Hasil Pendidikan Agama Belum Sejalan dengan Penghargaan terhadap Kemanusiaan
Pendidikan agama dianggap sebagai pelajaran wajib dan penting. Namun, pada praktiknya, pendidikan agama belum menjadi ”jantung” dari pendidikan karakter siswa.
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan hasil Asesmen Nasional yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi muncul inkonsistensi antara hasil pendidikan agama dan perilaku penghargaan terhadap kemanusiaan, seperti yang diamanatkan ajaran agama.
Hasil Asesmen Nasional (AN) memotret indeks iman, takwa, dan akhlak mulia siswa yang tinggi. Namun, di sekolah ternyata penghargaan terhadap kebinekaan (toleransi pada keberagaman) masih rendah, dan perundungan (bullying) serta kekerasan seksual masih tinggi.
”Kita jadi bertanya-tanya, bukankah pendidikan agama itu seharusnya membuat siswa mencintai Tuhannya dan akan terlihat dengan perilaku mencintai sesama dan alamnya? Tapi mengapa hal-hal yang menghargai kemanusiaan justru rendah di sekolah, seperti perundungan, kekerasan seksual, dan kebinekaan? Hal ini menunjukkan tidak terintegrasinya iman, takwa, dan akhlak mulia dengan hal-hal lainnya. Indikator di AN pun perlu dipertanyakan dan ini harusnya jadi refleksi serius para pemangku kebijakan pendidikan,” kata Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo, Senin (25/4/2022) di Jakarta.
Menurut Henny, pendidikan agama tidak bisa dikotak-kotakan dengan wujud iman, takwa, dan akhlak mulia. Pendidikan yang terintegrasi satu sama lain, terutama pendidikan agama, akan mendorong pemahaman siswa sebagai umat Tuhan di dunia, yang harus dapat berperan sebagai manusia yang bermakna bagi sesama dan lingkungan.
Sementara itu, menurut instruktur dan praktisi pendidikan karakter Djohan Yoga, perjuangan pendidikan karakter semakin terjal dan berat karena guru agama semakin terpinggirkan. Padahal, pendidikan agama merupakan mata pelajaran yang menjadi ”jantung” dari pendidikan karakter.
Menurut Djohan, keluarga dan masyarakat belum bisa diharapkan untuk mengoptimalkan pendidikan agama bagi pendidikan karakter. Sebab, pendidikan agama masih berada di tataran ritual semata.
”Jadi jangan heran kalau pendidikan karakter bakal lebih lama dan sulit untuk dijalankan karena pendidikan agama di sekolah belum seperti yang diharapkan. Jika terus dibiarkan, kita akan mendapatkan generasi yang cuma pintar tapi nirkarakter baik,” ujar Djohan.
Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang memiliki mata pelajaran agama pada bidang pendidikan. Bahkan, di rapor atau ijazah, posisi pelajaran agama berada di nomor satu. Namun, faktanya pendidikan agama belum mendapat perhatian yang layak.
Baca juga: Nasib Guru Agama Masih Terpinggirkan
Mengajar dalam keterbatasan
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai daerah, praktik pembelajaran pendidikan agama dan budi pekerti diupayakan oleh para guru agama yang jumlahnya terbatas dan sebagian besar masih berstatus honorer. Ada panggilan tanggung jawab bagi guru agama untuk menemani siswa berkembang dalam keimanan dan ketakwaan.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Kota Malang M Muslih, yang juga Kepala SDN 01 Ciptomulyo, berharap ada kesetaraan dan keberpihakan untuk semua guru mata pelajaran, terutama dalam perekrutan sebagai aparatur sipil negara (ASN).
”Jangankan guru agama yang jadi pegawai negeri sipil, yang jadi ASN pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK persentasenya sangat kecil. Guru kelas mencetak anak bangsa. Kami (guru agama) juga mencetak anak bangsa, membentuk karakter siswa dan sebagainya, tetapi mengapa (formasi) PPPK jatahnya masih kurang?” ujar Muslih.
Selain terbatas dari sisi sumber daya manusia, guru agama saat ini juga menghadapi perkembangan situasi yang menuntut mereka bisa beradaptasi dalam membentuk karakter peserta didik. Meski demikian, pembentukan karakter murid tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru agama, tetapi juga guru lain, termasuk keluarga siswa.
Kita jadi bertanya-tanya, bukankah pendidikan agama itu seharusnya membuat siswa mencintai Tuhannya dan akan terlihat dengan perilaku mencintai sesama dan alamnya? Tapi mengapa hal-hal yang menghargai kemanusiaan justru rendah di sekolah, seperti perundungan, kekerasan seksual, dan kebinekaan?
Guru Agama Islam di SMPN 33 Jakarta Agus Dwijono meyakini pemahaman pada nilai-nilai agama membuat siswa menghormati perbedaan dan keragaman. ”Dulu siswa Kristen tidak ada guru agama. Saya ajak saja (mereka) untuk tinggal di kelas dan belajar bersama agama Islam. Ini jadi kesempatan untuk bisa diskusi dan mengenal ajaran masing-masing agama,” ungkapnya.
Agus mengajarkan muridnya untuk mengucapkan selamat hari raya keagamaan kepada siswa-siswa lain yang berbeda agama. ”Saya mendukung supaya toleransi di antara siswa yang berbeda agama itu bisa menjadi perilaku keseharian,” kata Agus yang lolos menjadi ASN PPPK tahun 2021.
Guru agama Kristen di SMK Pertanian Pembangunan Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Amser Simanjuntak, mengatakan, pembelajaran agama untuk siswa seharusnya sesuai kurikulum. Kini, banyak siswa Kristen yang tak mendapat pelajaran agama di sekolah karena tidak ada guru agama dan tidak terpantau perkembangannya karena hanya mengandalkan nilai dari pimpinan gereja tempat anak beribadah.
Amser yang juga seorang pendeta mengajarkan pendidikan agama Kristen sesuai dengan kurikulum. Menurut dia, jika nilai dan wawasan agama tidak diberikan secara benar, maka pengetahuan dan wawasan siswa tentang agamanya terbatas.
”Kondisi ini dikhawatirkan akan berpengaruh pada moral dan keimanan siswa nantinya,” kata Amser yang juga anggota dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran Agama Kristen di Sumsel.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat AGPII Mahnan Marbawi mengatakan, AGPAII ingin berperan dalam menjaga iklim kegamaan yang inklusif dan moderat. Untuk itulah, program guru pelopor moderasi (GPM) beragama dibentuk dengan melibatkan guru agama non-Islam.
Guru dijadikan aktor lokal dan kunci di sekolah agar bisa membentengi sekolah beserta seluruh warganya dari paham radikal teroris, kekerasan, intoleransi, dan eksklusif. Program itu juga bertujuan mengembangkan budaya inklusif di lingkungan sekolah.
Kegiatan menyemai nilai-nilai toleransi dilakukan para guru agama. Implementasinya beragam di berbagai sekolah, mulai dari pertemuan antarsekolah, sepekan di rumah warga (menginap di kawan yang berbeda agama), kegiatan seni tradisi untuk toleransi, kemah siswa, kolaborasi lembaga ekstrakurikuluer, bakti sosial, kunjungan ke rumah ibadah, hingga pembuatan dan penyebaran konten serta narasi melalui media sosial.
”Seharusnya secara alamiah guru agama menanamkan nilai-nilai keagamaan untuk penguatan nilai keindonesaan, kebangsaan, penghargaan terhadap kemanusiaan, dan nilai spiritual yang humanis,” ujar Mahnan.
John Paul (29), guru agama Katolik, berpendapat, beragama saja belum cukup. Pendidikan agama penting karena mengajarkan berbagai perspektif dan kedalaman iman. ”Nilai agama kerap saya kaitkan dengan nilai dan moral di masyarakat,” kata John.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan, tata kelola guru yang buruk membuat guru juga terkendala untuk mengembangkan profesionalisme berkelanjutan. ”Fragmentasi dari pengaturan tata kelola guru yang masih tercerai-berai di berbagai kementerian/lembaga tanpa koordinasi dan integrasi yang baik, membuat peningkatan kualitas dan profesionalisme guru, termasuk guru agama, masih belum seperti yang diharapkan. Masalah ini harus diatasi dengan serius agar kita mampu mewujudkan pendidikan berkualitas bagi semua anak bangsa,” kata Unifah.
Baca juga: Setia Mengajar meski Swadaya
Psikolog Pendidikan serta Peneliti Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti, Mary Monalisa Nainggolan, menambahkan, dari riset terhadap praktik pendidikan agama kristen, moralitas siswa rupanya terkait dengan ketersediaan guru agama di sekolah negeri. Ketersediaan guru agama yang mumpuni berdampak pada penalaran moralitas anak yang lebih tinggi daripada jika tidak ada guru agama. (ELN/MTK/DKA/SKA/WER/RAM)