Distributor dan pedagang masker berusaha mengelabui konsumen. Mereka berdalih produknya bisa dipakai tenaga kesehatan meski tidak memenuhi standar dan bukan buat peruntukannya.
Oleh
Dhanang David Aritonang, Insan Alfajri, Irene Sarwindaningrum, Andy Riza Hidayat
·5 menit baca
Distributor hingga pedagang melakukan berbagai macam trik untuk mengedarkan masker tak berstandar. Mereka mengemas ulang produk impor, mengelabui calon pembeli dengan label lembaga pemerintah, hingga mengecoh konsumen dengan standar filtrasi palsu.
Di distributor masker impor PT Berkah Bersama Alkindo, misalnya, karyawan mengemas ulang masker merek V-Shine buatan China sebelum dijual ke pasar. Masker yang belum dikemas berada dalam selubung plastik, sementara kemasan kardus di tempat terpisah di satu ruangan.
Kemasan dalam kardus kemudian dilabeli logo Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan izin produksi Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Seorang pegawai lalu menawari Kompas masker yang dia klaim dapat digunakan tenaga kesehatan. ”Kalau untuk tenaga kesehatan, kami ada jenis masker medis dengan tipe FFP2NR. Harganya Rp 2.000 untuk per satuan,” ucap Ari, salah satu pegawai PT Berkah Bersama Alkindo, Sabtu (27/2/2021).
Saat berada di kantornya di kawasan niaga Roxy Mas, Jakarta Pusat, Ari mengakui masker dengan merek V-Shine itu tidak memiliki izin edar dari Kemenkes. Namun, dia menekankan bahwa produknya telah mendapat izin dari BNPB. ”Ini bukan izin edar (sambil menunjuk kardus masker V-Shine), melainkan izin dari BNPB. Ini barangnya dari China semua karena kalau kita bikin sendiri, susah,” ujarnya.
Telusuri lebih lanjut tentang liputan investigasi ini
Sementara itu, distributor PT Mandiri Nugraha Ajitunggal mengemas masker merek Life Resources dengan label masker respirator N95. Distributor melengkapi kemasan itu dengan narasi bahwa masker dapat digunakan untuk menahan serpihan debu dan percikan cat semprot (airbrush and spraycan). Narasi pada kemasan masker itu juga menyebut bahwa masker itu bisa melindungi pengguna dari virus SARS, flu burung, dan flu babi.
Meski ada narasi itu, Komisaris PT Mandiri Nugraha Ajitunggal Deepak Pritamdas Gurbani memastikan maskernya bukan untuk tenaga kesehatan. ”Penjelasan yang ada pada kemasan kami terjemahan dari pabriknya di China,” kata Deepak mengklarifikasi.
Di level pedagang daring ataupun luring, mereka juga kerap berusaha meyakinkan konsumen bahwa masker yang dijual bisa untuk tenaga kesehatan meski peruntukannya bukan untuk mereka.
Di toko daring, salah seorang pedagang asal Karawang, Jawa Barat, umpamanya, meyakinkan calon pembeli bahwa masker yang dijual masker asli dengan harga Rp 4.000-Rp 22.000 per lembar.
Ia mengaku masker dagangannya dapat digunakan untuk tenaga kesehatan dengan mencantumkan logo BNPB pada sebagian produk jualannya. ”Kami menjual masker orisinal, bisa juga didonasikan untuk keperluan tenaga kesehatan,” ujar pengelola lapak itu.
Hal serupa dilakukan seorang pedagang toko daring di Jakarta Selatan. Dia menjelaskan masker yang dijual Rp 27.000 per lembar itu merupakan standar WHO dan dapat melindungi sistem pernapasan dari penularan virus melalui udara, seperti Covid-19, flu burung, MERS, SARS, TBC, asma dari debu lingkungan, hingga infeksi pernapasan HIV/AIDS.
Faktanya, puluhan masker yang dipasarkan distributor hingga pedagang itu tidak memenuhi standar kualitas sesuai hasil uji Laboratorium Kualitas Udara Institut Teknologi Bandung.
Importir dadakan
Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium Randy H Teguh melihat praktik mengelabui konsumen ini sedang terjadi secara terang-terangan. Melimpahnya masker impor, katanya, tidak terlepas dari kemudahan impor melalui rekomendasi BNPB.
Mengutip data Biro Hukum BNPB, dalam rentang waktu April 2020 hingga Maret 2021, lembaga itu menerbitkan 16.415 surat pengecualian ketentuan tata niaga impor. Adapun subyek pemohon rekomendasi terdiri dari lembaga pemerintah, yayasan, perseorangan, dan sektor swasta.
Sebagian penerima rekomendasi bukan pelaku usaha yang bergerak di bidang alat-alat kesehatan. ”Begitu keluar relaksasi itu, banyak sekali importir dadakan, yang bukan pelaku usaha alat kesehatan,” kata Randy.
Pengajuan rekomendasi kemudahan impor alat kesehatan dapat dilakukan secara daring melalui portal insw.go.id. Di laman ini, pemohon terbagi dalam kolom hibah, pribadi, dan komersial. Untuk kolom hibah dan pribadi, tak ada syarat pemohon memiliki izin sebagai penyalur alat kesehatan. Dia menduga impor dari jalur hibah dan individu ini banyak disalahgunakan. ”Posisi kami, menentang kemudahan ini,” ucapnya.
Merugikan konsumen
Sejauh ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima sekitar 150 aduan konsumen terkait alat kesehatan, termasuk masker untuk tenaga kesehatan. ”Hingga saat ini masih ada pengaduan soal masker abal-abal yang tak sesuai standar,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.
Menurut Tulus, konsumen dirugikan secara materiil jika masker abal-abal itu dijual dengan harga yang mahal seperti seakan-seakan masker asli. Ia pun menjelaskan, secara kasatmata, konsumen sulit membedakan mana masker yang sesuai SNI atau tidak. ”Karena itu, kami mendesak agar Kemenkes mengawasi dan menindak importir dan distributor yang mengedarkan masker tidak sesuai standar,” ujarnya.
Meski logo BNPB banyak dipakai distributor dan juga pedagang untuk meyakinkan calon pembeli, pimpinan lembaga itu tidak mengizinkan pencantuman logonya pada kemasan alat kesehatan. ”Kami tidak mengizinkan pencantuman logo BNPB, itu ilegal,” kata Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB Prashinta Dewi.
Pencantuman logo lembaga negara itu juga bertentangan dengan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini terancam pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar.
Menanggapi hal ini, Direktur Pengawasan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Kemenkes Sadikin Sadek pun bersikukuh bahwa masker untuk keperluan tenaga kesehatan harus memiliki izin edar. Hal ini untuk memastikan kualitas produk alat kesehatan itu sehingga aman dipakai konsumen. ”Sudahlah stop (kemudahan impor alat kesehatan). Sudah lama saya teriak-teriak soal itu,” kata Sadikin Sadek.
Koordinasi mengenai hal ini sudah beberapa kali dilakukan Kemenkes dan BNPB. Namun, kemudahan impor alat kesehatan masih berlaku untuk memenuhi kebutuhan masker dalam negeri. Sementara produksi masker di dalam negeri sudah melebihi kebutuhan nasional.
Sadikin juga mendorong polisi menindak importir dan distributor alat kesehatan tanpa izin edar. ”Mungkin mereka (importir dan distributor) merasa kalau produknya dikasih label BNPB, konsumen mengira itu resmi dan memang itu untuk mengecoh pasar,” kata Sadikin.