Aksi konsolidasi antar-perusahaan telekomunikasi bertujuan melakukan efisiensi dan meningkatkan daya saing dalam memberikan layanan berteknologi akses seluler terbaru, seperti 5G.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Operator telekomunikasi PT Smart Telecom Tbk atau Smartfren berencana merger dengan PT Mora Telematika Indonesia atau Moretelindo, penyelenggara infrastruktur jaringan serat optik telekomunikasi. Rencana aksi korporasi ini bertujuan memuluskan penggelaran layanan 5G.
Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys kepada Kompas, Jumat (28/5/2021), di Jakarta, menyampaikan, pihaknya baru saja menyampaikan keterbukaan informasi berupa ringkasan rancangan penggabungan usaha dan pernyataan pendaftaran penggabungan usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pelaksanaan aksi korporasi diharapkan secepatnya terjadi.
Menurut dia, selama ini, Moratelindo telah menjadi mitra bisnis Smartfren. Aksi korporasi merger bisa dikatakan meningkatkan kolaborasi keduanya. ”(Saham) Moratel akan lebih besar dibanding kami saat penggabungan usaha,” ujar Merza.
Menurut Merza, tantangan penggelaran komersial 5G adalah ketersediaan kapasitas jaringan penghubung ke semua pemancar. Hal itu hanya bisa dilakukan menggunakan teknologi fiber optik. Moratelindo dinilai punya keandalan dalam urusan itu.
Mengutip laporan tahunan Smartfren, pada 2020 pendapatan usaha Smartfren tercatat Rp 9,407 triliun, beban usaha Rp 10,192 triliun, serta jumlah liabilitas dan ekuitas Rp 38,64 triliun.
Equity Research Analyst di Trimegah Sekuritas Richardson Raymond melalui laporan riset Telecom Sector: A Good Change of Direction tanggal 27 Mei 2021, mengatakan, masa depan layanan telekomunikasi bergerak dari menuju teknologi 4G LTE ke 5G. Kecepatan akses internet semakin tinggi yang ditawarkan kedua teknologi akses seluler itu akan mendorong pelanggan menggunakan lebih banyak paket data.
Spektrum frekuensi akan menjadi semakin penting, terutama untuk layanan berteknologi akses seluler 5G yang membutuhkan setidaknya 800-100 MHz di jenis pita frekuensi menengah dan lebar pita frekuensi sekitar 1 gigahertz (GHz) di jenis milimeter wave bands.
Meski masih di persimpangan, Richardson menilai, sinergi atau konsolidasi antaroperator telekomunikasi menjadi salah satu cara paling efektif untuk mendapatkan lebih banyak spektrum frekuensi. Dampak berikutnya yaitu efisiensi operasional bisnis sehingga bisa bersaing setara dengan perusahaan multinasional lainnya.
Pasar akan mengawasi Ooredoo dan CK Hutchison dengan cermat. Keduanya telah memperpanjang periode eksklusivitas untuk nota kesepahaman tidak mengikat hukum tentang merger Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia hingga 30 Juni 2021. Baik Ooredoo maupun CK Hutchison menjadi pemegang saham dominan masing-masing dua perusahaan telekomunikasi seluler itu.
”Jika merger Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia berhasil, hal itu akan bisa memotivasi industri telekomunikasi untuk mengejar konsolidasi. Kami yakin konsolidasi industri akan menguntungkan karena akan membantu meningkatkan daya saing industri serta menghasilkan peningkatan efisiensi modal, layanan jaringan, dan profitabilitas,” ujarnya. Peraturan pemerintah atau keputusan menteri diperlukan agar mendukung.
Kami yakin konsolidasi industri akan menguntungkan karena akan membantu meningkatkan daya saing industri serta menghasilkan peningkatan efisiensi modal, layanan jaringan, dan profitabilitas. (Richardson Raymond)
Pada 2020, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mengalami kontraksi -2,07 persen dibanding setahun sebelumnya. Sementara operator telekomunikasi tiga terbesar, Telkom Indonesia, XL Axiata, dan Indosat Ooredoo, mencatatkan pertumbuhan pendapatan layanan seluler -0,9 persen dibanding setahun sebelumnya.
Untuk tahun 2021, dia memperkirakan sektor telekomunikasi akan pulih seiring dengan pemulihan ekonomi. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan PDB 2021 berada pada kisaran 4,1-5,1 persen. Kecepatan pemulihan akan bergantung pada kemajuan vaksinasi dan perkembangan penanganan kasus Covid-19.
Tiga terbesar operator telekomunikasi di Indonesia diperkirakan bisa mencatatkan pertumbuhan pendapatan 3,3 persen pada akhir 2021 dan 8,1 persen pada akhir 2022. Argumen Richardson, lanskap persaingan antar-operator telekomunikasi membaik dan ada pengendalian perang harga layanan.
”Meski demikian, risiko pandemi Covid-19 berkepanjangan harus diwaspadai industri telekomunikasi. Perekonomian yang melemah akan memperlambat pemulihan daya beli konsumen terhadap layanan telekomunikasi,” katanya.