Koalisi sipil mendorong pemerintah mengatasi problem pangan dengan mengedepankan prinsip kedaulatan. Liberalisasi yang berlanjut dinilai akan sulit mendorong sistem pangan global yang lebih adil dan berkelanjutan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini / Pradipta Pandu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi sistem pangan yang disuarakan dalam Pra-Konferensi Tingkat Tinggi Sistem Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa dinilai sulit mendorong sistem pangan yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan. Pengaturan sistem pangan dunia kini dinilai makin proliberalisasi.
Demikian sebagian poin yang disuarakan koalisi 28 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan terkait penyelenggaraan Pra-Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Sistem Pangan Dunia PBB. Komite mendorong pemerintah mengatasi permasalahan pangan dengan prinsip kedaulatan pangan.
Pra-KTT Sistem Pangan Dunia dijadwalkan berlangsung di Roma, 26-28 Juli 2021. Acara digelar dengan format hibrida, yakni daring dan tatap muka, dan akan mendasari puncak KTT Sistem Pangan PBB yang dijadwalkan di New York, AS, September 2021.
Deputi Riset dan Advokasi Foodfirst Information and Action Network (FIAN) Indonesia Gusti Shabia menyatakan, sistem pangan global masih diwarnai ketimpangan, seperti dihadapi Indonesia yang terikat dalam rantai industri pangan global.
Indonesia menjadi pemasok bahan baku pangan dunia dengan harga yang ditekan, tetapi terikat pada impor yang dilandasi perdagangan bebas. Sementara itu, produsen pangan skala kecil masih jauh dari pendapatan layak.
”Ketimpangan kekuatan negara dalam sistem pangan global antara lain tecermin dari Indonesia yang menjadi target pasar dan ketergantungan produk pangan impor,” kata Shabia, saat dihubungi, Senin (26/7/2021).
KTT Sistem Pangan Dunia menjadi wadah dalam mengentaskan masalah kelaparan dan gizi di banyak negara. Berdasarkan laporan State of the Food Security and Nutrition in the World 2021, tercatat lebih dari 811 juta penduduk dunia menghadapi kelaparan pada tahun 2020, naik 116 juta orang jika dibandingkan tahun 2019.
Kekhawatiran terhadap liberalisasi pangan mencuat karena penyelenggaraan KTT Sistem Pangan Dunia tahun ini melibatkan Forum Ekonomi Dunia yang beranggotakan korporasi dan elite politik dari negara-negara industri besar. Keterlibatan korporasi besar berpotensi menyingkirkan peran masyarakat sipil, produsen pangan skala kecil, dan gerakan petani untuk mengembangkan sistem pangan yang berkeadilan.
Kebijakan nasional
Koordinator Advokasi Indonesia for Global Justice (IGJ) Rahmat Maulana Sidik menyampaikan, sikap kritis dari koalisi masyarakat sipil dilakukan karena keterlibatan korporasi masih tampak dominan dalam penyelenggaraan KTT ini. Hal tersebut akan sangat merugikan bagi kepentingan masyarakat sektor pertanian dan menghambat kedaulatan pangan di Indonesia dan secara global.
”Hasil KTT ini sering dijadikan rekomendasi atau kebijakan dalam konteks implementasi hukum nasional. Terkadang Pemerintah Indonesia kebingungan dan tidak punya arah pembangunan ekonomi di sektor pertanian dan pangan sehingga mengadopsi kebijakan yang sudah ada di tingkat global,” ujarnya.
Hasil analisis IGJ, terdapat 40 perjanjian perdagangan bebas yang sedang diikuti atau disepakati Pemerintah Indonesia dan ini berpotensi mengubah kebijakan hukum nasional, khususnya di sektor pangan.
Menurut Maulana, salah satu contoh kebijakan nasional yang diadopsi dari tingkat global ialah liberalisasi sektor pangan dalam konteks perjanjian perdagangan bebas. Hasil analisis IGJ, terdapat 40 perjanjian perdagangan bebas yang sedang diikuti atau disepakati Pemerintah Indonesia dan ini berpotensi mengubah kebijakan hukum nasional, khususnya di sektor pangan.
”Kebijakan di Indonesia sepertinya sudah mengarah ke sana dengan adanya Kementerian Pertanian yang membuat peta jalan korporatisasi petani tahun lalu. Konteks seperti inilah yang dikhawatirkan diadopsi dari aturan internasional. Pemerintah tidak melihat bagaimana pembangunan pertanian dalam negeri bisa berdaulat dan mandiri secara hakiki,” ujarnya.
Berkelanjutan
Mengutip laman PBB, www.un.org, KTT Sistem Pangan PBB akan menegaskan kembali komitmen untuk mempromosikan hak asasi manusia dan memastikan kelompok yang paling terpinggirkan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan mendapat manfaat dari proses KTT.
Pra-KTT itu menghadirkan perwakilan petani, masyarakat adat, masyarakat sipil, peneliti, sektor swasta, dan pembuat kebijakan dengan tujuan memanfaatkan kekuatan sistem pangan dalam mendorong pencapaian 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Forum itu bertujuan memberikan pendekatan berbasis bukti dan ilmiah terbaru untuk transformasi sistem pangan dari seluruh dunia, meluncurkan serangkaian komitmen baru melalui koalisi aksi, serta memobilisasi pembiayaan dan kemitraan baru.
Shabia menilai pemerintah perlu keluar dari jerat ketimpangan sistem pangan global dengan serius mendorong kedaulatan pangan serta menjembatani pertanian dan pangan yang mandiri. Korporatisasi pangan yang mengarah pada liberalisasi menjauhkan upaya mencapai kedaulatan.
Menurut Kepala Badan Khusus Kampanye Hak Asasi Petani Serikat Petani Indonesia Afgan Fadilla Kaban, kedaulatan pangan merupakan solusi utama untuk mengatasi masalah pangan.
Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana menilai, mayoritas nelayan kecil selama ini sangat menggantungkan hidup pada perairan. Ekspansi modal dan intensifikasi usaha yang mendorong industrialisasi laut kerap memicu konflik horizontal yang meminggirkan nelayan kecil.