Nasib guru agama di banyak daerah masih terpuruk. Meski demikian, mereka rela menjalankan tugas dengan imbalan seadanya.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
Keberadaan guru menjadi ujung tombak penyelenggaraan pendidikan agama untuk membentuk karakter baik peserta didik. Namun, nasib sebagian besar guru agama justru belum jelas. Di tengah segala keterbatasan, mereka rela mengabdikan diri mengajar agama walau imbalannya tak seberapa.
Sementara itu, Yoseph (46) setia menjadi guru pendidikan agama Kristen untuk anak-anak di Cirebon, Jawa Barat, selama 14 tahun. Seperti pemadam kebakaran yang dibutuhkan di saat genting, dia menawarkan diri untuk mendidik anak-anak Kristiani yang tidak mendapat materi agama di sekolah.
Bersama sejumlah guru agama Kristen, ia mengajar ratusan anak dari Cirebon dan sekitarnya. Tahun ini saja, mereka mengajarkan pendidikan agama Kristen untuk 150 siswa sekolah menengah pertama dan 150 siswa menengah atas dan kejuruan dari sekolah yang tak menyediakan guru pendidikan agama Kristen.
Menurut Yoseph yang juga jadi Koordinator Guru-guru Agama Kristen Tingkat SMA/SMK Cirebon, pendidikan agama Kristen berada di bawah naungan Persekutuan Gereja Indonesia Setempat (PGIS). Para siswa belajar agama Kristen di SD Kristen BPK Penabur Cirebon selama satu jam setiap pekan.
Kondisi ini membuat para guru kesulitan memantau kondisi siswa. Kadang anak-anak tak hadir karena ada kegiatan di sekolah. Kegiatan ini pun masih swadaya sehingga biaya pendidikan dibebankan pada sumbangan dari anak-anak, sekolah, hingga gereja, tanpa ada anggaran negara. ”Kami bergerak secara swadaya,” kata Yoseph yang juga melayani umat sebagai sebagai pendeta.
Sementara itu, seorang guru agama Khonghucu yang enggan disebut namanya bersyukur diminta mengajar di sejumlah sekolah negeri dan swasta di DKI Jakarta selama 15 tahun. Ada delapan sekolah yang dia dampingi sampai akhirnya dia bisa menjadi guru kontrak.
Sebelum agama Khonghucu diakui, siswa beragama Khonghucu diminta memilih pelajaran agama lain. Setelah ada guru Khonghucu, dia berupaya mencari siswa Khonghucu. ”Pernah ada siswa beragama Khonghucu, tetapi informasi dan kartu keluarga tidak diberikan pihak sekolah. Siswa malah diajar guru agama lain,” ujarnya.
Bahkan, sang guru pernah dilarang pihak sekolah masuk ke lingkungan sekolah. ”Ya, saya mengajar siswa di lobi. Bagi saya, itu oknum karena belum paham. Padahal, hak anak mendapat pendidikan agama sesuai agamanya sudah dijamin pemerintah,” ujarnya.
Kesejahteraan
Selain keterbatasan jumlah dan sarana mengajar, nasib sebagian guru agama belum jelas. Firman Mirat, guru agama Islam di madrasah tsanawiyah negeri di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, misalnya, telah mengajar sejak tahun 2008, tetapi hingga kini belum diangkat menjadi ASN. Ia pernah beberapa kali ikut seleksi ASN, tetapi tidak berhasil.
Pria yang menyandang gelar S-2 ini telah menyelesaikan pendidikan profesi guru pada 2019 dan kini mendapat gaji Rp 1,5 juta. ”Mengajar itu lebih ke pengalaman spiritual buat saya. (Gaji) kok bisa cukup, padahal saya punya anak dan istri? Saya anggap itu barokah,” ujarnya.
Ia tetap teguh mengabdi sebagai guru agama karena mempunyai tanggung jawab moral. Lulusan pesantren ini diberi amanah oleh gurunya agar berkecimpung di dunia pendidikan. Seiring dengan kemajuan teknologi, ia khawatir anak-anak belajar agama dari sumber yang ilmunya tak bisa dipertanggungjawabkan yang bertebaran di media sosial.
Harapan agar dapat diangkat menjadi ASN pun diutarakan Norhayati (52) dan Wahyu Nisawati Mafrukha (30), guru agama berstatus honorer di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Mengajar itu lebih ke pengalaman spiritual buat saya. (Gaji) kok bisa cukup, padahal saya punya anak dan istri? Saya anggap itu barokah.
Norhayati mengabdi selama 16 tahun sebagai guru pendidikan agama Kristen, sedangkan Nisawati jadi guru pendidikan agama Islam selama empat tahun. ”Saya mengajar agama Kristen awal 2005, di SDN 3 Banjarpanepen. Suka dukanya ada, tapi saya jalani dengan ikhlas untuk membentuk karakter baik,” tuturnya.
Sementara itu, John Paul (29) mengajar agama Katolik di sebuah SMA negeri di Bekasi sejak tahun 2017 dan di sebuah sekolah swasta. Sebagai guru honorer di SMA negeri, John tidak menerima gaji dan hanya menerima uang transportasi dari pihak sekolah sekitar Rp 600.000 per bulan. ”Saya mengajar sebagai bentuk pelayanan,” tambahnya.
Nasib para guru agama terus diperjuangkan sejumlah pihak. Salah satunya, petisi daring di laman change.org berjudul ”Mas Menteri, Gus Menag, sampai kapan PAK di sekolah negeri diabaikan?”
Lebih dari 2.000 orang menandatangani petisi yang dilayangkan peneliti dan pemerhati Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti (PAK/BP) Mary Monalisa Nainggolan.
Mary mengangkat masalah kekurangan guru PAK di sekolah negeri dari hasil risetnya di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, tahun 2020. Meski keprihatinannya itu mendapat perhatian pemerintah, formasi guru PAK dalam perekrutan ASN pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) belum sampai pada pemenuhan guru agama Kristen di sekolah negeri.
Para guru agama Kristen pun bersuara soal nasib mereka yang tak kunjung ada kesempatan jadi ASN dan minimnya guru agama di sekolah. ”Petisi ini bertujuan mendorong pemerintah mengatasi masalah kurangnya guru pendidikan agama Kristen dan guru agama minoritas lainnya di sekolah negeri,” kata Mary.
Apalagi di tengah gairah kaum muda untuk belajar agama, keberadaan guru agama makin dibutuhkan. ”Kehausan orang untuk belajar agama cukup tinggi, tapi ini tidak dibarengi dengan adanya guru yang mumpuni. Anak-anak sekarang mengedepankan apa yang mereka dapat dari media sosial tanpa mengklarifikasi keilmuan gurunya,” ucap Firman.
Sementara John menilai beragama saja belum cukup. Pendidikan agama penting karena mengajarkan berbagai perspektif dan kedalaman iman. Itu pula yang menjadi alasan para guru agama tetap setia menjalani profesinya. (MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/MEGANDIKA WICAKSONO/SEKAR GANDHAWANGI/ESTER LINCE NAPITUPULU)