Pengujian masker medis membutuhkan beragam proses rumit yang memakan waktu. Tak sekadar membongkar lapisan masker, para peneliti harus memelihara bakteri hingga membeli cairan penguji yang harganya setara emas.
Oleh
Irene Sarwindaningrum, Insan Alfajri, Dhanang David Aritonang, Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
Pengujian masker medis membutuhkan beragam proses rumit yang memakan waktu. Para peneliti harus memelihara bakteri hingga membeli cairan penguji yang harganya setara emas.
Tiga parameter diujikan dalam pengujian masker medis di Laboratorium Kualitas Udara Institut Teknologi Bandung (ITB). Ketiganya ialah uji daya saring bakteri (BFE), daya saring partikel (PFE), dan beda tekan atau berapa mudah masker dapat digunakan untuk bernapas bagi penggunanya.
Untuk pengujian BFE, peneliti harus membuat kultur bakteri. Pada prinsipnya, membuat kultur dilakukan dengan memelihara bakteri.
Bakteri yang digunakan adalah Staphylococcus aureus, bakteri yang lazim ada di udara dan berbentuk bulat dengan ukuran rata-rata 1 mikron. Proses kultur bakteri ini setidaknya membutuhkan waktu sehari.
Pada Rabu (31/3/2021) terlihat kesibukan asisten peneliti di Laboratorium Mikrobiologi dan Teknologi Bioproses di Program Studi Teknik Kimia ITB. Mereka sedang mengecek dan memberi makan bakteri-bakteri ”peliharaan” di dalam tabung kaca dengan agar-agar bergula.
Penia Kresnowati, peneliti mikrobiologi ITB yang menggawangi uji masker, mengatakan, pengujian dilakukan dengan membandingkan jumlah bakteri kontrol dan bakteri dari hasil saring masker.
Seluruh proses pengujian itu dilakukan di kotak biological safety cabinet (BSC) yang dilengkapi HEPA filter. Kotak ini mencegah peneliti supaya tidak terkontaminasi bakteri.
Karena prosesnya yang panjang, satu siklus pengukuran BFE membutuhkan waktu sekitar empat hari, termasuk persiapan media bakteri. Biasanya dalam sehari diselesaikan uji BFE sekitar 20 helai. ”Untuk satu pengujian dibutuhkan kira-kira empat hari. Itu satu siklus uji,” kata Penia.
Memberi gambaran
Untuk pengujian daya saring partikel atau PFE, peneliti menggunakan cairan penguji bernama particle polystyrene latex. Zat ini dibeli dari Singapura dalam ukuran 15 militer (Ml) dalam kemasan mirip botol tetes mata. Harganya setara emas, yaitu Rp 12,5 juta per botol atau sekitar Rp 833.333 per gram.
Cairan itu merupakan partikel berukuran seragam 0,1 mikron atau 100 nanometer yang nantinya akan dilewatkan pada masker. Jumlah partikel yang dapat ditahan oleh masker diukur sebagai nilai daya saringnya.
Haryo Satrio Tomo, peneliti bidang Pengelolaan Udara ITB yang menggagas uji masker itu, mengatakan, ukuran tersebut dipilih karena saat ini pandemi Covid-19 disebabkan oleh virus yang berukuran di kisaran 100-300 nanometer.
”Dengan ukuran ini, harapannya bisa memberi gambaran kemampuan masker terhadap virus,” kata Haryo.
Tak kalah penting dalam pengujian masker adalah pengujian beda tekan atau tingkat kemudahannya digunakan untuk bernapas. Semakin tinggi nilai beda tekan, semakin sulit pengguna masker untuk bernapas. Untuk proses pengukuran parameter ini, peneliti menggunakan sebuah alat yang meniru aliran napas.
Peneliti teknologi membran Helen Julian mengatakan, dari pengukuran yang sudah dilakukan, beberapa masker yang diklaim produsennya sebagai masker medis ternyata beda tekannya di atas nilai maksimal yang ditentukan.
Hingga saat ini, Laboratorium Kualitas Udara ITB merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai layanan uji masker medis terakreditasi. Dengan proses panjang itu, waktu pengujian ditetapkan 20 hari kerja dengan tarif Rp 2 juta untuk satu tipe masker.
Waktu dan tarif ini jauh lebih ringan dari pengujian di laboratorium di luar negeri. Di Nelson Laboratories di Amerika Serikat, pengujian satu tipe masker membutuhkan waktu 3-6 bulan dengan tarif Rp 45 juta-Rp 60 juta.
Produsen masker hingga berbagai lembaga berkepentingan pun rela antre untuk menguji maskernya di Laboratorium Kualitas Udara ITB. Setiap pekan, ratusan helai masker pun dikirim ke sana, menanti giliran untuk diuji.