.
Ooredoo QPSC dan CK Hutchison Holdings Limited telah memperpanjang periode eksklusivitas untuk perjanjian mereka yang tidak mengikat secara hukum hingga 16 Agustus 2021. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan lebih banyak waktu menyelesaikan negosiasi persyaratan konsolidasi tingkat akhir.
Kemudian, operator telekomunikasi seluler XL dan perusahaan induknya, Axiata Group Berhad, telah menandatangani perjanjian tidak mengikat dengan pemegang saham utama penyedia layanan jaringan tetap pita lebar dan televisi kabel berkecepatan tinggi PT Link Net Tbk (Linknet) untuk mengakuisisi 66 persen saham Linknet. XL mengharapkan bisa menandatangani kesepakatan definitif dalam waktu empat minggu, tergantung pada negosiasi.
Fitch Ratings Inc menilai tren peningkatan permintaan layanan jaringan tetap pita lebar memengaruhi XL untuk menjadi operator telekomunikasi konvergensi antara penyedia jaringan tetap dan jaringan bergerak pita lebar. Saat ini, 580.000 rumah telah dilewati jaringan tetap pita lebar (fiber to the home/FTTH) XL.
Fitch Ratings Inc memperkirakan rata-rata belanja modal operator telekomunikasi seluler, di luar alokasi untuk spektrum frekuensi, tetap tinggi atau mencapai 20 persen dari pendapatan sepanjang tahun 2021. Belanja modal tersebut dipakai mendanai perluasan infrastruktur jaringan, seperti fiberisasi. Fiberisasi bisa dikatakan sebagai penggantian kabel jaringan lama ke bentuk serat optik. Fiberisasi juga bisa berarti membangun jaringan berupa serat optik.
Belanja modal tersebut dipakai mendanai perluasan infrastruktur jaringan, seperti fiberisasi. Fiberisasi bisa dikatakan sebagai penggantian kabel jaringan lama ke bentuk serat optik. Fiberisasi juga bisa berarti membangun jaringan berupa serat optik.
Telkom Indonesia, melalui anak usaha Telkomsel, menguasai lebih dari 50 persen pasar layanan seluler di Indonesia berdasarkan pendapatan, sementara XL dan Indosat masing-masing memiliki kurang dari 20 persen. Dalam laporan itu, Fitch Ratings Inc menyebut, strategi penetapan harga Telkomsel akan terus membentuk persaingan di pasar. Dua operator telekomunikasi seluler yang punya pangsa pasar besar setelah Telkomsel telah memiliki persaingan rasional yang berkontribusi positif terhadap pendapatan perusahaan.
Jika terjadi konsolidasi di industri telekomunikasi, Fitch Ratings Inc meyakini hal itu akan mendukung kestabilan harga dan pertumbuhan industri yang menguntungkan. Meski demikian, Telkomsel dan Telkom Indonesia kemungkinan besar akan tetap mempertahankan pangsa pasar mereka, baik di layanan jaringan tetap maupun jaringan bergerak pita lebar. Jangkauan jenis infrastruktur telekomunikasi milik mereka ini telah mencakup nasional.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI)—yang membawahkan operator telekomunikasi seluler—Ririek Adriansyah saat dikonfirmasi, Minggu (8/8/2021), mengatakan, jika dibandingkan dengan pasar layanan telekomunikasi di negara lain, harga layanan telekomunikasi di Indonesia termasuk salah satu yang paling murah.
Jika dibandingkan dengan pasar layanan telekomunikasi di negara lain, harga layanan telekomunikasi di Indonesia termasuk salah satu yang paling murah. (Ririek Adriansyah)
Dalam laporan Bank Dunia Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia(Juli 2021) disebutkan, harga paket data prabayar seluler di Indonesi untuk 1 gigabit (GB) dengan rata-rata 0,95 persen dari pendapatan nasional bruto per kapita. Ini dinilai lebih rendah dari rata-rata ASEAN sebesar 1,4 persen dan rata-rata global sebesar 5,5 persen.
Ririek memandang persaingan harga layanan yang semakin rasional alias tiada lagi perang harga rendah pada 2021 akan membuat kualitas layanan telekomunikasi membaik. Adanya potensi terjadi konsolidasi juga akan mendorong operator telekomunikasi bertindak lebih rasional dalam melakukan persaingan. Dengan begitu, diharapkan industri akan terus membaik, termasuk kualitas layanan dan investasi penambahan infrastruktur jaringan. Hal itu bukan hanya bermanfaat baik bagi operator telekomunikasi, melainkan juga bagi seluruh masyarakat.
Ririek menambahkan, pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung juga turut memengaruhi kinerja industri telekomunikasi. Sisi positif pandemi adalah masyarakat masih cenderung menjaga pembatasan sosial sehingga lebih banyak menggunakan layanan telekomunikasi. Namun,di sisi lain daya beli mereka terganggu karena pandemi.
Baca juga: Konsumsi Data Internet Besar, Operator Telekomunikasi Seluler Belum Tentu Untung
Investasi
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel)—yang membawahkan perusahaan telekomunikasi penyelenggara jaringan tetap—Muhammad Arif Angga berpendapat, konsolidasi akan berdampak besar terhadap belanja operasional. Ini dikarenakan perusahaan telekomunikasi yang akan konsolidasi bergerak di bidang layanan yang sama. Dampak berikutnya, jumlah pelanggan dari operator yang berkonsolidasi meningkat.
Dalam konteks XL melalui perusahaan induknya Axiata Group Berhard mengakuisisi saham LinkNet yang anggota Apjatel, dia menilai XL akan memiliki layanan telekomunikasi secara menyeluruh. XL juga bisa menciptakan paket layanan telekomunikasi lebih kreatif bagi pelanggan lama XL ataupun LinkNet.
”Sejak lama, jumlah perusahaan yang mengantongi izin penyelenggaraan telekomunikasi yang dikeluarkan pemerintah sudah banyak, apalagi berkaitan dengan bisnis jaringan dan akses internet (internet service provider/ISP). Sekitar 500 perseroan terbatas. Saya sepakat dengan yang dikatakan Fitch (Fitch Ratings Inc) bahwa konsolidasi akan mendorong pertumbuhan yang menguntungkan industri telekomunikasi,” imbuh Arif.
Baca juga: Smartfren dan Moratelindo Bersiap Merger
Sektor industri telekomunikasi di Indonesia, sejak satu dekade terakhir, tumbuh pesat ditandai pertumbuhan sektoral di produk domestik bruto di sekitaran sepuluh persen. Pandemi Covid-19 mampu mengakselerasi pertumbuhan industri telekomunikasi karena berbagai aspek kehidupan bertransformasi ke digital, seperti beli barang, bayar transaksi, belajar-mengajar, dan menonton konten video beraliran langsung. (Dendi Ramdani).
Vice President for Industry and Regional Research PT Bank Mandiri Tbk Dendi Ramdani berpandangan senada. Dia menilai jumlah perusahaan telekomunikasi di Indonesia terlalu banyak dengan sejumlah perusahaan di antaranya berskala usahanya relatif kecil.
Oleh karena itu, mereka perlu memperbesar skala usaha agar bisa mencapai skala ekonomis, efisien, dan lebih mampu mencetak keuntungan. Merger atau akuisisi menjadi cara untuk menambah skala usaha, meningkatkan penetrasi pasar, kualitas pelayanan, dan menjadi lebih kompetitif dibandingkan pesaing.
Dia mengatakan, sektor industri telekomunikasi di Indonesia, sejak satu dekade terakhir, tumbuh pesat ditandai pertumbuhan sektoral di produk domestik bruto di sekitaran sepuluh persen. Pandemi Covid-19 mampu mengakselerasi pertumbuhan industri telekomunikasi karena berbagai aspek kehidupan bertransformasi ke digital, seperti beli barang, bayar transaksi, belajar-mengajar, dan menonton konten video beraliran langsung. Kebutuhan internet yang cenderung naik juga menuntut peningkatan kapasitas infrastruktur, seperti jaringan tetap pita lebar, pemancar, dan pendukung lainnya.
”Tidak mengherankan bila belanja modal tetap besar. Para pelaku industri telekomunikasi perlu mengantisipasi diri menghadapi masa depan tren perilaku konsumsi internet masyarakat,” imbuhnya.
Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia Institut Teknologi Bandung Ian Joseph Matheus Edward berpendapat agar persaingan di industri telekomunikasi semakin sehat, idealnya minimal ada tiga dan maksimal empat pelaku industri telekomunikasi seluler.
Sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, konsolidasi akan membuat utilisasi sumber daya, khususnya spektrum frekuensi, lebih optimal dan efisien. Dengan demikian, masyarakat dapat menikmati layanan lebih baik dengan harga wajar dan sesuai daya beli, bukan sekadar murah.
Baca juga: Saatnya Makin Gesit Bertransformasi