Keberadaan teknologi akses seluler 5G mendorong perubahan lanskap di industri telekomunikasi. Perusahaan telekomunikasi pun dituntut semakin gesit memanfaatkan arus besar perubahan saat ini.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Sejak pandemi Covid-19, konektivitas berperan makin krusial dalam semua aspek kehidupan. Mulai dari keandalan panggilan pertemuan virtual via Zoom hingga menonton langsung (live streaming) aneka konten video. Deloitte dalam laporan Understanding The Sector Impact of Covid-19:Telecommunications (2020) menyebutkan, banyak perusahaan telekomunikasi di dunia melaporkan lonjakan penggunaan jaringan. Di beberapa negara, volume panggilan suara juga meningkat secara eksponensial.
Di Indonesia, sesuai laporan riset Telecom Sector, A Good Change for Direction dari Trimegah Sekuritas (Mei 2021), lalu lintas data tiga operator telekomunikasi seluler - Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat Ooredoo - naik dari 13.246 petabit pada 2019 menjadi 19.431 petabit pada 2020. Ini semakin menggarisbawahi pentingnya telekomunikasi.
Sekitar satu dekade lalu, para operator telekomunikasi menghabiskan miliaran dollar AS untuk menggelar jaringan dan layanan 4G LTE. Konsumsi paket data yang mereka tawarkan digunakan untuk mengakses aplikasi internet (over-the-top/OTT), seperti media sosial dan mesin pencari. Sampai-sampai muncul perbincangan bahwa operator telekomunikasi hanya bisa menjadi penyedia "pipa (jaringan)", yang akan berdampak mengurangi nilai mereka.
Saat 5G mulai marak berkembang bersamaan dengan masih berlangsungnya pandemi Covid-19, perusahaan telekomunikasi berpeluang menghadapi risiko terulangnya sejarah. Marketing Director Openet David McGlew dalam tulisannya The Rise of Telco Brand Value (Telecoms, 6 Mei 2021) mengatakan, sudah ada perusahaan teknologi informasi yang lebih besar mengincar bisnis jaringan telekomunikasi.
Mungkin saja ini sekali lagi akan membuat perusahaan telekomunikasi mendapat julukan "dumb pipe", sekadar penyedia "pipa". Oleh karena itu, menurutnya, sangat penting perusahaan telekomunikasi menghilangkan stigma itu, menjadi pemain integral di ekosistem 5G, dan menambah pendapatan ataupun nilai perusahaan.
Sejumlah perusahaan telekomunikasi di dunia sebenarnya sudah mulai aktif terjun bermain di produk dan jasa digital. Berdasar riset McKinsey (April 2021), perusahaan telekomunikasi membukukan pendapatan produk dan jasa digital rata-rata 10 - 15 persen dari total pendapatan di luar bisnis konektivitas.
Namun, hal itu tak sederhana. Ada kalanya inovasi produk atau jasa gagal. Sebab, dukungan terhadap aktivitas daring dan proses operasi perusahaan telekomunikasi digital bukanlah hal utama yang seharusnya jadi pertimbangan perusahaan telekomunikasi.
Menjadi perusahaan telekomunikasi digital atau digital telco, seperti digaungkan sejumlah operator, termasuk di Indonesia, semestinya berpusat ke pelanggan.
Contoh sederhana adalah menawarkan layanan transparan sekaligus menambah nilai pengalaman pelanggan mereka secara keseluruhan. Dari aspek organisasi lainnya, McKinsey dalam laporan A Blueprit for Telecom's Critical Reinvention memandang, perusahaan telekomunikasi tampaknya perlu lebih gesit bertransformasi, menawarkan solusi untuk segmen bisnis ke bisnis (B2B), dan memonetisasi data.
Pendekatan paling logis adalah menjalin sinergi dan kolaborasi antara perusahaan telekomunikasi seluler dan perusahaan OTT yang sudah ahli di kategori layanan digital masing-masing. Perusahaan telekomunikasi bisa pula menggunakan jaringan bersama (network sharing) serta membedakan diri melalui kepuasan pengalaman pelanggan dan diferensiasi produk.
Di luar network sharing, sudah berkembang pula teknologi jaringan akses radio terbuka yang secara fundamental mengatur bisnis perusahaan telekomunikasi. Teknologi baru itu menawarkan peluang baru bagi pemain lama di industri telekomunikasi saat menerapkan layanan 5G.
Di Indonesia, segala kemungkinan tersebut diakomodasi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sorotan utamanya adalah berbagi spektrum frekuensi radio untuk teknologi baru dan berbagi infrastruktur. Sejumlah analis serta praktisi telekomunikasi meyakini, semangat regulasi itu adalah efisiensi. Adanya kemungkinan pengalihan spektrum frekuensi radio akan membuka pintu konsolidasi industri.
Selain itu, pada UU Cipta Kerja juga dimuat pengaturan tarif penyelenggara jaringan maupun jasa telekomunikasi yang memungkinkan dilakukan oleh pemerintah pusat dengan penetapan formula penghitungan. Pemerintah pusat dapat menetapkan tarif batas atas maupun batas bawah penyelenggaraan telekomunikasi dengan memerhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat.
Selama ini, tarif jadi acuan mengakuisisi pelanggan, sehingga mengakibatkan beberapa kali "perang harga" yang berdampak buruk ke konsumen dan pertumbuhan perusahaan sendiri. Di masa depan, persaingan seharusnya berkaitan dengan keunggulan layanan, bermain dengan aneka produk digital yang menghasilkan aliran pendapatan baru.
Perusahaan telekomunikasi perlu selalu membentuk dirinya, mulai dari upaya memperkenalkan teknologi akses seluler terbaru, varian teknologi lainnya, hingga urusan biaya layanan ke pelanggan. Masa depan lanskap telekomunikasi akan bergantung pada sejauh mana perusahaan telekomunikasi saat ini memanfaatkan arus besar perubahan nan cepat di ranah digital. Satu hal yang pasti, pengalaman pelanggan mesti selalu diutamakan