Ada sejumlah indikator yang selama ini jadi pertimbangan atas keputusan mengimpor beras, antara lain, terkait situasi produksi, harga, dan stok beras pemerintah. Apakah sejumlah indikator itu terpenuhi?
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·5 menit baca
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Petani berharap pemerintah tidak mengimpor beras dan memprioritaskan penyerapan beras petani di Desa Brobot, Purbalingga, Jawa Tengah, Selasa (23/3/2021).
Sudah hampir sebulan wacana impor beras bergulir di ruang publik. Namun, belum ada tanda polemik mereda. Penolakan berlanjut. Selain petani, kelompok tani, asosiasi petani, belakangan giliran kepala daerah, organisasi kemasyarakatan, dan akademisi memprotes rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras tahun ini.
Pemerintah berargumen impor diperlukan untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP) di Perum Bulog. Sebab, stok yang tidak sampai 1 juta ton saat ini terlalu kecil sehingga dikhawatirkan tidak cukup berdaya saat dibutuhkan untuk mengintervensi pasar.
Dalam rapat dengan Komisi VI DPR, Senin (22/3/2021), Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyebutkan, cadangan beras Bulog bisa di bawah 500.000 ton tahun ini. Dengan stok sebesar itu, dia khawatir pemerintah dipojokkan oleh pedagang dan spekulan. Selain itu, penyerapan beras (oleh Bulog) akhir-akhir ini tidak berjalan dengan baik dan membuat stok Bulog rendah (Kompas, 24/3/2021).
Apabila rendahnya stok pemerintah dan seretnya penyerapan oleh Bulog dianalogikan sebagai penyakit, apakah impor menjadi obat yang tepat saat ini? Mari membedahnya.
Pertama, impor pangan selama ini ditempuh guna mengatasi kekurangan atau ketiadaan pasokan di dalam negeri. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan, impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.
Oke, lalu apakah Indonesia kekurangan beras saat ini? Jika menilik data produksi tiga tahun terakhir, angkanya selalu melebihi kebutuhan konsumsi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi beras nasional mencapai 33,9 juta ton tahun 2018, lalu 31,31 juta ton tahun 2019, dan 31,33 juta ton tahun 2020, selalu di atas kebutuhan beras nasional yang rata-rata 29 juta ton per tahun. Artinya, tiga tahun terakhir Indonesia surplus beras.
Kedua, keputusan impor biasanya mempertimbangkan situasi harga di pasar, terutama beras medium yang dikonsumsi mayoritas penduduk. Apakah harga beras medium melonjak atau ada potensi lonjakan harga beras beberapa bulan ke depan?
Harga beras tiga tahun terakhir relatif stabil. BPS mencatat, rata-rata harga bulanan beras medium berkisar Rp 9.300-9.900 per kilogram (kg), puncaknya biasa terjadi di bulan Januari-Februari sebagai dampak paceklik panen di akhir tahun.
Apakah situasi harga beras ke depan mengkhawatirkan sehingga Indonesia membutuhkan pasokan dari luar negeri? Tidak. Situasi awal tahun ini justru sebaliknya. Rata-rata harga beras medium nasional pada Januari dan Februari 2021 hanya berkisar Rp 9.300-9.400 per kg, terendah dibandingkan rata-rata harga bulanan di Januari-Februari tahun 2018-2020 yang berkisar Rp 9.800-10.200 per kg. Data produksi yang surplus tergambar atau sejalan dengan situasi harga di pasar dua tahun terakhir.
Kepala Gudang Bulog Ketapang II Ashadi menunjukkan tumpukan beras dalam karung sisa impor tahun 2018 sebanyak 2.200 ton yang masih tersimpan di Gudang Bulog Ketapang II, Banyuwangi, Senin (22/3/2021). Masih ada 3.000 ton beras sisa impor yang tersimpan di sejumlah gudang Bulog Banyuwangi dari total 20.000 ton beras asal Vietnam yang turun di Banyuwangi pada tahun 2018 lalu.
Jika tidak cukup dengan data BPS, mari tengok situasi harga di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta. PT Food Station Tjipinang Jaya mencatat, harga rata-rata beras medium pada Januari-Maret 2021 berkisar Rp 9.999-10.202 per kg, lebih rendah dibandingkan Januari-Maret tahun 2020 atau 2019. Situasi harga menggambarkan pasokan beras yang meningkat sehingga harga cenderung turun awal tahun ini.
Ketiga, situasi stok beras pemerintah dan Bulog. Faktor ini jadi pertimbangan pemerintah untuk mengimpor 500.000 ton beras untuk CBP dan 500.000 ton untuk kebutuhan Bulog. Per 14 Maret 2021, stok beras di Bulog mencapai 883.585 ton, rinciannya 859.877 ton CBP dan 23.708 ton beras komersial. Stok sebesar itu memang kurang ideal dan ”kurang berwibawa” di mata pelaku pasar. Apalagi sebagian di antaranya merupakan hasil pengadaan tahun 2018 yang kini sudah turun mutu.
Oleh karena itu, pemerintah berharap impor dapat mendongkrak cadangan beras (iron stock) setidaknya 1-1,5 juta ton. Namun, logika publik menggugat rencana itu karena surplus produksi dan harga yang relatif stabil di dalam negeri tiga tahun terakhir. Selain itu, rencana impor tersebar saat petani tengah memasuki masa panen raya dan harga gabah cenderung turun.
Kenapa pemerintah tidak membeli beras petani untuk memperkuat CBP? Harga beras di Indonesia memang 1,5-2 kali lebih mahal ketimbang harga beras di Vietnam atau Thailand, terutama masih tingginya ongkos produksi. Namun, apakah pemerintah akan membiarkan harga gabah anjlok hingga di bawah ongkos produksi dan sumber penghidupan belasan juta rumah tangga petani padi terganggu?
Lantas jelas, problemnya bukan soal produksi yang kurang, melainkan penyerapan yang tak optimal. Kenapa? Perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan, dari natura ke transfer, mau tak mau telah menutup saluran pengeluaran beras Bulog. Bulog kehilangan setidaknya 2,5-3,4 juta ton pasar (captive market) beras setahun seiring perubahan itu. Maka, gairah menyerap pun redup. Sayangnya hingga kini belum ada solusi jitu atas problem itu.
Selain mengatasi problem yang dihadapi Bulog, sebagaimana rekomendasi Ombudsman RI, pemerintah dinilai perlu menunda rencana impor beras tahun ini.
Keputusan impor perlu menunggu proyeksi produksi tahun 2021 yang lebih kokoh. Seperti bertahun-tahun sebelumnya, kebijakan impor diputuskan setelah pemerintah mendapatkan data yang akurat tentang produksi beras nasional di tahun berjalan.
Kini ada pekerjaan yang mendesak dilakukan pemerintah, yakni menyelamatkan harga gabah di tingkat petani yang belakangan anjlok hingga di bawah harga pembelian pemerintah (HPP).
Di beberapa sentra, harga gabah ”terjun” hingga ke level Rp 3.500-Rp 3.800 per kilogram kering panen (GKP), jauh di bawah HPP yang ditetapkan Rp 4.200 per kg GKP. Dengan harga jual sebesar itu, petani menanggung rugi musim ini.
Di tengah kerugian yang mendera petani, apakah pemerintah tetap akan merealisasikan impor? Importasi memang belum jelas kapan akan terealisasi. Namun, dampaknya menghancurkan periuk petani padi di dalam negeri.