Masker respirator yang dipakai tenaga kesehatan menangani pasien Covid-19 ternyata dipalsukan. Banyak masker medis juga ternyata berkualitas rendah. Tak lolos uji filtrasi bakteri.
Oleh
Dhanang David Aritonang, Insan Alfajri, Irene Sarwindaningrum, Andy Riza Hidayat
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu alat pelindung diri utama bagi tenaga kesehatan pada masa pandemi Covid-19 adalah masker medis. Namun, liputan investigasi Kompas menemukan, masker medis, di antaranya masker respirator yang digunakan tenaga kesehatan saat menangani pasien Covid-19, ternyata dipalsukan.
Hasil uji laboratorium yang diinisiasi Kompas terhadap berbagai jenis masker medis yang ditemukan di lapangan, terutama masker impor, menunjukkan filtrasi masker terhadap bakteri di bawah standar minimum yang disyaratkan.
Ihwal adanya masker respirator palsu yang beredar itu terungkap awal tahun ini. Awalnya, Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta, mendapat donasi masker respirator N95 merek 3M dari masyarakat. Masker N95 merek 3M adalah masker respirator berstandar Amerika Serikat.
Namun, masker 3M yang disumbangkan ke RSPI Sulianti Saroso ternyata palsu. ”Setelah (masker) dibuka, bagian ke mulut sudah rontok semua,” kata Ketua Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RSPI Sulianti Saroso dr Titi Sundari.
Total ada delapan kardus masker 3M palsu yang ditemukan di RSPI Sulianti Saroso. Pihak 3M juga mengonfirmasi maskernya dipalsukan. Ada ketidakcocokan nomor seri produk resmi yang dikeluarkan 3M. Melati Kusumawardani dari 3M Indonesia meminta pelanggan menghubungi hotline 3M Indonesia di 021-29974000 untuk informasi distributor resmi.
Telusuri lebih lanjut tentang liputan investigasi ini
Tim peliput Kompas kemudian menelusuri peredaran masker medis palsu di pasar daring dan luring. Termasuk ke sejumlah distributor dan pedagang masker impor yang mengklaim produk mereka dapat digunakan tenaga kesehatan. Dari penelusuran terungkap, masker respirator yang dijual ternyata kualitasnya rendah dan berpotensi membahayakan pemakainya.
Kompas bahkan melakukan pengujian di Laboratorium Kualitas Udara Institut Teknologi Bandung (ITB). Masker respirator yang biasa dibeli tenaga kesehatan ternyata tak lolos uji pada sejumlah parameter penting, seperti filtrasi bakteri, uji beda tekan, dan efektivitas filtrasi partikel.
Murah
Padahal, banyak tenaga medis Indonesia yang menangani pasien Covid-19 menggantungkan kebutuhan akan masker respirator tersebut lewat pembelian secara mandiri. Banyak fasilitas kesehatan tidak menyediakan masker respirator sesuai kebutuhan tenaga kesehatannya.
Survei Litbang Kompas terhadap 214 tenaga kesehatan di Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur pada 13-23 Maret 2021 mengungkapkan, sebagian besar tenaga kesehatan, yaitu 52,6 persen, membeli sendiri masker di toko daring.
”Sekarang bisa dapat masker murah, enggak tahu jenisnya apa. Jatuhnya di Rp 10.000 per lembar. Saya dapat info dari grup kantor,” kata perawat Rumah Sakit Haji Surabaya, Fauzanin (47), yang biasa memesan masker respirator kepada rekan sejawatnya.
Sayangnya, kualitas masker medis yang dibeli tenaga kesehatan secara mandiri di pasar daring dan luring rendah dan membahayakan mereka saat menangani pasien Covid-19.
Kompas sempat menguji 50 helai masker medis dari lima model berbeda yang beredar di pasaran. Hasil pengujian di Laboratorium Kualitas Udara ITB mengungkapkan, tidak satu pun dari masker yang diuji lolos uji beda tekan.
Angka beda tekan seluruh masker itu di atas standar sehingga berpotensi membuat penggunanya sesak napas jika dipakai berjam-jam. Beda tekan adalah salah satu dari tiga parameter pengujian untuk menentukan kualitas masker medis.
Standar maksimal beda tekan masker tidak lebih dari 4 milimeter H2O per sentimeter persegi (mmH2O/cm2) hingga 6 mmH2O/cm2 di semua level pengujian. Salah satu model masker yang dibeli di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, mempunyai beda tekan 16,53 mmH2O/cm2 dan 24,69 mmH2O/cm2 di semua level pengujian, jauh lebih tinggi dari standar nilai maksimal.
Beda tekan yang memenuhi standar masker medis penting untuk memastikan penggunanya tahan mengenakan masker hingga delapan jam tanpa sesak napas. Beda tekan yang tinggi membuat pertukaran oksigen dan karbon dioksida yang tak seimbang.
”Ini jadi risiko ketika orang lama-lama merasa sesak, dia pasti cari waktu buka maskernya. Atau saat masker membuat sesak, pertukaran udara napas ini jadi kurang bagus, lama-lama mungkin bisa membuat pusing,” kata peneliti Beda Tekan di Laboratorium Kualitas Udara ITB, Helen Julian, di ITB, Rabu (31/3/2021).
Beberapa tenaga kesehatan mengaku tidak nyaman mengenakan masker berlabel KN95 atau N95 karena merasa pengap. ”Pengap kalau pakai masker itu,” kata Gita Melinda, bidan di Klinik Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Bandung.
Pada parameter efektivitas filtrasi bakteri (BFE), ada sejumlah masker yang mempunyai BFE 81,7 persen dan 82,7 persen di semua level pengujian. Angka ini jauh lebih rendah daripada minimal 95 persen sesuai label pada masker. Semakin rendah angka BFE, semakin berpotensi bakteri melintasi masker.
Adapun untuk parameter efektivitas filtrasi partikel (PFE), masker yang diperoleh dari distributor masker impor di Jakarta tidak lolos uji karena perbedaan hasil pengukuran yang terlalu lebar antara masker satu dan lainnya. Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk PFE minimal 95 persen (tingkat pengujian 1) dan 98 persen (tingkat 2 dan 3).
Idealnya, produk masker medis harus memenuhi seluruh parameter pengujian. ”Apabila satu jenis masker gagal di satu parameter, meskipun lolos di parameter lain, ya, sudah reject, ya, seharusnya. Seharusnya labelnya tidak sesuai lagi,” kata peneliti Laboratorium Kualitas Udara ITB, Haryo Satrio Tomo.
Masker yang diujikan di ITB didapat dari kantor distributor masker impor, toko daring dan luring. Di Pasar Pramuka, pedagang menawarkan berbagai masker respirator yang diklaim biasa dipakai tenaga kesehatan.
Di pasar itu juga ditemukan masker respirator KN95 merek Alkindo yang menggunakan logo BNPB dan nomor produksi Kementerian Kesehatan. Padahal, baik BNPB maupun Kemenkes tak mengizinkan logo instansinya ditempel di kemasan masker.
Peredaran masker respirator palsu dan tidak berkualitas ini mengkhawatirkan tenaga kesehatan. ”Ini concern kami karena terlalu banyak gugur karena Covid-19. Masalahnya kualitas (masker) di sini menyangkut dengan nyawa orang. Saya kira ini bagus untuk diangkat, apalagi jika sudah ada pengujian sampel dari masker itu,” Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia Prof Dr Zubairi Djoerban.